Beberapa minggu sebelum Pemilu Federal Jerman yang akan berlangsung 23 Februari mendatang, Parlemen Jerman, Bundestag, telah menyetujui undang-undang "Penguatan struktur melawan kekerasan seksual terhadap anak-anak dan anak di bawah umur”. Partai Sosialdemokrat SPD, Partai Hijau die Grünen, Kubu Konservatif CDU/CSU, dan Partai Liberaldemokrat FDP telah menyetujui rancangan undang-undang tersebut, setelah melalui perundingan yang panjang.
Selain menangani kasus-kasus pelecehan, undang-undang tersebut berfokus pada usaha yang lebih bersifat preventif terhadap kekerasan seksual pada anak-anak dan remaja. Mereka yang terdampak dari pelecehan tersebut harus terus didukung untuk dapat menghadapi kasus pelecehan yang mereka alami. Seperti halnya melihat data-data mereka, misalnya di kantor urusan remaja atau kantor catatan sipil.
Seperti halnya pada Lena Jensen, perempuan berusia 31 tahun. Di atas sofa nampak Lena dengan tenang berbicara tentang apa yang terjadi pada dirinya. Meski tidak selalu seperti ini. Antara usia dua dan enam tahun, Lena Jensen mengalami pelecehan seksual dan difilmkan. "Di atas segalanya, saya ingin mendapat kesempatan untuk benar-benar menyelesaikan kasus ini, karena para pelaku masih berkeliaran sampai sekarang,” katanya.
Jerman memiliki kantor "Komisi Independen untuk Masalah Pelecehan Seksual Anak.” Kini komisi tersebut akan diperbarui dan disahkan dalam undang-undang. Komisi ini mencakup badan penasihat bagi mereka yang terkena dampak kekerasan seksual dan sebuah komite khusus untuk menginvestigasi pelecehan yang terjadi.
Komisi akan melaporkan secara rutin kepada parlemen Jerman Bundestag mengenai tingkat kekerasan seksual terhadap anak-anak dan remaja, juga tentang pencegahan, dukungan, penelitian dan penilaian ulang. Komisioner saat ini, Kerstin Claus, telah membuka pusat penelitian baru tentang kekerasan seksual terhadap anak.
Angka kekerasan seksual terus meningkat di Jerman selama bertahun-tahun. Menurut Kantor Kepolisian Kriminal Federal Jerman, 54 anak menjadi korban pelecehan setiap harinya pada tahun 2023, meningkat 5,5 persen dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Menteri Dalam Negeri Nancy Faeser mengatakan: "Sebagian besar korban mengenal pelaku karena mereka adalah anggota keluarga, teman, atau kenalan. Memperhatikan dan bertindak jika terdapat ancaman bahaya terhadap anak-anak - itu adalah tugas utama negara dan juga masyarakat secara keseluruhan.”
Tidak jelas apakah peningkatan presentase tersebut hasil dari lebih banyaknya kasus yang dilaporkan. Para ahli berasumsi bahwa jumlah kasus yang tidak dilaporkan ke polisi jauh lebih tinggi. Juga ada distribusi konten pornografi anak dan remaja.
Para pelaku memanipulasi dan membuat Lena takut. Lena pun memutuskan untuk diam dalam waktu yang lama: "Sebagai seorang anak, saya selalu berpikir bahwa jika saya membicarakan hal tersebut sekarang, sesuatu yang buruk akan terjadi pada orang-orang yang saya cintai.”
Memanipulasi dan menakuti korban adalah praktik yang umum yang dilakukan para pelaku kejahatan seksual, kata Lena Hensen, konsultan dari organisasi "Strohhalm e.V.” di Berlin. Lebih lanjut Lena Hensen mengatakan: "Dengan mempertahankan ikatan dan hubungan yang sangat dekat, pelaku kekerasan mencegah anak-anak untuk menjalin kontak emosional dengan orang lain. Pelaku menyangkal perasaan dan persepsi anak-anak tersebut dan terus-menerus memanipulasi mereka.”
Lena Hensen menganjurkan untuk lebih banyak melakukan aksi pencegahan pelecehan anak. Dimulai dengan menghilangkan tabu terhadap topik tersebut di masyarakat dan mulai mendiskusikannya.
Hensen menekankan perlunya dukungan sejak dini kapada anak-anak untuk mendapatkan perlindungan yang lebih baik: "Anak-anak yang dididik untuk membuat keputusan sendiri terhadap tubuh mereka, lebih dapat memahami dirinya, menentukan batas-batasan dirinya serta perlindungan atas batasan yang mereka buat tersebut.” Sangat penting untuk menjelaskan kepada anak-anak perbedaan adanya "rahasia yang baik dan yang buruk”, antara "memberi tahu seseorang dan mencari bantuan” - serta untuk menghilangkan perasaan bersalah.
Tempat penitipan anak dan sekolah memainkan peran penting yakni melalui pendidikan seksual. TK/PAUD harus menjelaskan kepada anak-anak aturan mana yang berlaku terkait seksualitas. Salah satu aturan dasar, misalnya, orang dewasa dilarang untuk "bermain-main dengan anak-dengan tatapan, sentuhan, bahkan untuk bertelanjang”. Anak-anak juga harus diajari bahwa perilaku seksual harus atas persetujuan pihak yang terlibat.
Hensen menambahkan, bahwa para pelaku kejahatan seksual secara khusus memilih anak-anak dengan faktor tertentu sebagai calon korban, misalnya "anak-anak yang mengalami kekerasan dalam pengasuhan sehari-hari atau yang terdiskriminasi. Anak-anak yang memiliki kepercayaan diri yang lemah atau tidak memiliki kepercayaan diri.” Di sini dperlukan perhatian khusus, terutama di tempat penitipan anak dan sekolah.
Dalam penelitiannya di "Strohhalm e.V.”, Hensen mengamati bahwa peran orang tua banyaknya hanya sebatas memperingatkan anak-anak mereka untuk berhati-hati terhadap orang asing. Namun, faktanya sebagian besar pelaku kekerasan seksual berasal dari keluarga, teman, atau kenalan. Banyak dari mereka yang secara strategis merencanakan aksi mereka dan mencari tempat untuk dapat mengakses anak-anak itu.
Profil pelaku kejahatan seksual ini sulit untuk didentifikasi, kata Kerstin Claus, Komisioner Independen Pemerintah Jerman untuk Pelecehan Seksual Anak. Penelitian menunjukkan bahwa banyak pelaku memiliki keinginan kuat untuk berkuasa dan menjadi superior. Hanya beberapa pelaku pria dan beberapa pelaku perempuan yang memiliki ketertarikan seksual terhadap anak-anak.
Julia von Weiler bergiat memerangi pelecehan seksual terhadap anak-anak di internet: "Media digital saat ini sangat memudahkan para pelaku untuk menjalin kontak dengan anak-anak secara anonim dan sering kali tanpa diketahui.” Perkembangan teknologi yang cepat hampir tidak dapat memberikan perlindungan. Tanpa aturan hukum yang efektif dan bantuan teknis, para pelaku kejahatan akan memiliki kebebasan.
Von Weiler dan organisasinya "Innocence in Danger” menyerukan lebih banyak pendidikan digital di sekolah-sekolah, baik untuk murid maupun guru. "Pada saat yang sama, polisi dan pengadilan membutuhkan dukungan teknis dan undang-undang yang lebih baik, dan platform-platform besar pun harus bertanggung jawab untuk mencegah pelecehan,” kata Julia von Weiler.
Ketika Lena Jensen menjadi semakin agresif, ibunya membawanya ke terapi. Di sanalah gadis itu mampu memecah kebisuannya. Itu adalah awal dari proses penyembuhan trauma yang sulit dengan bantuan terapi.
Lena Hensen dari "Strohhalm e.V.” menyarankan para orang tua yang mencurigai ada sesuatu yang tidak beres pada anak mereka untuk lantas menghubungi pusat konseling dan para ahli. "Jika perilaku anak tiba-tiba berubah, tiba-tiba tampak berbeda, jika kita merasa ada yang ‘aneh', ada baiknya kita mencermati.”
Hingga hari ini, Lena Jensen tidak diizinkan untuk mengatakan dengan pasti siapa yang melecehkan dia karena alasan hukum. Kasus ini pun dibatalkan karena tidak cukup bukti.
Tiga tahun yang lalu, Lena Jensen mempublikasikan kisahnya. Sejak saat itu, ia mengunggah video-video edukatif di media sosial sebagai "penyintas pelecehan anak”. Setiap hari, ia menerima pesan dari korban lain yang menceritakan kisah mereka kepadanya. Lena mempublikasikannya secara anonim.
Dengan berbicara secara terbuka tentang masa lalunya, Lena Jensen ingin meningkatkan kesadaran akan masalah ini. Ia mengatakan bahwa dengan membicarakan masalah, masalah tersebut dapat diatasi.