Pemerintah Diminta Lanjutkan Penyelesaian Nonyudisial atas Pelanggaran HAM Masa Lalu di Papua 
GH News February 12, 2025 08:06 PM

Presiden Prabowo Subianto diharapkan bisa menyelesaikan dugaan pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) masa lalu di Papua.  Hal itu sebagaimana dikatakan aktivis sekaligus Ketua Lembaga Swadaya Masayarakat (LSM) Papua Bangkit, Hengky Jokhu.

Menurutnya, pentingnya negara bertanggungjawab menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu, mengingat peristiwa meninggalnya tokoh papua Parmenas H. Yoku dan dua orang lainnya yang terjadi pada era orde lama dan orde baru, tepatnya 1963 hingga 1972.

Ketika itu, status Irian Barat (Papua Barat) masih di bawah yuridiksi United Nations Temporary Executive Authority (UNTEA), sebuah badan di bawah Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB). 

"Sehingga penghilangan nyawa tokoh Papua perlu mendapat perhatian dPresiden Prabowo selaku Kepala Negara," kata Hengky dalam pesan yang diterima, Rabu (12/2/2025).

Dia berharap Prabowo bisa menyelesaikan persoalan tersebut dengan menginisiasi kegiatan Penyelesaian nonyudisial Pelanggaran Hak Asasi Manusia (PPHAM).

Hal tersebut, dikatakan Hengky, harus melibatkan para keluarga korban warga Kampung Ifar Besar, Distrik Sentani, Kabupaten Jayapura, Papua.

"Dasar Hukumnya yakni Kepres No. 17 Tahun 2022 tentang pembentukan tim Penyelesaian NonYudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu dan Inpres No. 2 Tahun 2023 tentang pelaksanaan rekomendasi Penyelesaian Non Yudisial Pelanggaran HAM berat masa lalu," kata dia.

Di Kabupaten Jayapura, Hengky mencatat ada beberapa peristiwa pelanggaran HAM berat mulai dari tahun 1963 sampai tahun 2000an.  Di Kampung Ayapo, dikatakan Hengky, ada 8 orang yang hilang hingga hari ini kasus tersebut belum selesai. 

Sementara, di Kampung Ifar Besar ada tiga orang. Pertama yakni Permenas Joku yang merupakan tokoh Irian Barat.

Dari testimoni keluarga, Parmenas pada Juli 1963, diundang oleh SEKIB (sekretarist khusus urusan Irian Barat, di bawah Departemen Dalam Negeri), datang ke Jakarta dalam rangka sosialisasi penggabungan Irian Barat ke dalam Indonesia, tetapi tidak setuju Irian Barat masuk Indonesia.

Parmenas lebih setuju wilayah dan penduduk Papua yang masih tertinggal, tidak masuk wilayah Indonesia. Pada 18 Desember 1963, dia diundang dalam acara ramah tamah lepassambut pasukan operasi ketertiban. 

Acara berlangsung di sebuah gedung di Kota Sentani. Sepulang dari pertemuan, Parmenas diduga dieksekusi dengan tragis. Jasadnya ditemukan pagi hari 19 Desember 1963, terbaring di bawah jembatan sekitar 200 meter dari rumahnya di ujung landasan bandara Sentani. Kematiannya mirip dengan kondisi yang dialami oleh Theys Eluay (2001). 

"Parmenas Joku adalah tokoh Papua pertama Korban Pelanggaran HAM Berat masa lalu. Aset pribadi berupa lahan peternakan sapi luas kurang lebih 4 hektare, yang dikelola keluarga Parmenas, telah dirampas dan kuasai tanpa kompensasi kepada keluarga Parmenas," kata dia.

Kemudian, korban kedua adalah Yulianus Yoku, seorang anak muda yang ikut semacam pergerakan Papua Merdeka. 

"Keluarga Yulianus masih hidup dan almarhum berstatus belum berkeluarga saat dieksekusi," katanya.

Yulianus Yoku, dari cerita Hengky, saat itu dikejar dari Kampung Ifar Besar oleh oknum anggota TNI. Yoku pun berenang ke Kampung Yobeh, lalu di sana dia ditembak di bawah kolong rumah. Peristiwa itu terjadi pada Juli 1969 setelah Pepera. 

Korban ketiga, terjadi pada pertengahan 1972, Yonatan Yoku pegawai harian Tower (Meteo) kantor Pensip Sentani, dicurigai sebagai anggota OPM dan dikenakan wajib lapor. 

"Seminggu sekali datang melapor ke Sentani. Setiap kali melapor, Yonatan ditemani keluarganya. Pada suatu ketika di bulan November 1972, karena merasa amanaman saja, Yonatan datang melakukan wajib lapor tanpa ditemani keluarganya," kata Hengky.

"Namun, sejak masuk melapor, Yonatan tidak pernah keluar dari kantor tersebut, hingga hari ini. Keluarga almarhum telah bertanya ke Koramil hingga Kodam XVII/Cenderwasih, tetapi tidak pernah mendapat jawaban," kata dia.

Hengky yang juga mantan aktivis 98 itu mengatakan, peristiwa yang menimpa keluarga Yoku tersebut sebenarnya ingin dilupakan, karena dirasa percuma menuntut kepada pemerintah soal dugaan pelanggaran HAM masa lalu.

"Yang mana dipastikan para pelakunya sudah tidak ada, karena peristiwanya sudah cukup lama. Siapa yang mau diminta pertanggungjawaban? Negara tidak mungkin mau. Peristiwa pelanggaran HAM berat ini terjadi di Orde Lama dan Orde Baru. Kita tahu saat itu pendekatan keamanannya sarat kepentingan militeristik," sambungnya.

Hengky melanjutkan, pada era reformasi, penghargaan terhadap HAM semakin baik, kondisi politik sekarang lebih demokratis, apalagi di era kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto, telah dibentuk Kementerian Hak Asasi Manusia, yang dipimpin oleh putera asli Papua, Natalius Pigai.

"Maka tidak ada alasan jika Kabinet Merah Putih tidak mampu menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Teristimewa pelanggaran HAM Berat terhadap warga Papua, ketika Irian Barat dari segi hukum international, belum menjadi bagian dari wilayah Indonesia," kata dia.

Menurutnya, pemerintah perlu tahu, bahwa keluarga besar Yoku yang berada di Indonesia hingga di luar negeri, tidak akan pernah melupakan kejadian tersebut

"Kami harus menatap masa depan dengan wawasan berpikir yang lebih baik dan maju, karena kami keluarga besar dari tiga korban ini tidak ingin tersandera oleh peristiwa pelanggaran HAM berat masa lalu," kata Hengky.

Oleh karena itu, Hengky pun berharap Presiden Prabowo dapat menyelesaikan semua bentuk pelanggaran HAM berat masa lalu, khususnya dengan melanjutkan pendekatan hukum dan nonyudisial.

"Kami berinisiatif merangkum semua peristiwa dari tiga keluarga korban ini untuk melaporkan ke pemerintah, dalam hal ini Kementerian HAM, dan kami tidak menuntut apaapa ke pemerintah. Itu tergantung dari kebijakan pemerintah," kata dia.

Apabila pemerintah memiliki niat baik untuk memperbaiki atau membantu, Hengky mengatakan sekiranya ada bantuan berupa perbaikan kualitas pendidikan, kesehatan, dan juga peningkatan kualitas sumber daya manusia di Kampung Ifar Besar.

Hengky juga membuat resume dari testimoni tersebut. Dengan dokumendokumen seadanya, dia dan keluarga Yoku akan melaporkan kejadian ini ke Kementerian HAM.

"Ini merupakan arahan dari Menkopolhukam di era pemerintahan yang lalu, yakni mendorong penyelesaian nonyudisial. Terus tembusannya tentu kepada pemerintah daerah, Komnas HAM, kemudian instansiinstansi terkait lainnya yang ada di Provinsi Papua ini, dan juga kepada sanak keluarga diaspora di Belanda, Australia dan negaranegara pasifik lainnya," pungkasnya.

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.