BANJARMASINPOST.CO.ID - Setelah sidang Mahkamah Konstitusi (MK), Senin (24/2/2025) memutus untuk pelaksanaan pemungutan suara ulang (PSU) Pilkada Kota Banjarbaru, kini sorotan tertuju pada penyelenggara, KPU Banjarbaru dan pengawas Bawaslu Banjarbaru.
Selain di MK, KPU Banjarbaru juga dilaporkan ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).
Diketahui DKPP sudah menggelar sidang pemeriksaan dugaan pelanggaran Kode Etik Penyelenggara Pemilu (KEPP) Perkara Nomor 25-PKE-DKPP/I/2025 di Ruang Sidang Utama DKPP, Jakarta, Jumat (24/1/2025) lalu.
Belum ada pengumuman resmi terkait putusan sidang DKPP dengan teradu para komisioner KPU Kota Banjarbaru, yakni Dahtiar (Ketua), Resty Fatma Sari, Normadina, Hereyanto, dan Haris Fadhillah masing-masing sebagai Teradu I sampai V.
Perkara ini diadukan oleh Said Abdullah memberikan kuasa kepada Syarifah Hayana, Abdul Hanap, dan Daldiri.
Pengadu adalah salah satu calon Wakil Walikota Banjarbaru pada kontestasi Pilkada Tahun 2024 yang kemudian dianulir kepesertaannya oleh KPU Banjarbaru.
Pengamat politik dari FISIP Universitas Lambung Mangkurat (ULM), Taufik Arbain menyentil hal ini.
Taufik menyebut harusnya DKPP mengambil keputusan yang menumbuhkan trust (kepercayaan) publik semakin menguat kepada penyelenggara pilkada.
"Karena kenyamanan publik dalam dinamika politik dan proses pilkada tidak hanya soal adanya putusan PSU dari MK, tetapi juga aspek-aspek non hukum semua lini," katanya.
Taufik menyebut, minimal ada langkah kebijakan diskresi berupa pergantian semua komisioner KPUD dan Bawaslu Banjarbaru.
Diskresi dimaksudkan adalah langkah cepat dan strategis dengan tetap mengaju aspek normatif.
"Tidak elok ada penyelenggaran PSU jika tidak ada pergantian, sementara pokok soal gugatan pada putusan dari KPU," ujarnya.
Sementara terkait hasil sidang MK ang memutus bahwa KPU Banjarbaru harus menggelar pemilihan suara ulang (PSU) alias pencoblosan ulang, Taufik Arbain mengatakan semua pihak patut memberikan apresiasi dan menghormati hasil putusan MK terkait persoalan Pilkada Kota Banjarbaru 2024 lalu.
Menurutnya, ada beberapa catatan penting dari putusan MK dalam menyiapkan dinamika politik Kota Banjarbaru 2025.
"Pertama, semua pihak tentu wajib menghormati hasil putusan MK, dimana diperintahkan dilakukan PSU Pilkada Banjarbaru dalam 60 hari kedepan," ujarnya.
Bahwa adanya Keputusan KPU saat Pilkada November 2024 didasarkan adanya pelanggaran dari paslon 1 sehingga adanya gugatan ke MK karena pun adanya dugaan cacat penyelenggaraan sehingga harus meminta fatwa MK lewat gugatan.
"Putusan ini adalah itikad baik pengulangan proses demokrasi ini yang akan mampu menghantar pilihan Kepala Daerah diserahkan kepada publik untuk dipilih nanti," katanya.
Kedua, tambah Taufik, karena PSU dan paslon hanya 1 untuk melawan kotak kosong, dalam ruang demokrasi semua pihak pun harus menghormati hak-hak paslon dan tim dalam melaksanakan usaha-usaha mempengaruhi publik mengajak untuk memilih paslon tersebut.
"Ini menurut saya hal penting Ketika kita mengedepankan makna demokrasi bahwa adanya penghormatan terhadap usaha paslon menjadi peserta pilkada. Ujian memaknai demokrasi adalah ketika warga dan para aktor mampu menghormati proses demokrasi dan memberikan kedamaian prosesnya," ujarnya.
“Tentu tantangan demokrasi akan memungkinkan adanya framing-framming liar yang mengganggu proses demokrasi itu sendiri. Disinilah ketika makna demokrasi dihadirkan kuat untuk menjawab cacat pelaksanaan pilkada, maka makna demokrasi juga dihadirkan kuat saat proses demokrasi pada PSU nanti,“ ungkapnya.
Proses pengawasan penting tidak sekadar pada usaha-usaha yang dilakukan paslon, tetapi pengawasan juga pada pihak-pihak yang melakukan framing-framing liar mengganggu proses demokrasi.
"Termasuk saya kira, pihak KPUD dan Bawaslu harus Kembali ke titik khittah fungsi sebagai penyelenggara dan wasit dalam pilkada," pungkas doktor jebolan FISIP UGM itu.
(Banjarmasinpost.co.id)