Laporan Wartawan TribunJabar.id, Nazmi Abdurrahman
TRIBUNJABAR.ID, BANDUNG - Wacana Badan Kepegawaian Daerah (BKD) Provinsi Jawa Barat (Jabar) menerapkan skema work from anywhere (WFA) untuk Aparatur Sipil Negara (ASN) dalam rangka mengimplementasikan efisiensi anggaran perlu dikaji secara serius.
Hal itu diungkapkan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Katolik Parahyangan (Unpar), Kristian Widya Wicaksono saat dihubungi, Rabu (12/1/2025).
Dikatakan Kristian, kebijakan tersebut masih menjadi perdebatan, terutama terkait efektivitas dan dampaknya terhadap pelayanan publik.
Kristian menilai, ada dampak positif dan negatif dari wacana kebijakan tersebut. Positifnya adalah fleksibilitas kerja, peningkatan produktivitas, efisiensi biaya operasional seperti mengurangi pengeluaran pemerintah untuk biaya listrik, transportasi dinas bagi pejabat struktural yang mendapat fasilitas mobil dinas, dan menekan biaya kebutuhan operasional kantor sehari-hari.
"Ramah lingkungan, mengurangi emisi gas karbon yang dapat mencemari udara sebagai akibat ASN tidak harus bermobilisasi menggunakan kendaraan beremisi karbon untuk bekerja dari kantor," ujar Kristian.
Adapun dampak negatifnya adalah penurunan pengawasan, ASN mungkin kurang terkontrol dalam menjalankan tugasnya dibandingkan jika bekerja dari kantor.
Tak cuma itu, dampak negatif lainnya yakni potensi penurunan disiplin, karena tidak adanya pemantauan langsung dapat menyebabkan penurunan disiplin ASN.
"Kesenjangan infrastruktur, kan tidak semua daerah memiliki akses internet stabil dan memadai untuk mendukung kerja jarak jauh dan keamanan data pemerintah. Penggunaan perangkat pribadi dan jaringan yang tidak aman dapat meningkatkan risiko kebocoran data," ucapnya.
Pertanyaannya, kata dia, bagaimana agar ASN yang bekerja di luar kantor ini berjalan efektif. Pertama, perlu dilakukan digitalisasi sistem pemerintahan agar tidak memperlambat pengambilan keputusan dan layanan publik.
Jenis pekerjaan yang dilakukan ASN pun, perlu diperhatikan, misalnya ASN yang bekerja dalam bidang administratif, perencanaan, atau analisis data bisa lebih mudah menerapkan WFA.
"Akan tetapi ASN yang bertugas dalam layanan langsung kepada masyarakat, kemungkinan tetap perlu bekerja secara hybrid," ucapnya.
Selain itu, jika kebijakan ini benar-benar diterapkan maka perlu indikator atau target kinerja baru untuk mengukur pekerjaan ASN selama WFA.
Misalnya, kata Kristian, kinerja berbasis output, bukan presensi fisik. Artinya, ASN yang bekerja secara WFA harus dinilai dari hasil kerja yang dicapai, bukan dari jam kerja atau kehadiran fisik.
"Contoh jumlah dokumen yang dapat diselesaikan, hasil proyek yang mampu dirancang, atau realisasi pelayanan yang diberikan," katanya.
Kemudian pemanfaatan teknologi dalam monitoring kinerja. ASN yang bekerja dari mana saja, kata dia, perlu menggunakan sistem e-office, pelaporan berbasis digital, dan aplikasi kerja online untuk memudahkan pemantauan kinerja.
"Selanjutnya adalah Key Performance Indicator (KPI) yang jelas dan terukur untuk ASN dalam berbagai sektor. Misalnya, untuk ASN di bidang administrasi maka yang diukur sebagai KPI adalah kuantitas dokumen yang diproses dalam sehari/minggu. ASN di bidang pelayanan, diukur melalui jumlah permohonan yang bisa diproses hingga selesai dan kuantitas aduan yang dapat diatasi dengan tingkat kepuasan tertentu," ucapnya.
Terkahir adalah evaluasi berkala dan penyesuaian kebijakan. Pemerintah perlu melakukan evaluasi berkala terhadap efektivitas WFA dan melakukan penyesuaian berdasarkan data yang diperoleh serta kebutuhan organisasi.