Laporan Wartawan Tribun Jabar, Muhamad Nandri Prilatama
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Sidang praperadilan kasus dugaan penguasaan lahan Kebun Binatang Bandung mulai digelar di Pengadilan Negeri (PN) Bandung, Jawa Barat, dengan dua tersangka sebagai Pengelola Yayasan Margasatwa Tamansari (YMT), yakni Raden Bisma Bratakoesoma dan Sri.
Kuasa Hukum kedua terduga tersangka, Idrus Mony menyampaikan alasan pihaknya melayangkan praperadilan, karena meyakini kedua kliennya, Bisma dan Sri adalah korban dari kriminalisasi. Dia menilai penetapan tersangka terhadap kliennya kurang kuat secara hukum.
Saat ini, katanya, sengketa kepemilikan lahan masih dalam proses perkara perdata dan status kepemilikan lahan belum ada putusan inkrah.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2021, terutama pada Pasal 1 ayat 2 PP 20/2021, bahwa tanah terlantar adalah tanah yang tidak diusahakan, tidak dipergunakan dan atau tidak dipelihara. Tanah terlantar dapat menjadi objek penertiban tanah.
"Seseorang dapat memperoleh hak milik atas tanah yang didudukinya tanah sertifikat jika memenuhi syarat-syarat tersebut. Jadi, penguasaan lahan lebih dari 20 hingga 30 tahun bisa dianggap sebagai penguasaan yang sah dengan itikad baik. Ini menjadi dasar bagi kebun binatang untuk mengeklaim hak kepemilikannya,” kata Idrus, Rabu (12/2/2025).
Idrus menambahkan, proses penegakan keadilan tidaklah semudah menegakkan benang basah, tetapi membutuhkan energi, proses, dan banyak hal.
“Kali ini, proses pencarian keadilan yang bermartabat haruslah bisa berjalan seiring dengan telah masuk ke sidang perdana praperadilan dan terus bergulir hingga sampai Jumat 14 Februari 2025,” ujarnya.
Idrus mengaris bawahi agenda yang dibicarakan adalah terkait dengan pembuktian di mana pemohon dari praperadilan ini mengajukan empat orang saksi, kemudian ditambah dengan satu ahli pidana yang khusus untuk mengajukan tentang formalitas dari apa yang diajukan di praperadilan dan tampak hasil dari sidang di pengadilan secara terang.
Katanya, keterangan saksi ahli secara garis besarnya mengatakan bahwa tidak mungkin status tanah yang dipersoalkan pada 1956 kemudian dimintakan pertanggungjawabannya kepada anaknya di 2025 yang rentang waktunya sudah berjalan selama 93 tahun.
“Asumsi saksi ahli, Azmy Syahputra, dalam persidangan menyatakan, secara analogi adalah hal yang tidak mungkin orang lain yang memakan sesuatu tetapi dampaknya orang lain lagi yang harus mencuci piring. Dan, saksi ahli pun menyampaikan secara spontan, bahwa hal ini merupakan kriminalisasi,” ucap Idrus.
Dia pun memaparkan keterangan saksi ahli bahwa makna kriminalisasi yang dimaksud oleh saksi ahli adalah pengkriminalisasian kepada Sri dan Bisma Bratakoesoma.
Sehingga, prosedur secara formil yang dilakukan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jabar melalui Asisten Tindak Pidana Khusus (Aspidsus) itu dipertanyakan.
“Bahkan kami pun mempertanyakan, dasar perhitungannya kerugian juga, penerapan pasal terhadap persangkaan pasal 2 ayat 1 juncto, pasal 18 ayat 1 huruf b itu juga dalam persidangan diragukan oleh saksi ahli. Saksi ahli bilang potensi kerugian negara itu harus bisa disampaikan secara real nilai kerugiannya,” katanya.
Tak hanya itu, lanjutnya, objek sengketanya belum memiliki kekuatan hukum yang tetap, tetapi dipaksakan oleh Kejati Jabar melalui Aspidsus. Hal inilah yang coba dihimbaukan kepada Jaksa Agung agar bisa memonitor perilaku-perilaku menyimpang oknum rekan-rekan Kejati, yang melakukan investigasi menyeluruh kepada oknum tersebut.
“Kami berharap, bukan saja dari Kejaksaan Agung tetapi dimonitor juga oleh lembaga hukum supaya peristiwa ini tidak terjadi di kemudian hari yang menjadi paradigma negatif dan menciptakan preseden yang buruk terhadap penegakan hukum di negara NKRI ini,” ucap Idrus.(*)