TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kasus yang membelit Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Hasto Kristianto dinilai memiliki sejumlah dimensi yang harus dipisahkan secara proporsional.
Pengamat politik, Alvan Alfian, menyiratkan, dimensi yang ada pada kasus Hasto itu adalah dimensi hukum dan dimensi politik.
Atas hal itu, Alfian mengingatkan, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) harus profesional dalam menjalankan tugas pemberantasan korupsi dengan tidak terpengaruh pada aspek politik yang terjadi.
Dengan begitu, andaipun PDIP bergabung ke pemerintahan Prabowo, tidak ada alasan bagi KPK untuk menghentikan kasus Hasto Kristianto.
Penghentian kasus, kata dia, justru akan dipertanyakan publik.
“Kasusnya kan sudah berjalan, sudah lama, jadi KPK harus meneruskan kasus ini. Jangan terpengaruh oleh persoalan politik,” kata dosen pengajar di Universitas Nasional (Unas) itu dalam keterangannya, dikutip, Kamis (13/2/2025).
Publik akan bertanya bagaimana profesionalisme KPK kalau kasus ini di hentikan,” ungkap Alvan.
Kasus hukum Hasto dan bergabungnya PDIP ke kabinet, kata Alvan, adalah dua hal yang terpisah.
Menurut Alvan, dari sisi Prabowo sebenarnya sudah lama bisa merangkul kekuatan politik. Tidak terkecuali merangkul PDIP.
“Orang-orang Prabowo sudah lama komunikasi dengan Megawati sehingga komposisi kepemimpinan itukan sudah terbagi,” kata Alvan.
“Kalau PDIP masuk kabinet, dari Prabowo, welcome saja . Saya kira ini persoalan psikologis saja, sedang secara politik tidak ada masalah. Kalau terkait hukum yang ditangani KPK tetap harus ditangani secara profesional sesuai prosedur hukum yang berlaku," katanya.
Hasto ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK terkait dugaan suap bersama Harun Masiku kepada Wahyu Setiawan saat masih menjabat Komisioner KPU RI.
Hasto juga ditetapkan sebagai tersangka dugaan perintangan penyidikan kasus suap tersebut.
Kasus suap Wahyu itu berawal dari operasi tangkap tangan (OTT) KPK pada tahun 2020.
KPK kemudian menetapkan Wahyu Setiawan yang saat itu Komisioner KPU RI, orang kepercayaan Wahyu bernama Agustiani Tio, pihak swasta bernama Saeful dan Harun Masiku selaku caleg PDIP pada Pileg 2019 sebagai tersangka.
Belakangan Hasto menggugat KPK atas penetapan tersangka dirinya.
Pada Kamis (13/2/2025) Hakim tunggal PN Jaksel, Djuyamto, tidak menerima gugatan praperadilan yang diajukan Hasto.
"Mengadili, mengabulkan eksepsi dari termohon, menyatakan permohonan pemohon kabur atau tidak jelas,” kata Hakim Djuyamto dalam sidang di PN Jakarta Selatan, Kamis (13/2/2025).
Dalam pertimbangannya, Djuyamto mengabulkan eksepsi yang diajukan oleh pihak KPK.
Pasalnya, KPK keberatan dengan dalil gugatan kubu Hasto yang mengajukan keberatan atas dua surat perintah penyidikan.
Menurut hakim, seharusnya permohonan kubu Hasto diajukan dalam dua bentuk gugatan praperadilan.
Dengan tidak diterimanya praperadilan ini, status tersangka Hasto oleh KPK sah.
“Menyatakan permohonan praperadilan pemohon tidak diterima,” kata Djuyamto.
Respons KPK Atas Putusan Praperadilan
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Setyo Budiyanto, menyebut putusan hakim tunggal Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang tidak menerima permohonan praperadilan Sekjen PDIP, Hasto Kristiyanto, sudah pas.
Kata Setyo, keputusan hakim telah sesuai dengan argumentasi yang disampaikan Tim Biro Hukum KPK selama persidangan.
"Putusan hakim sudah proporsional dan tepat sebagaimana pertimbangan dari dalil dan argumentasi yang disampaikan tim hukum dari KPK," kata Setyo kepada wartawan, Kamis (13/2/2025).
Untuk langkah berikutnya, seperti pemanggilan terhadap Hasto, kata Setyo, tinggal menunggu keputusan penyidik.
"Untuk hal terkait tindak lanjut penyidikan nanti urusan penyidik," kata Setyo. (oln/ilhm/tribunnews.com)