Tentara Israel Dijegal Krisis Parah Anggaran Perang Saat Bersiap Lanjutkan Agresi Militer di Gaza
Hasiolan Eko P Gultom February 12, 2025 09:37 PM

Tentara Israel Dijegal Krisis Keuangan Parah Saat Bersiap Lanjutkan Perang Gila-gilaan di Gaza

TRIBUNNEWS.COM - Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, mengeluarkan pernyataan terkait situasi kelanjutan negosiasi gencatan senjata di Gaza dengan Gerakan Hamas.

Setelah melakukan rapat dengan kabinet perangnya, Rabu (12/2/2025), Netanyahu dan kabinet perangnya, merujuk laporan media Israel, akan mengikuti pernyataan Presiden Donald Trump.

Trump menyebut, jika sandera Israel yang berada di tangan Hamas tidak dibebaskan pada Sabtu (15/2/2025), sesuai jadwal, maka akan tercipta 'Hell on Earth' di Gaza, merujuk pada penggunaan kekuatan militer kembali ke wilayah kantung Palestina tersebut.

"Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan Kabinet Perangnya mematuhi pernyataan Presiden AS Donald Trump mengenai pembebasan semua tahanan yang tersisa Sabtu depan," tulis laporan media Israel dikutip Khaberni, Rabu.

Pihak Israel juga menilai, seruan Trump soal pengusiran warga Gaza ke lokasi lain, merupakan visi revolusioner.

"Jika Hamas tidak membebaskan tentara kami yang diculik paling lambat Sabtu sore, gencatan senjata akan berakhir dan tentara akan kembali bertempur," ancam Netanyahu.

SANDERA ISRAEL DIBEBASKAN - Foto ini diambil pada Minggu (9/2/2025) dari publikasi resmi Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) pada Sabtu (8/2/2025), memperlihatkan tiga sandera Israel (kiri-kanan); Ohad Ben Ami, Eli Sharabi, Or Levy, berdiri dengan masing-masing diapit oleh dua anggota Brigade Al-Qassam selama pertukaran tahanan ke-5 pada Sabtu (8/2/2025) sebagai bagian dari implementasi perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas di Jalur Gaza, dengan imbalan 183 tahanan Palestina.
SANDERA ISRAEL DIBEBASKAN - Foto ini diambil pada Minggu (9/2/2025) dari publikasi resmi Brigade Al-Qassam (sayap militer Hamas) pada Sabtu (8/2/2025), memperlihatkan tiga sandera Israel (kiri-kanan); Ohad Ben Ami, Eli Sharabi, Or Levy, berdiri dengan masing-masing diapit oleh dua anggota Brigade Al-Qassam selama pertukaran tahanan ke-5 pada Sabtu (8/2/2025) sebagai bagian dari implementasi perjanjian gencatan senjata Israel-Hamas di Jalur Gaza, dengan imbalan 183 tahanan Palestina. (Telegram Brigade Al-Qassam)

Alasan Hamas Menunda Pembebasan Sandera Israel

Gerakan pembebasan Palestina, Hamas, mengumumkan penundaan pembebasan berikutnya sandera Israel yang dijadwalkan berlansung pada Sabtu (15/2/2025) pekan ini.

Penundaan ini membuat gencatan senjata sementara yang terjadi makin rapuh. Terlebih, komentar-komentar terbuka Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump justru makin meriuhkan tensi saat Israel dan Hamas tengah gusar menanti langkah-langkah berikutnya.

Pengumuman Hamas ini dilakukan Senin (10/2/2025), hanya beberapa hari sebelum jadwal pembebasan kelompok sandera berikutnya.

Juru bicara Brigade Al-Qassam, Abu Obaida, dalam salah satu pernyataan resminya yang dirilis di Telegram kelompok tersebut, menyebut penundaan dilakukan karena Israel melakukan sejumlah pelanggaran mencolok dalam gencatan senjata.

Dia menyatakan pengumumannya sebagai "peringatan" bagi Israel dan mengatakan kalau mereka memberi mediator perundingan "cukup waktu untuk menekan pendudukan (Israel) agar memenuhi kewajibannya (dalam gencatan senjata) ".

Dikatakannya "pintu tetap terbuka" untuk rilis (pembebasan sandera Israel) terjadwal berikutnya yang akan dilaksanakan pada hari Sabtu.

Kelompok perlawanan Palestina tersebut tampaknya memberi waktu agar kebuntuan itu terselesaikan.

Terjegal Krisis Keuangan Parah

Ancaman Netanyahu yang mendapat dukungan Donald Trump plus sikap teguh Hamas, menjadi indikasi kuat kalau gencatan senjata segera berakhir dan Perang Gaza akan berlanjut.

Hanya, Tentara Israel menghadapi krisis pendanaan yang parah yang dapat menghambat rencana memulai kembali perang di Gaza, menurut laporan di surat kabar Israel "The Marker".

"Meskipun Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu berjanji untuk melenyapkan Hamas, anggaran negara tahun 2025 didasarkan pada asumsi kalau intensitas pertempuran akan mereda. Turunnya nilai anggaran ini dapat menyebabkan militer Israel menghadapi lubang keuangan besar jika perang kembali ke tingkat sebelum gencatan senjata," kata laporan itu.

Menurut harian bisnis Israel, anggaran pertahanan Israel untuk tahun 2025, setelah dikurangi bantuan AS, adalah sekitar NIS 107 miliar ($28,8 miliar setara Rp 471,3 Triliun), dengan tambahan NIS 10 miliar ($2,7 miliar) sebagai cadangan jika terjadi eskalasi perang.

Akan tetapi, laporan surat kabar tersebut memperkirakan bahwa jumlah ini tidak cukup untuk menutupi pengeluaran militer jika perang melawan Hamas berlanjut dengan intensitas yang sama seperti awalnya.

LARAS TANK MERKAVA - Foto tangkap layar Khaberni, Rabu (12/2/2025) menunjukkan pasukan Israel (IDF) menjejerkan posisi laras meriam tank Merkava dalam agresi militer di Gaza. Pasukan Israel dijegal krisis keuangan saat mereka berniat melanjutkan perang di Gaza karena potensi berakhirnya gencatan senjata dengan Hamas.

Peningkatan Tajam Pengeluaran

Diperkirakan, kembalinya terjadinya pertempuran intensif akan menyebabkan peningkatan tajam dalam pengeluaran militer.

"Tingginya pengeluaran militer yang dapat memperburuk krisis ekonomi di Israel dan merugikan peringkat kreditnya, yang telah diturunkan selama perang, selain berdampak negatif pada investasi asing," kata laporan itu.

Untuk menggambarkan biaya perang, laporan surat kabar mengindikasikan kalau Israel menghabiskan sekitar 1,8 miliar shekel ($485 juta atau setara Rp 7,9 Triliun) per hari untuk pertempuran selama bulan-bulan pertama perang.

"Namun pengeluaran ini turun menjadi hanya 300 juta shekel per hari ($81 juta) di bawah penerapan gencatan senjata," kata laporan tersebut.

Dalam konteks yang sama, agresi militer darat di Lebanon musim panas lalu menghabiskan biaya lebih dari 500 juta shekel per hari ($135 juta).

"Data tambahan ini menunjukkan bahwa setiap eskalasi tambahan, baik di Gaza maupun di perbatasan Lebanon, akan meningkatkan beban keuangan secara signifikan," tambah laporan tersebut.

Biaya Prajurit Cadangan (Reserve Division)

Laporan itu juga menunjukkan kalau salah satu faktor utama pendorong kenaikan pengeluaran militer adalah ketergantungan yang besar militer Israel (IDF) pada prajurit cadangan.

Laporan tersebut menunjukkan, ketentaraan Israel saat ini memiliki sekitar 60.000 tentara cadangan, jumlah yang 10 kali lebih tinggi daripada jumlah sebelum perang.

"IDF memperkirakan bahwa setiap eskalasi baru akan memerlukan pemeliharaan jumlah ini atau bahkan peningkatannya dengan tambahan 5.000 hingga 10.000 prajurit," kata laporan tersebut.

"Meskipun pemerintah berupaya meloloskan undang-undang baru yang memperpanjang masa dinas wajib menjadi 36 bulan, menunda persetujuannya di Knesset dapat memaksa tentara untuk memanggil lebih banyak cadangan, yang berarti biaya tambahan yang akan meningkatkan tekanan keuangan pada anggaran IDF," tambah laporan tersebut.

Sebagai catatan, prajurit cadangan (reserve division) IDF berasal dari warga sipil yang direkrut dalam kerangka wajib militer.

Biaya pelatihan dan tunjangan bagi personel IDF di reserve division ini lebih tinggi dari prajurit yang berasal dari kedinasan.

Lazimnya, prajurit cadangan akan ditempatkan di lapangan sebagai personel tempur baik di satuan infanteri maupun satuan teknis lain di lapangan.

Sebaliknya, tentara Israel yang berada di jalur kedinasan cenderung di tempat di 'back office' sebagai administrator.

Laporan tersebut memperkirakan anggaran pertahanan akan meningkat sekitar NIS 4 miliar ($1,08 miliar) untuk meningkatkan kemampuan (personel) angkatan darat, di samping tantangan lain yang ada. 

"Sebuah komite yang dipimpin oleh Profesor Yaakov Nagel telah merekomendasikan peningkatan jumlah tersebut menjadi NIS 6 miliar ($1,62 miliar), tetapi Kementerian Keuangan Israel menentang hal ini, dan peningkatan yang lebih moderat disetujui," papar laporan tersebut.

"Selain peningkatan ini, tambahan NIS 3 miliar ($810 juta) akan dialokasikan untuk membiayai kontrak militer di masa mendatang, meskipun pengeluaran aktual untuk kontrak tersebut akan dilakukan pada tahun-tahun mendatang dan bukan pada tahun 2025," sebut laporan tersebut.

Penundaan Bantuan AS

Laporan tersebut menyoroti tantangan keamanan yang sedang dihadapi Israel di perbatasan dengan Yordania.

"Itulah sebabnya Israel mempertimbangkan untuk mempercepat pembangunan penghalang perbatasan timur dengan Yordania dengan total biaya yang diperkirakan sekitar 5,2 miliar shekel ($1,4 miliar)," sebut laporan itu.

Daripada menyebarkan pengeluaran untuk proyek tersebut selama satu dekade, perkiraan menunjukkan pemerintah dapat mengalokasikan setengah dari jumlah tersebut dalam anggaran 2025, yang menambah tekanan keuangan pada anggaran pertahanan.

Di antara solusi yang sedang dipertimbangkan oleh lembaga keamanan Israel untuk mengatasi kekurangan dana adalah meningkatkan kemandirian Israel dalam produksi senjata.

Menurut kesimpulan Komite Nagel, sekitar NIS 12 miliar ($3,24 miliar) akan dialokasikan untuk tujuan ini selama dekade berikutnya, sambil mempelajari kemungkinan membangun jalur produksi amunisi lokal alih-alih mengandalkan impor.

Israel selama ini sangat bergantung pada bantuan AS untuk membiayai sebagian besar pengeluaran pertahanannya.

Laporan tersebut mengatakan bahwa pada tahun 2024 Israel menerima $3,5 miliar dari $8,7 miliar bantuan darurat yang dialokasikan oleh Amerika Serikat untuk mendukung operasi militernya, dengan mencatat, "Keterlambatan pencairan $5,2 miliar dari bantuan ini meningkatkan defisit keuangan pemerintah Israel dan memaksanya untuk mengambil langkah-langkah luar biasa untuk menyeimbangkan pengeluaran."

Hal ini juga mengungkap bahwa pemerintah Israel menerima $2 miliar dari tunggakan ini pada awal tahun 2025.

Jumlah sisanya diharapkan akan ditransfer pada tahun 2026, tetapi penundaan ini berarti bahwa militer tidak akan dapat mengandalkan dana ini dalam waktu dekat.

Laporan surat kabar tersebut menyimpulkan bahwa semua data keuangan ini akan menempatkan setiap keputusan untuk mengembalikan perang ke tingkat maksimum di Israel di hadapan tantangan keuangan yang besar, terutama dengan keterlambatan bantuan dan kenaikan biaya cadangan.

"Defisit anggaran ini membuat pemerintah Israel kesulitan untuk memenuhi kebutuhan tentara tanpa menyebabkan kerugian pada ekonomi Israel secara keseluruhan," kata laporan tersebut.

 
 


 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.