Pertukaran Sandera Hamas dan Israel: Masa Depan Perdamaian yang Suram?
Muh Khamdan February 24, 2025 12:20 AM
Gencatan senjata antara Israel dan Hamas yang mulai berlaku sejak 19 Januari 2025 telah menjadi momen krusial bagi upaya perdamaian di Timur Tengah. Dalam rangkaian perundingan yang mengikutinya, Hamas telah melepaskan 25 sandera Israel dengan seremoni yang mengokohkan citra mereka sebagai aktor dominan di Gaza. Namun, keputusan Israel untuk menunda pembebasan 602 tahanan Palestina, meski telah disepakati dalam perundingan, menimbulkan tanda tanya besar mengenai keberlanjutan upaya perdamaian di masa mendatang.
Langkah Israel yang menunda pembebasan tahanan Palestina tidak hanya menjadi pelanggaran terhadap kesepakatan yang telah dibuat, tetapi juga memperlihatkan ketidakseimbangan dalam implementasi gencatan senjata. Hamas meskipun kerap dikritik oleh komunitas internasional, telah memenuhi bagian mereka dalam perjanjian dengan membebaskan enam sandera dari tiga lokasi berbeda. Momen pembebasan sandera Israel oleh Hamas bahkan selalu dihadiri oleh perwakilan Palang Merah Internasional yang menandatangani dokumen pembebasan di atas panggung milik Hamas. Hal demikian semakin memperkuat posisi Hamas sebagai otoritas pemerintahan de facto di Gaza, sekaligus menunjukkan persatuan rakyat Palestina di tengah tekanan yang luar biasa.
Ironisnya, momen pembebasan tahanan Israel juga menyajikan gambaran yang mencolok. Salah satu sandera, Shem Tov, terekam mencium kening para jihadis Hamas di Nuseirat, Gaza Tengah. Adegan ini mengundang berbagai tafsiran, dapat dimaknai sebagai bentuk ketidakberdayaan, strategi untuk bertahan, atau bahkan sebagai simbol dari kompleksitas hubungan manusia dalam konflik yang berkepanjangan. Sementara itu di pihak Israel, narasi yang dikembangkan justru memperlihatkan sikap keras terhadap perjanjian yang telah mereka sepakati sendiri, dengan dalih bahwa ratusan tahanan Palestina yang akan dibebaskan tidak memenuhi kriteria pertukaran.
Situasi ini menciptakan preseden buruk bagi perundingan tahap kedua yang direncanakan berlangsung awal Maret 2025. Hamas kini memiliki legitimasi lebih besar di mata rakyat Palestina, sementara Israel berisiko kehilangan kepercayaan dalam proses diplomasi. Jika Israel terus menunjukkan ketidakkonsistenan dalam menepati perjanjian, Hamas dapat semakin memperkuat posisinya sebagai satu-satunya aktor yang "menjaga janji," yang tentunya akan memperumit upaya mediasi dari pihak ketiga.
Dalam jangka panjang, ketidaklancaran pertukaran tahanan ini juga dapat berdampak buruk pada kemungkinan perdamaian permanen antara Israel dan Palestina. Upaya diplomasi hanya akan berhasil jika kedua belah pihak menunjukkan komitmen yang setara dalam perjanjian. Namun, jika salah satu pihak terus-menerus bertindak secara unilateral dan mengabaikan prinsip kesepakatan bersama, maka skenario perdamaian yang adil dan berkelanjutan akan semakin sulit diwujudkan.
Bagi komunitas internasional, terutama PBB dan negara-negara mediator, peristiwa ini harus menjadi alarm untuk mempertegas tekanan kepada kedua belah pihak agar menepati kesepakatan mereka. Perdamaian di Timur Tengah tidak akan terjadi jika praktik ketidakadilan seperti ini terus berlangsung. Sejarah telah membuktikan bahwa solusi yang tidak adil hanya akan melahirkan siklus kekerasan yang lebih panjang. Oleh karena itu, keterlibatan komunitas global dalam memastikan kepatuhan terhadap kesepakatan adalah hal yang mutlak diperlukan untuk membuka jalan menuju solusi jangka panjang bagi rakyat Israel dan Palestina.
Dalam konteks itu, peran Dewan Keamanan PBB menjadi krusial dalam memastikan implementasi kesepakatan gencatan senjata tetap berjalan sesuai perjanjian. Sebagai badan yang bertanggung jawab atas perdamaian dan keamanan internasional, Dewan Keamanan dapat menggunakan resolusi untuk menekan kedua belah pihak agar menjalankan komitmen gencatan senjata. Sayangnya, perpecahan politik di antara anggota tetap PBB, terutama Amerika Serikat yang cenderung berpihak kepada Israel, seringkali menghambat efektivitas tindakan yang lebih tegas.
Sementara itu, Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) memiliki peran signifikan dalam menggalang dukungan dari negara-negara Muslim untuk meningkatkan tekanan diplomatik terhadap Israel. Dengan mengkoordinasikan respons bersama dan mendorong solusi yang lebih inklusif, OKI dapat berfungsi sebagai suara kolektif dunia Islam dalam mendukung hak-hak Palestina serta memastikan Israel bertanggung jawab terhadap pelanggaran kesepakatan yang telah dibuat.
Di sisi lain, Liga Arab memiliki potensi besar dalam memediasi konflik ini dengan pendekatan politik dan ekonomi. Sebagai organisasi regional, Liga Arab dapat memainkan peran sebagai penengah dengan memberikan insentif ekonomi atau diplomatik kepada pihak-pihak yang terlibat agar tetap berpegang pada kesepakatan. Meski Liga Arab kerap dikritik karena kurangnya efektivitas dalam beberapa tahun terakhir, organisasi ini semakin aktif dalam menyuarakan solusi dua negara sebagai satu-satunya jalan keluar yang berkelanjutan.
Tiga negara mediator, yaitu Mesir, Qatar, dan Amerika Serikat, juga memiliki peranan kunci dalam memastikan gencatan senjata tetap berjalan. Mesir, dengan pengaruh historisnya terhadap Hamas dan Israel, dapat bertindak sebagai jembatan komunikasi yang efektif. Qatar, yang memiliki hubungan dekat dengan Hamas, dapat berperan dalam menekan kelompok tersebut untuk terus mengikuti jalur diplomasi. Sementara itu, Amerika Serikat meskipun lebih condong kepada Israel, memiliki leverage yang cukup besar untuk menekan pemerintah Israel agar lebih fleksibel dalam menepati kesepakatan. Kerja sama dari ketiga negara ini menjadi faktor penentu dalam keberhasilan perundingan tahap kedua yang dijadwalkan awal Maret 2025.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.