Coretax Dalam Evolusi Sistem Administrasi Perpajakan
I Putu Oca Julistya February 24, 2025 03:00 AM
Coretax, sebagai bagian dari Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP), menjadi langkah strategis dalam mewujudkan Tax Administration 3.0 (TA 3.0). Adiministrasi perpajakan adalah pilar utama sistem fiskal suatu negara. Sebagai sumber penerimaan negara, pajak memiliki peranan vital dalam mendukung pembangunan, penyediaan layanan publik, pendidikan, kesehatan, hingga keamanan nasional, sehingga pelaksanaan sistem administrasi perpajakan yang berkualitas merupakan salah satu prasyarat penting dalam terciptanya sistem perpajakan yang dapat memaksimalkan penerimaan negara.
Pada era revolusi 4.0, administrasi perpajakan dihadapkan dengan tantangan besar untuk dapat beradaptasi dengan dinamika global. Era revolusi 4.0 adalah fase keempat dari siklus revolusi industri dimana setidaknya terdapat lima pilar utama yang menjadi ciri-ciri era ini, diantaranya Internet of Things (IoT), Big Data, Artificial Intelligence (AI), Cloud Computing, dan Additive Manufacturing yang mengubah cara individu, perusahaan, dan pemerintah berinteraksi. Dalam perpajakan misalnya, berbagai perubahan ini memungkinkan otoritas pajak di berbagai negara dapat meningkatkan efisiensi, transparansi, dan akuntabilitas dalam mengelolan pajaknya. Contohnya Estonia, dengan memanfaatkan teknologi blockchain dan digital society sejak 1997, mereka telah berhasil menignkatkan efisiensi dengan menghubungkan 99% pelayanan publik di negaranya, termasuk perpajakan.
Dibalik bersinarnya dampak yang diberikan, transformasi digital dalam administrasi perpajakan bukanlah perkara yang sederhana. Terdapat tantangan yang unik dari setiap negara akibat perbedaan kharakteristik negara terkhusus negara berkembang. Berbeda dengan negara maju, seperti Estonia, perkembangan system administrasi perpajakan justru dihadapkan dengan tuntutan kebijakan yang adaptif, keamanan data, keterbatasan akses teknologi, dan resistensi terhadap perubahan, serta sumber daya manusia yang masih terbatas. Indonesia misalkan, sebagai negara berkembang terbesar di Asia tenggara dengan indeks pembangunan manusia yang tergolong masih cukup rendah yakni berada di urutan 114 dari 191 dengan score 0,75 pada tahun 2022 dan jumlah populasi yang sangat besar mencapai 284,3 juta jiwa membuat proses administrasi perpajakan menjadi hal yang tidak sederhana . Dengan kompleksitas aktivitas ekonomi yang besar ditambah laju modernisasi yang cukup masif, system administrasi konvesional tidak lagi mampu mengakomodasi kebutuhan ekonomi modern.
Transformasi digital administrasi perpajakan 3.0 (TA 3.0) pada dasarnya tidak hanya tentang adopsi teknologi baru pada instansi perpajakan, tetapi juga pada kerangka, tata kelola dan pendekatan terhadap Wajib Pajak. Sebagai visi masa depan, TA 3.0 menitikberatkan pada pengembangan system yang proaktif, adaptif, dan berbasis data (Oecd, 2020). Sistem ini tidak hanya untuk meningkatkan pengawasan yang lebih efektif, tetapi juga memberikan pengalaman yang lebih baik bagi WP. Namun, selayaknya Idiom dalam ekonomi “tidak ada makan siang yang gratis”, terdapat beberapa prasyarat harus dipenuhi demi terciptanya visi ini meliputi kebijakan yang adaptif, keamanan data, keterbatasan akses teknologi, dan resistensi terhadap perubahan, serta sumber daya manusia yang masih terbatas.
Coretax merupakan salah satu langkah strategis yang dilakukan Pemerintah dalam merespon tuntutan TA 3.0. DJP mengembangkan Coretax untuk mengintegrasikan dan memodernisasi proses perpajakan secara integral. Sistem ini meng-cover berbagai fitur esensial, seperti: singkronisasi akun WP dengan berbagai kewajiban yang harus dipenuhi sehingga dapat diberikan notifikasi mengenai tagiahan, pembayaran, pelaporan; simplifikasi proses administrasi perpajakan dengan integrasi data yang lebih efisien; pembayaran pajak melalui satu kode billing untuk berbagai jenis pajak; dan otomasi pelaporan SPT.

Perbedaan Signifikan pada Administrasi Perpajakan dari Era 1.0 hingga 3.0 dan Alasan Evolusi

Evolusi system TA dari era 1.0 hingga 3.0 merefleksikan peralihan dalam paradigma tata kelola perpajakan. Tata kelola ini meliputi metode pengumpulan data, proses administrasi, tingkat human error, transparansi, kepatuhan Wajib Pajak, sistem pengawasan, efisiensi proses, teknologi yang digunakan serta contoh negara yang masih relevan dengan tiap era saat ini.
Era TA 1.0 atau juga dikenal dengan pre-digital era dapat diilustrasikan dengan implementasi metode-metode konvensional. Penggunaan entitas fisik masih sangat umum di era ini sehingga proses administrasi cenderung berjalan lambat. Proses pengumpulan dan analisis data yang sangat terbatas dan penggunaan tenaga manusia yang lebih dominan membuat proses pengawasan di era ini berjalan tidak efektif sehingga rentan terhadap korupsi atau penghindaran pajak. Jika dilihat perkembangan teknologi, diperkirakan TA 1.0 ini berlangsung sekitar 1983 hingga 2000-an.
Beralihnya era TA 1.0 menuju TA 2.0 ditandai dengan mulai digunakannya berbagai platform digital dalam pelayanan perpajakan. Penggunaan platform digital ini memungkinkan terjadinya singkronisasi data dan meminamalisir terjadinya human error. Berbagai inovasi seperti e-registration, e-billing, e-filling, dan database terpusat mulai diterapkan di era ini sehingga memungkinkan terjadinya efisiensi dan transparansi yang jauh lebih baik dari era sebelumnya. Di Indonesia, berlangsungnya era ini dimulai pada tahun 2007 saat e-registration pertama kali diperkenalkan dan sekaligus mengakhiri era TA 1.0 dan kemudian dilanjutkan oleh penerapan berbagai platform lainnya seperti e-filling tahun 2012 dan e-billing tahun 2014. Tantangan utama yang terjadi di era ini adalah platform yang masih terfragmentasi sehingga membuat proses administrasi cenderung kompleks dan membingungkan.
Belakangan ini, topik perbincangan Coretax cukup intens menjadi perbicangan. Kegiatan ekonomi yang semakin kompleks dan proses digitalisasi yang begitu masif membuat berbagai khasus-khasus pajak yang sebelumnya belum pernah ada mulai bermunculan seperti perusahaan over the top yang basis perpajakannya susah dijangkau oleh sistem lama sehingga mendesak pemerintah untuk memperbarui sistem adminitasi perpajakan atau yang saat ini dikenal dengan Coretax. Kemunculan terminologi “Coretax” mengakhiri era TA 2.0 di Indonesia dan mulai beralih ke era TA 3.0. Penggunaan teknologi yang lebih dominan daripada tenaga manusia membuat proses administrasi berjalan lebih transparan, efektif, dan efisien. Singapura misalkan, penggunaan teknologi terbarukan membuat Singapura berhasil mengintegrasikan berbagai lini perekonomian dengan perpajakan.

Visi dan Prasyarat Tax Administration 3.0

Tujuan utama dari Tax Administration 3.0 adalah menciptakan sistem perpajakan yang lebih seamless (tanpa hambatan), otomatis, dan terintegrasi ke dalam kehidupan sehari-hari serta aktivitas bisnis Wajib Pajak. Dengan mengubah pendekatan administrasi pajak dari yang bersifat reaktif dan manual menjadi proaktif dan berbasis data real-time, sistem ini dperkirakan dapat mengurangi beban administratif bagi wajib pajak, meningkatkan kepatuhan melalui desain (compliance-by-design), serta mengurangi risiko penghindaran dan penggelapan pajak. Dikutip dari dokumen Tax Administration 3.0: The Digital Transformation of Tax Administration (2020), OECD menyebutkan setidaknya terdapat 6 visi yang ingin dicapai melalui semangat TA 3.0. Visi-visi tersebut, diantaranya 1) terintegrasi dengan sistem alami wajib pajak, 2) bagian dari “sistem sistem” yang tangguh, 3) didukung oleh teknologi real-time, 4) bersifat transparan dan terpercaya, 5) terhubung secara lintas pemerintah dan privat, 6) sentuhan manusia dan organisasi adaptif berteknologi tinggi.
Dibalik visi TA 3.0, terdapat sejumlah prasyarat yang harus dipenuhi diantaranya kebijakan adaptif yang dapat merangkul berbagai situasi den dinamika ekonomi, infrastruktur digital yang aman dan andal untuk memastikan data WP terhindar dari berbagai serangan siber, akses teknologi yang tidak terbatas, serta sumber daya manusia yang mempuni mampu beradaptasi dengan perubahan zaman. Selain itu OECD (2020) menyebutkan bahwa, impelemtasi sistem id digital yang terintegrasi dan andal menjadi elemen penting dalam menyinkronisasikan proses perpajakan dengan kehidupan wajib pajak. Selain itu, dalam dokumen OECD juga menyebutkan bahwa, standar data internasional perlu disepakati untuk memastikan interoperabilitas antar sistem di berbagai yurisdiksi.

Kesiapan Indonesia dalam Memenuhi Prasyarat Tax Administration 3.0

Tantangan terbesar Indonesia saat ini yang menjadi akar dari berbagai permasalahan lainnya adalah kesiapan sumber daya manusia (SDM). Penggunaan teknologi terbaru seperti AI, IoT, blockchain, big data memerlukan SDM dengan keterampilan khusus dalam mengelelonya. AI misalkan, pakar yang menguasai pengelolaa AI di Indonesia masih sangat sedikit. Selain itu, permasalahan brainout dimana keluarnya para pakar AI ke negara lain untuk mencari pekerjaan yang lebih layak turut menambah tantangan SDM Indonesia. Rendahnya tingkat SDM Indonesia saat ini, kemudian merambat ke permasalahan-permasalahan lainnya seperti kurangnya inovasi, lemahnya daya saing, termasuk kontribusi dalam gap tingkat kepatuhan WP yang masih rendah.
Kemudian, infrastruktur digital yang andal dan aman masih menjadi isu kritis saat ini. Ancaman perpajakan dengan sistem perpajakan konvensional adalah terbatasnya akses data dan sulitnya pengamanan data yang berbentuk fisik membuat pemerintah beralih ke penyimpanan digital terpusat. Peralihan dari sistem perpajakan konvensional menuju sistem perpajakan digital tidak serta merta menghapus permasalahan yang sebelumnya terjadi. Keamanan data tetap menjadi ancaman serius sistem perpajakan saat ini dalam bentuk ancaman siber. Indonesia perlu mengembangkan sistem keamanan data yang lebih kuat untuk memastikan perlindungan informasi wajib pajak dari serangan siber (OECD, 2021).
Hal lain yang masih perlu diperhatikan adalah interoperabilitas data dan integrasi data antar Lembaga. Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, salah satu negara dengan integrasi data terbaik saat ini adalah Singapura dengan National Digital Identity-nya. Dengan sistem ini, Singapura menunjukkan betapa besarnya dampak integrasi data dalam mendukung administrasi perpajakan(Oecd, 2020). Singapura menerapkan standar data yang konsisten dan kolaborasi yang harmonis antara instansi pemerintahan dan sektor swasta dalam mendukung pertukaran data yang seamless yang saat ini belum mampu diterapkan oleh Indonesia atau masih dalam tahap pengembangan.

Coretax Sebagai Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan

Coretax merupakan segmen dari Pembaruan Sistem Inti Administrasi Perpajakan (PSIAP) sebagaimana diatur dalam Perpres No 40 tahun 2018. Proyek ini merupakan redesain dari proses bisnis administrasi perpajakan saat ini melui implementasi sistem berbasis Commercial Off-the-Shelf (COTS) diiringi pembenahan database DJP. Coretax memainkan peran penting dalam mewujudkan visi Tax Administration 3.0. Melalui adopsi, Coretax memungkinkan sistem perpajakan dapat berjalan lebih efisien, efektif, transparan, dan berbasis data.
Coretax memiliki tujuan utama untuk mengintegrasikan berbagai proses bisnis perpajakan seperti pendaftaran, pembayaran, pelaporan SPT, dsb. melalui berbagai teknologi seperti Application Programming Interfaces (APIs). APIs memungkinkan data transaksi dari sistem pembukuan perusahaan secara otomatis terhubung ke otoritas pajak, mengurangi beban administratif dan risiko kesalahan manual. Kemudian, dengan pemanfataan big data, pemrosesan data menjadi dapat dilakukan secara real-time.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.