Paradoks Multitasking dan Kewalahan dalam Kehidupan Modern
Syaefunnur Maszah February 11, 2025 04:27 PM
Dalam kehidupan modern yang serba cepat, banyak orang merasa terjebak dalam lingkaran multitasking sebagai cara untuk mengatasi tuntutan pekerjaan dan kehidupan pribadi. Teknologi yang semakin canggih memungkinkan seseorang untuk bekerja di mana saja, kapan saja. Namun, alih-alih meningkatkan produktivitas, justru semakin banyak orang yang merasa kewalahan dan kehilangan fokus. Kebiasaan bekerja sambil melakukan aktivitas lain, seperti menonton televisi atau berjalan-jalan dengan hewan piaraan, semakin umum terjadi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan mendasar: apakah multitasking benar-benar solusi untuk menghadapi tekanan hidup, atau justru menjadi penyebab utama dari perasaan stres yang semakin meningkat?
Beberapa penelitian menunjukkan bahwa otak manusia tidak dirancang untuk mengerjakan banyak hal sekaligus. Multitasking sering kali hanya menciptakan ilusi efisiensi, padahal sebenarnya mengurangi efektivitas kerja. Kesalahan lebih sering terjadi, keputusan menjadi kurang matang, dan hasil kerja cenderung lebih rendah kualitasnya. Dalam konteks ini, kebiasaan bekerja sambil melakukan aktivitas lain bukan hanya mengganggu fokus, tetapi juga menurunkan kepuasan dalam menjalani hidup. Ketika pekerjaan menjadi bagian dari setiap aspek kehidupan, tidak ada lagi batas yang jelas antara waktu kerja dan waktu istirahat.
Artikel "Multitasking is not the answer to your feelings of ‘overwhelm’", The Straits Times, 11 Februari 2025, ditulis oleh Camilla Cavendish, menyoroti bagaimana banyak pekerja merasa semakin tertekan akibat kebiasaan multitasking yang berlebihan. Sebuah survei bahkan mengungkap bahwa sebagian orang mengirim e-mail dari toilet karena merasa tidak memiliki cukup waktu. Selain itu, sejumlah besar responden tetap bekerja di ponsel mereka saat malam hari, bahkan saat menonton televisi atau mengikuti rapat bisnis. Fenomena ini menunjukkan bahwa multitasking tidak hanya menjadi kebiasaan, tetapi juga gejala dari masalah manajemen waktu yang lebih besar.
Dalam perspektif manajemen waktu, kebiasaan multitasking sering kali berakar pada ketidakmampuan mengatur prioritas. Banyak orang merasa bahwa dengan melakukan beberapa hal sekaligus, mereka dapat menyelesaikan lebih banyak tugas dalam waktu singkat. Namun, tanpa perencanaan yang matang, multitasking justru membuat seseorang kehilangan kendali atas jadwalnya sendiri. Strategi yang lebih efektif adalah dengan menerapkan teknik seperti time blocking, yaitu menetapkan waktu khusus untuk satu tugas tertentu, atau metode Pomodoro, yang membagi waktu kerja menjadi sesi fokus dengan jeda teratur. Metode Pomodoro adalah teknik manajemen waktu yang membagi pekerjaan ke dalam interval fokus selama 25 menit, yang disebut "satu Pomodoro", diikuti oleh istirahat singkat selama 5 menit. Setelah empat Pomodoro, seseorang mengambil istirahat lebih panjang (15–30 menit). Teknik ini membantu meningkatkan fokus, mengurangi kelelahan mental, dan mencegah prokrastinasi dengan memecah tugas besar menjadi bagian kecil yang lebih mudah dikelola. Dengan cara ini, seseorang dapat tetap produktif tanpa harus mengorbankan kualitas pekerjaan maupun kesehatan mentalnya.
Dari perspektif makna kehidupan universal, kebiasaan multitasking yang berlebihan dapat mencerminkan krisis nilai dalam masyarakat modern. Ketergesaan dan tekanan untuk selalu produktif sering kali membuat seseorang kehilangan makna dalam pekerjaannya. Hidup yang seharusnya dijalani dengan kesadaran penuh (mindfulness) justru berubah menjadi sekadar mengejar tenggat waktu tanpa benar-benar menikmati prosesnya. Ketika seseorang terlalu sibuk melakukan banyak hal sekaligus, mereka kehilangan kesempatan untuk merasakan momen-momen kecil yang sebenarnya memberi kebahagiaan dalam hidup, seperti menikmati waktu bersama keluarga atau sekadar merenung dalam kesunyian.
Dalam perspektif Islam misalnya, konsep keseimbangan dalam kehidupan sangat ditekankan. Islam mengajarkan pentingnya membagi waktu secara adil antara ibadah, pekerjaan, keluarga, dan istirahat. Dalam Al-Qur'an, Allah berfirman, "Dan janganlah kamu lupakan bagianmu dari dunia" (QS. Al-Qasas: 77), yang menegaskan bahwa manusia harus menjalani kehidupan dengan keseimbangan, tidak terjebak dalam ekstremitas kerja yang berlebihan. Rasulullah SAW juga memberikan contoh dengan membagi waktu antara bekerja, beribadah, dan berinteraksi dengan keluarga. Prinsip ini menunjukkan bahwa manajemen waktu yang baik bukan hanya soal efisiensi, tetapi juga tentang bagaimana seseorang menjaga keharmonisan dalam hidupnya.
Implikasi dari kebiasaan multitasking yang tidak terkendali juga dapat berdampak pada kesehatan mental dan fisik. Stres yang diakibatkan oleh tuntutan pekerjaan yang terus-menerus dapat memicu berbagai masalah kesehatan, mulai dari gangguan tidur hingga penurunan daya tahan tubuh. Oleh karena itu, kesadaran akan pentingnya mengambil jeda dan membiarkan diri untuk benar-benar fokus pada satu hal dalam satu waktu adalah bagian penting dari kesejahteraan manusia. Menghargai waktu bukan hanya berarti menggunakannya secara produktif, tetapi juga memastikan bahwa setiap aktivitas memiliki makna dan tidak sekadar menjadi beban yang harus diselesaikan.
Pada akhirnya, multitasking bukanlah solusi untuk menghadapi tekanan hidup, melainkan sering kali menjadi penyebab utama dari perasaan kewalahan yang dialami banyak orang. Dengan memahami bahwa fokus dan keseimbangan lebih penting daripada sekadar menyelesaikan banyak hal dalam waktu singkat, seseorang dapat mencapai kualitas hidup yang lebih baik. Menerapkan strategi manajemen waktu yang efektif, memahami nilai mindfulness, dan mengambil inspirasi dari prinsip keseimbangan dalam Islam dapat membantu mengembalikan kendali atas hidup, sehingga pekerjaan tidak lagi menjadi beban, melainkan bagian dari perjalanan yang bermakna.