Menggali Hikmah Iddah di Tengah Gelombang Feminisme
Riani February 24, 2025 01:20 AM
Dalam Islam sudah menjadi tradisi sejak dulu ketika perempuan yang telah bercerai dengan suaminya baik karena cerai mati maupun cerai hidup harus menjalani masa iddah. Namun, masa iddah ini tidak berlaku apabila perceraian dilakukan dengan cerai gugat yang mana istri yang mengajukan perceraian ke pengadilan.
Iddah adalah masa tunggu yang harus dijalani oleh perempuan yang bertujuan untuk menghormati dan berkabung atas kematian suami serta untuk mengetahui rahimnya tidak ada janin dari sisa pernikahan sebelumnya agar tidak adanya pencampuran nasab (keturunan). Lamanya iddah ini berbeda jangka waktunya tergantung kondisi istri saat diceraikan suaminya sebagai berikut:
1. Perempuan yang dicerai mati suaminya, baik ia telah digauli suaminya ataupun belum maka iddah perempuan tersebut yaitu 4 bulan 10 hari sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 234.
2. Perempuan yang dicerai hidup dan sudah digauli suaminya, tidak dalam keadaan hamil, dan dalam kondisi menopause, maka iddah perempuan tersebut yaitu 3 bulan berdasarkan QS. At-Talaq ayat 4.
3. Perempuan yang dicerai hidup maupun cerai mati dalam keadaan perempuan itu sedang hamil, maka iddahnya sampai ia melahirkan sebagaimana dalam QS. At-Talaq ayat 4.
4. Perempuan yang sudah digauli suaminya, tidak dalam keadaan hamil, dan masih menjalani masa haid (subur), maka iddahnya yaitu 3 quru (3 kali masa haid atau 3 kali masa suci) sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 228.
5. Perempuan yang dicerai hidup suaminya dalam keadaan belum digauli suaminya, maka tidak ada kewajiban perempuan itu menjalani iddah sebagaimana dalam QS. Al-Ahzab ayat 49.
Terkait ini para ulama sepakat bahwa hukumnya iddah adalah wajib sebagaimana dalam QS. Al-Baqarah ayat 228 sebagai berikut:
“Para istri yang diceraikan (wajib) menahan diri mereka (menunggu) tiga kali qurū’ (suci atau haid). Tidak boleh bagi mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam rahim mereka, jika mereka beriman kepada Allah dan hari Akhir. Suami-suami mereka lebih berhak untuk kembali kepada mereka dalam (masa) itu, jika mereka menghendaki perbaikan. Mereka (para perempuan) mempunyai hak seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang patut. Akan tetapi, para suami mempunyai kelebihan atas mereka. Allah Mahaperkasa lagi Mahabijaksana.”
Tidak hanya itu, selama iddah ternyata ada hak dan kewajiban yang dilakukan oleh perempuan tersebut, adapun hak perempuan selama iddah adalah mendapatkan nafkah iddah dan mut’ah. Hal tersebut juga diatur dalam Kompilasi Hukum Islam pada Pasal 149 huruf (b) dijelaskan bahwa bilamana perkawinan putus karena talak, maka bekas suami wajib memberi nafkah, maskan, dan kiswah kepada mantan istri selama dalam masa iddah, kecuali mantan istri telah dijatuhi talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Dalam Pasal 160 menyatakan bahwa besarnya mut’ah disesuaikan dengan kepatutan dan kemampuan suami. Hal yang terpenting dalam memutuskan perkara nafkah adalah memperhatikan tujuan dan asas hukum tersebut yakni asas keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum.
Adapun kewajiban yang harus dijalankan perempuan ketika iddah sebagai berikut:
1. Tidak boleh keluar rumah
2. Dilarang menerima pinangan dan dilarang menikah
3. Tidak berdandan
4. Tidak memakai wangi-wangian
5. Tidak memakai sesuatu yang membuat orang lain tertarik padanya
Muncul sebuah permasalahan yang berkaitan dengan kewajiban perempuan selama iddah seperti bagaimana iddah perempuan karir yang mengharuskan mereka pergi kerja dan berdandan? Apakah masih relevan iddah di tengah maraknya kaum feminis? masih banyak lagi persoalan lainnya, namun yang menjadi menarik adalah di era modern dan maraknya kaum feminis yang terus menyuarakan kesetaraan gender dan juga hak-hak perempuan timbul pemikiran apakah iddah harus dipertahankan di zaman sekarang? Bukankah iddah justru membatasi perempuan?
Perbesar
Iddah melindungi atau membatasi perempuan? Sumber foto: Shutterstock/Shisu_ka
Islam selalu menjunjung dan melindungi hak-hak perempuan begitupun adanya iddah untuk melindungi perempuan dan menjaga kehormatan mereka setelah perceraian. Islam bukanlah agama yang kaku, bahkan selalu relevan sesuai dengan berkembangnya zaman. Walaupun dalam kewajiban perempuan iddah dijelaskan tidak boleh berdandan dan keluar rumah sebenarnya hal itu bisa saja tidak menjadi wajib jika ada hal-hal yang mendesak atau memaksa seperti perempuan karir yang terpaksa bekerja sehingga mengharuskan mereka keluar rumah.
Tidak masalah perempuan karir tetap keluar rumah asalkan kurangi hal-hal dari biasanya, misalnya jika biasanya dandanannya menonjol maka saat iddah dikurangi dandannya atau lebih tipis riasannya. Sebab, iddah bukan dalam hal segi penampilan, tapi yang terpenting adalah etika dan moral perempuan tersebut selama iddah. Bahkan, ada perempuan yang iddah tidak keluar rumah dan mengikuti semua kewajiban selama iddah, tapi justru ia aktif di media sosial dan sering update status selama iddah. Jika dibandingkan antara perempuan karir yang tetap kerja namun mengurangi kebiasaannya dan perempuan yang diam di rumah tapi rajin update status di media sosial, maka lebih beretika perempuan karir tersebut meskipun pastinya masyarakat akan berbeda pandangan terkait itu.
Sejatinya hikmah iddah adalah sebagai bentuk ibadah pada Allah, menjaga bersihnya rahim dari janin, bentuk penghormatan dan belasungkawa terhadap suami. Namun, ada hikmah penting iddah yang jadi alasan iddah ini harus dipertahankan di tengah feminis dan modernisasi bahwa iddah menjadi masa transisi perempuan yang sebelumnya menjadi tanggung jawab suaminya dan dinafkahi beralih dirinya menjadi tanggung jawabnya sendiri dan bukan lagi menjadi tanggung jawab suami ataupun ayahnya. Karena tidak semua perempuan di dunia ini independen dan mandiri dalam segala hal dan juga banyak perempuan yang taat aturan agama sehingga tidak mudah bagi mereka ketika bercerai. Karena itu, dipertahankannya iddah agar perempuan bisa berpikir ke depannya mereka akan seperti apa dan bagaimana selepas iddah selesai, hal penting ini yang jarang disadari banyak orang.