Grebeg Sudiro ketika Tradisi Tionghoa dan Jawa Bertemu di Pasar Gede Solo, Siapa Sosok di Baliknya?
Moh. Habib Asyhad February 08, 2025 01:34 PM

Siapa sosok di balik Grebeg Sudiro tak bisa dilepaskan dari keberadaan kampung Pecinan Balong yang lokasinya tak jauh dari Pasar Gede Solo

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Berbicara tentang tradisi Imlek di Kota Solo, Jawa Tengah, maka jangan pernah melupakan Grebeg Sudiro. Apa yang istimewa dari tradisi yang digelar saban tahun ini?

Semua bermula pada tahun 2000, ketika Presiden Indonesia Abdurrahman Wahid (Gus Dur) mengeluarkan Keppres No.6 Tahun 2000. Keppres itu memberi kebebasan masyarakat Tionghoa di Indonesia untuk merayakan Imlek secara terbuka.

Masyarakat Tionghoa di Solo merayakan Imlek salah satunya lewat Grebeg Sudiro.

Menurut situsSurakarta.go.id, Grebeg Sudiro berasal dari pengembangan tradisi Buk Teko yang berlangsung di Kampung Balong, Kelurahan Sudiroprajan, Kecamatan Jebres, Kota Solo. Kampung Balong adalah permukiman Tionghoa pertama di Kota Solo -- lokasinya tak jauh dari Pasar Gede sekarang.

Buk Teko berasal dari istilah setempat yaitu "buk" berupa tempat duduk dari semen di tepi jembatan atau di depan rumah, dan "teko" yang bermakna poci, tempat air, atau tempat teh. Dimulai pada 2017, warga di Kampung Balong mencetuskan ide untuk mengembangkan dan memelihara tradisi menjelang Imlek yang sudah berlangsung sejak masa Paku Buwono X berkuasa tersebut.

Sementara itu, istilah Grebeg Sudiro sendiri diambil dari "grebeg" atau "gumrebeg"yang artinya riuh atau keramain, yang juga dimaknai sebagai iring-iringan atau perayaan. Sedangkan Sudiro, diambil dari nama kelurahan lokasi Kampung Balong yang mayoritas dihuni warga keturunan Tionghoa yakni Sudiroprajan.

Grebeg Sudiro menjadi tradisi Imlek di Indonesia yang terbilang cukup menarik dan unik. Hal ini karena adanya proses akulturasi yang harmonis antara budaya Jawa dengan budaya masyarakat Tionghoa.

Menurut situs Indonesia.travel, salah satu wujud akulturasi tersebut hadir dalam bentuk gunungan. Jika biasanya gunungan berisi hasil bumi, gunungan pada tradisi Grebeg Sudiro akan berisi kue keranjang, penganan khas dalam tradisi Imlek.

Ada pula gunungan kecil yang berisi kue tradisional lain mulai dari cakwe, janglut, bakpao, onde-onde, gembukan, keleman, dan lain sebagainya. Gunungan ini dan beberapa gunungan lainnya biasanya akan diarak bersamaan dengan parade kesenian dan budaya Tionghoa dan budaya Jawa, untuk kemudian dibagikan kepada masyarakat.

Selain itu, jalanan di sekitar Pasar Gede juga biasanya akan dihias dengan lentera khas Imlek yang akan semakin membuat semarak suasana.

Perintis atau sosok di balik Grebeg Sudiro adalahOei Bengki, Sarjono Lelono Putro, dan Kamajaya, setelah mendapat persetujuan dari Lurah Sudiroprajan. Tak hanya itu, para budayawan di Kota Solo juga menyambutnya dengan tangan hangat.

Seperti disebut di atas, Grebeg Sudiro berisi sedekah bumi dan kirab budaya. Sedekah bumi biasanya dilaksanakan tujuh hari sebelum kirab budaya di sekitar Prasasti Bok Teko, Kelurahan Sudiroprajan.

Menurut beberapa sumber, grebeg ini awalnya dilakukan untuk peringatan ulang tahun Pasar Gede saja. Baru pada 2008, ada kirab budaya yang dilaksanakan bersama warga Sudiroprajan sebagai pesertanya. Dan pada 2010, Pemerintah Kota Surakarta menetapkan Grebeg Sudiro sebagai acara tahunan Kota Solo di mana Pasar Gede menjadi senternya.

Menurut sejarawan Heri Priyatmoko, Grebeg Sudiro tak sekadar lambang akulturasi budaya Tionghoa-Jawa. Ada fungsi lain dari perayaan tahunan tersebut.

Apa itu? "(Grebeg Sudiro) juga merupakan jembatan sejarah mengulik riwayat orang-orang China di Solo yang sudah ada jauh sebelum Keraton Kasunanan berdiri walau jumlahnya belum banyak," katanya, dikutip dari Kompas Travel.

Dosen sejarah di Fakultas Sastra Universitas Sanata Dharma (USD) itu menjelaskan, pada awalnya orang-orangTionghoa di Solo hadir untuk berdagang. Dalam perkembangannya, mereka bermukim di sekitar Ketandan, Balong, Mijen, Kepanjen, Samaan, Sudiroprajan, dan Limolasan.

Dia melanjutkan, ada perbedaan antara komunitas Tionghoa yang tinggal di Balong dan di daerah lain. Pada dekade pertama abad 20, komunitas Tionghoa yang tinggal di Balong merupakan golongan ekonomi menengah ke bawah. Meski di situ permukiman Tionghoa, tapiorang-orang Jawa tetap diberikan keleluasaan.

Seiring waktu, terbentuklahinteraksi yang harmonis antar-dua-golongan ini. Termasuk kawin-mawin di dalamnya. Ampyang, kudapan yang terbuat dari campuran kacang dan gula jawa, dianggap sebagai simbol akulturasi masyarakat Balong.

"Dari sekian pemukiman etnis Tionghoa di Solo, hanya komunitas Tionghoa Balong yang mampu berakulturasi dengan budaya Jawa sehingga komunitas ini ikut memperkaya komposisi komunitas masyarakat di Solo," tegasnya.

Sebagai bukti, pada 1998, ketika terjadi kekerasan rasial yang begitu mengerikan di Kota Solo, Pecinan Balong menjadi pecinan yang luput dari serangan. "Grebeg Sudiro bagaikan panggung untuk menguatkan ikatan persaudaraan masyarakat kota yang majemuk, strategi kebudayaan yang jitu. Barangkali perlu ditiru oleh kota-kota lain demi merayakan pembauran dan menguatkan tali hubungan lintas etnis yang harmonis," kata Heri.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.