Mengungkap Wacana Trump: Imperialisme Gaya Baru dan Pembersihan Etnis di Gaza
Andi Muhammad Haekal February 11, 2025 04:27 PM
Pernyataan terbaru Donald Trump mengenai Jalur Gaza bukan hanya sebuah retorika politik belaka, tetapi mengungkap pola pikir imperialisme modern yang terselubung dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Dalam konferensi pers bersama Netanyahu, pada 4 Februari 2025 di Gedung Putih, Trump menyatakan keinginannya untuk "menguasai Gaza dan membangun kembali enklave tersebut menjadi Riviera-nya Timur Tengah" setelah warga Palestina dipindahkan keluar. Pernyataan ini bukan hanya menggambarkan kolonialisme terselubung, tetapi juga mempertegas wacana pembersihan etnis yang selama ini menjadi bagian dari proyek Zionisme.
Wacana sebagai Alat Legitimasi Imperialisme
Wacana dalam politik internasional sering digunakan untuk membenarkan dominasi dan kepentingan negara kuat atas pihak yang lebih lemah. Edward Said dalam Orientalism (1978) menjelaskan bagaimana bahasa dan representasi digunakan oleh kekuatan kolonial untuk menciptakan narasi yang membenarkan eksploitasi terhadap bangsa-bangsa terjajah. Secara mendalam, Said menjelaskan bahwa dunia Barat membangun representasi terhadap Timur (khususnya dunia Arab dan Islam) yang membenarkan dominasi, eksploitasi, dan kekuasaan kolonial. Salah satu mekanismenya adalah melalui bahasa dan representasi yang mendistorsi realitas masyarakat Timur, menggambarkan mereka sebagai terbelakang, pasif, dan membutuhkan intervensi Barat.
Dalam konteks pernyataan Trump, terdapat dua unsur utama wacana imperialisme yang terlihat jelas: pertama, pembingkaian Gaza sebagai ruang kosong yang siap untuk dibangun kembali; dan kedua, penghapusan eksistensi penduduk asli sebagai subjek yang memiliki hak atas wilayah tersebut.
Narasi "membangun kembali Gaza" setelah upaya pemindahan paksa penduduknya menggambarkan bagaimana kekuatan kolonial modern berusaha menghilangkan kehadiran historis rakyat Palestina dan bentuk dehumanisasi yang mereduksi keberadaan mereka di tanah sendiri.
Ethnic Cleansing: Proyek Zionisme yang Berulang
Wacana Trump harus dipahami dalam konteks panjang proyek kolonialisme Zionis di Palestina. Ilan Pappé dalam The Ethnic Cleansing of Palestine (2006) mencatat bagaimana sejak Nakba 1948, pengusiran sistematis warga Palestina telah menjadi bagian integral dari Israel. Proses ini tidak hanya terjadi melalui kekerasan fisik, tetapi juga melalui strategi hukum, ekonomi, dan politik yang secara perlahan mengurangi kehadiran Palestina di tanah mereka sendiri.
Pernyataan Trump selaras dengan kebijakan-kebijakan Israel sebelumnya yang secara sistematis mendorong pengusiran paksa warga Palestina. Dokumen Kementerian Intelijen Israel yang bocor pada Oktober 2023 bahkan secara eksplisit menyebutkan bahwa salah satu tujuan operasi militer di Gaza adalah mendorong pemindahan massal warga Palestina ke Sinai, Mesir. Ini bukan sekadar kebijakan perang, melainkan strategi demografis untuk menghapus identitas Palestina dari wilayah tersebut.
Lebih jauh, pendekatan Trump terhadap Gaza juga mengingatkan pada proyek kolonialisme di tempat lain, seperti pendudukan AS di Irak dan Afghanistan. Seperti dikutip dari The Guardian (2025), proyek Trump untuk mengubah Gaza menjadi "Riviera" bukanlah sekadar gagasan pembangunan, melainkan strategi kapitalisme global yang telah digunakan sebelumnya untuk menguasai wilayah strategis di bawah dalih rekonstruksi.
Kolonialisme Zionis dalam Perspektif Sejarah
Zionisme sebagai proyek kolonialisme memiliki akar yang panjang dalam sejarah modern. Dalam The Hundred Years' War on Palestine (2020), Rashid Khalidi menegaskan bahwa Zionisme bukan sekadar gerakan nasionalisme atau proyek keagamaan, melainkan bentuk kolonialisme pemukim (settler colonialism) yang mendapat dukungan dari kekuatan imperialis, terutama Inggris pada awal abad ke-20 dan kemudian Amerika Serikat setelah tahun 1967.
Proyek kolonialisme Zionis mulai memperoleh legitimasi internasional sejakDeklarasi Balfour tahun 1917, ketika pemerintah Inggris menyatakan dukungan untuk pendirian "tanah air bagi bangsa Yahudi" di Palestina. Deklarasi ini menandai awal dari keterlibatan kolonial Barat dalam mendukung proyek Zionis, yang mengabaikan keberadaan dan hak-hak populasi rakyat Palestina.
Pada periode mandat Inggris (1920–1948), kolonialisme Zionis berkembang melalui migrasi massal pemukim Yahudi ke Palestina, yang sering kali difasilitasi dan dilindungi oleh administrasi kolonial Inggris.
Perbesar
Ribuan warga Gaza terpaksa mengungsi pada 4 November 2024 akibat eskalasi penjajahan yang terus meningkat. Tragedi ini mengingatkan kembali pada peristiwa Nakba 1948, ketika ratusan ribu warga Palestina diusir dari tanah mereka sendiri. Foto: Hosny Salah/Pixabay.
Baru pada tahun 1948, kolonialisme Zionis semakin menguat melalui berbagai upaya kekerasan, kejahatan perang dan kebijakan ekspansionis yang mengarah pada pengusiran besar-besaran warga Palestina (Nakba). Dukungan Amerika Serikat pasca-1967 semakin memperkokoh dominasi Israel, dengan pendudukan wilayah baru seperti Tepi Barat, Gaza, dan Yerusalem Timur.
Noam Chomsky dalam Fateful Triangle: The United States, Israel, and the Palestinians (1983) juga menjelaskan bahwa kebijakan AS terhadap Israel telah lama mengikuti pola dukungan terhadap proyek kolonial yang menindas rakyat Palestina. Ia menguraikan bagaimana kebijakan luar negeri AS memainkan peran dalam melegitimasi ekspansi pemukiman Yahudi yang melanggar hukum internasional dan memperburuk penderitaan rakyat Palestina.
Normalisasi Kekerasan melalui Wacana Politik
Pernyataan Trump dan kebijakan serupa dari Israel menunjukkan bagaimana kekerasan terhadap Palestina dinormalisasi melalui bahasa politik. Judith Butler dalam Frames of War: When Is Life Grievable? (2009) menguraikan bagaimana wacana tertentu membuat penderitaan kelompok tertentu menjadi lebih "tidak terlihat" atau tidak dianggap penting oleh komunitas internasional. Dalam kasus Gaza, retorika seperti "menstabilkan kawasan" atau "pembangunan kembali" berfungsi untuk menghapus fakta bahwa tindakan yang terjadi adalah bentuk pembersihan etnis yang terstruktur.
Normalisasi ini juga tampak dalam pemberitaan media arus utama Barat yang sering membingkai penjajahan Palestina oleh Israel sebagai "pertahanan diri Israel" daripada sebagai penjajahan dan genosida. Ketika Trump menyebut Gaza sebagai kawasan yang perlu dibangun ulang tanpa menyebut keberadaan rakyat Palestina, ia secara tidak langsung mengafirmasi bahwa penduduk atau populasi asli tidak memiliki tempat dalam rencana masa depan di kawasan tersebut.
Propaganda Zionisme dan Dukungan AS
Dukungan AS terhadap Israel bukan sekadar hasil dari kepentingan geopolitik, tetapi juga produk dari propaganda Zionisme yang telah meresap dalam wacana politik Barat. Dokumenter Peace, Propaganda & the Promised Land (2004) mengungkap bagaimana media AS membentuk opini publik dengan narasi yang bias, menampilkan Israel sebagai korban dan Palestina sebagai agresor. Media AS secara sistematis menggunakan teknik framing untuk mendukung Israel, di antaranya:
1. Pemilihan Terminologi yang Bias
Ketika terjadi kekerasan, media AS cenderung menggambarkan tindakan Israel sebagai "self-defense" atau pertahanan diri, sementara perlawanan Palestina diberi label sebagai "terorisme."
Istilah seperti "pemukiman" (settlements) digunakan untuk menggambarkan wilayah ilegal yang dibangun Israel di tanah Palestina, alih-alih menyebutnya sebagai "koloni" atau "pendudukan ilegal," yang lebih mencerminkan realitas hukum internasional.
2. Ketimpangan dalam Peliputan Korban
Dokumenter ini menunjukkan bahwa korban Palestina seringkali direduksi menjadi angka statistik tanpa latar belakang humanisasi, sedangkan korban Israel dipersonalisasi dengan cerita individu yang emosional.
Ketika tentara Israel tewas dalam perang, media seringkali menggambarkannya sebagai "kematian tragis," sementara warga sipil Palestina yang tewas akibat serangan Israel disebut sebagai "konsekuensi yang tidak terhindarkan dari perang."
3. Penghilangan Konteks Sejarah
Media arus utama jarang mengulas bagaimana pendudukan Israel di wilayah Palestina dimulai sejak 1948.
Ketika melaporkan serangan militer Israel, konteks penjajahan dan pendudukan jarang disinggung, seolah-olah perang ini adalah perseteruan dua pihak yang setara, bukan antara penjajah dan yang dijajah.
Selain itu, John Mearsheimer dan Stephen Walt dalam The Israel Lobby and U.S. Foreign Policy (2007) juga menunjukkan bagaimana lobi pro-Israel telah membentuk kebijakan luar negeri AS dengan cara menekan politisi dan media agar mendukung narasi Israel tanpa kritik.
Retorika Trump adalah bagian dari pola yang lebih besar di mana pejabat AS dari berbagai partai selalu menyampaikan dukungan tanpa syarat terhadap Israel. Hal ini menunjukkan bahwa proyek kolonialisme Zionis tidak hanya bergantung pada kebijakan Israel sendiri, tetapi juga pada legitimasi yang diberikan oleh kekuatan global seperti AS.
Mengapa Dunia Harus Waspada
Pernyataan Trump bukan sekadar retorika kosong, tetapi bagian dari pola lama imperialisme global yang kini hadir dalam bentuk yang lebih halus. Menggunakan dalih pembangunan dan stabilisasi, wacana ini sejatinya merupakan langkah awal untuk membentuk tatanan politik baru di Gaza yang menguntungkan kepentingan AS dan Israel, tetapi mengorbankan rakyat Palestina.
Seperti yang dikatakan oleh Edward Said;
Dengan kata lain, apa yang kita saksikan saat ini adalah pengulangan pola lama dengan wajah baru.
Jika sejarah mengajarkan kita sesuatu, maka kita harus memahami bahwa kolonialisme tidak pernah hilang—hanya berubah bentuk. Dunia harus menolak dengan tegas wacana yang berpotensi mengulang tragedi etnis Palestina dan memperpanjang penjajahan.