Siapa sosok di balik berdirinya Muhammadiyah? Apa saja tantangan yang dia hadapi? Kenapa yang dia urusi tak hanya soal agama tapi juga pendidikan dan sosial?
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Selasa, 25 Februari 2025, media sosial X atau Twitter tiba-tiba memunculkan Muhammadiyah sebagai salah satu trending topic-nya.
Pembahasannya berkutat tentang pengumuman Puasa Ramadhan 2025, rencana Muhammadiyah membuat bank syariah sendiri, hingga keberhasilan PS Hizbul Wathan (PSHW) Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY) menjuarai Liga 4 PSSI.
Muhammadiyah, yang lahir pada 18 November 1912 tak bisa dilepaskan dari seorang sosok yang di masa kecilnya bernama Mohammad Darwis. Dialah sosok di balik berdirinya Muhammadiyah, salah satu organisasi kemasyarakatan berbasis Islam terbesar di Indonesia.
Kisah seputar sang tokoh ditulis dengan rapi di Majalah HAI edisi Mei 1984. Judulnya “Kiyai Haji Achmad Dahlan “, begini ceritanya.
Pulang dari Mekkah, dia berganti nama. Kiblat surau agak ke utara 24,5 derajat. Sekolah bagi kaum perempuan. Bukan cuma pengajian, bahasa Belanda dan huruf Latin pun diperkenalkan. Lebaran ditepatkan. Muhammadiyah didirikan, bergerak dalam bidang sosial, pendidikan, dan kultural. Pernah ngambek tapi tetap tawakal.
Dalam menuliskan tokoh-yang-membuat-sejarah, kita hampir selalu bertemu dengan pribadi yang kuat. Yang kokoh pendiriannya, yakin akan tujuan perjuangan, dan mempunyai disiplin ketat. Ini semua berarti, tetap teguh menghadapi berbagai tantangan atau godaan.
Namun, dalam penulisan ini kita juga berusaha mengungkapkan sebuah pertanyaan —dan mungkin rumusan jawaban: kenapa para beliau ini menjadi tokoh yang kemudian dicatat sejarah, sementara manusia lain yang sezaman dengannya biasa-biasa saja? Kenapa wawasan para beliau ini lebih luas dibandingkan yang lain?
Jawabannya pasti bukan satu rumusan saja. Kalaupun dikemukakan salah satu jawaban, itu juga bukan berarti satu-satunya jawaban yang benar. Rangkaian tulisan ini hanya mencoba menampilkan salah satu alternatif yang ada. Yang, kira-kira, relevan dengan dunia remaja sekarang ini.
Karena, apalah artinya tokoh-yang-membuat-sejarah, apalah artinya pahlawan, apalah artinya pendekar-pendekar, jika kita hanya mengenai dari poster tua di kaki lima? Apalah artinya kalau kita hanya ingat sesekali ketika menuliskan namanya ketika menulis surat buat seorang sahabat?
Dari riwayat hidupnya, kita suguhkan jawaban ini. Dan ada beberapa persamaan: kenapa Raden Ajeng Kartini, Bung Karno, Sjahrir, Bung Hatta, Haji Agus Salim, memulai bentuk perjuangannya yang konkret setelah bersentuhan dengan "dunia luar". Baik secara fisik pergi dan belajar di luar negeri atau lewat buku-buku. Ide-ide dan gagasannya lebih memungkinkan untuk dikembangkan.
Dalam hal ini bisa ditarik kesimpulan sedikit bahwa pengaruh "dunia luar" — baik dalam kebudayaan, pendidikan atau cara berpikir — tidak selalu diartikan negatif. Entah bagaimana keadaan negara kita ini kalau para tokoh-tokohnya tidak pernah bersentuhan dengan ide-ide dari “dunia luar".
Kadang pengaruh itu juga sedemikian besar nama pun diubah. Seperti yang terjadi pada diri Kiai Haji Ahmad Dahlan.
Darwis namanya. Yogyakarta tempat kelahirannya, 1868 tahunnya. Mohammad Darwis, nama lengkapnya. Sesuai dengan lingkungannya yang ketat dalam beragama. Dia putra keempat Haji Abubakar, ketib masjid besar Kesultanan Yogyakarta. Ibunya, putri dari Kiai Haji Ibrahim, seorang penghulu.
Kecilnya dihabiskan di pesantren. Pergumulan dengan dunia Islam, menemukan kegiatan yang berarti ketika dia naik haji ke Mekah. Di kota suci dia mempelajari banyak hal yang berkaitan dengan dunianya. Sekembalinya ke tanah air, dia mengganti nama menjadi Haji Ahmad Dahlan. Kariernya dimulai, seperti ayahnya, menjadi ketib di masjid Kesultanan Yogyakarta dengan gelar Khatib Amin.
Tahun 1902, dia kembali ke Mekah. Timbaan ilmu pengetahuan, dasar-dasar pemikirannya mulai berkembang luas. Bagai seorang pesilat, dia seperti menemukan jurus-jurus baru, yang kelak di kemudian hari dipraktekkan di tanah air.
Kalau tadi disebutkan pekerjaannya sebagai ketib, hanya untuk menunjukkan bahwa gaji yang diterima tidaklah cukup. Ahmad Dahlan mengisi dengan berdagang ke Jakarta, Surabaya, Deli, Medan.
Perjalanan ini memungkinkan untuk bertemu banyak orang, berbicara berdiskusi, berdebat. Karena dia tidak berhenti sebagai pedagang. Soal harga dagangan bisa selesai satu dua kali tawar-menawar, soal kiriman dagangan asal ditanda terima, selesai. Tapi perdebatan inilah yang panjang ceritanya. Sedemikian kuat pengaruh Ahmad Dahlan sehingga dia pernah akan diangkat sebagai penghulu di Medan.
Langkah besarnya mulai diayun. Kiai Ahmad Dahlan melihat bahwa tantangan dari kemajuan umat Islam karena dua hal. Pertama kemunduran karena tiadanya persatuan umat Islam, sehingga Belanda dengan mudah bisa mematahkan dan memecah-belah. Kedua, ini yang agak berbeda dengan tokoh lainnya, adanya pengaruh kuat dari mistik, animisme dan sisa-sisa ajaran Hindu dan Budha.
Jalan keluarnya: harus dimulai perbaikan melalui jalur bidang sosial-ekonomi dan kultural.
Keyakinan ini mulai dilontarkan kepada murid-muridnya. Bukti "pelurusan kembali", tercetak tahun 1896, yaitu dengan perubahan arah kiblat. Selama ini masjid dan surau menghadap ke timur lurus, dan yang bersembahyang lurus-lurus menghadap ke barat.
Seharusnya arah kiblat dari pulau Jawa condong kira-kira 24,5 derajat ke utara. Berdasarkan ilmu falak, dia memang ahli dalam bidang itu, diubahlah letak dan bangunan surau. Juga cara bersembahyang menghadap kiblat, agak condong ke utara dengan sendirinya, cara berdirinya berbeda — kalau letak masjidnya belum diubah.
Bisa dibayangkan bahwa gerakan pembaharuannya menimbulkan perdebatan. Maklum. setelah lama dalam situasi kalem, kalau mendadak sontak ada sesuatu yang lain, tanggapan pun bermunculan. Di segala zaman hal semacam ini lazim terjadi.
Tanggapan ini menyakitkan hati Ahmad Dahlan. Cara berbaris yang diajarkannya dihapus, dan suraunya sendiri dibongkar. Kecewa Dahlan. Ngambek, dia berniat meninggalkan Jogja. Untung, kakaknya, Kiai Saleh, berhasil melembutkan hatinya, dengan janji akan membuatkan surau baru.
Dan kemudian, kita tahu, letak surau dan masjid sekarang ini, di Jawa condong ke utara.
Hal lain yang mengalami perubahan adalah soal jatuhnya hari raya Idul Fitri. Dahlan menghitung, saat itu, bahwa hari raya, besoknya, bukan lusa. Padahal kebiasaan sebelumnya adalah lusa. Karena keyakinannya yang kuat, Dahlan menemui sultan, menunjukkan hisab dan rukyahnya. Dan Sultan pun menyetujui. Lebaran dirayakan esoknya, sedang grebeg dilakukan lusa.
Ini lagi satu contoh bahwa keberanian dan berdasarkan perhitungan matang, pada akhirnya bisa diterima. Meskipun harus lewat jalan yang tidak selalu lurus.
Di atas disebutkan bahwa untuk mengatasi kemunduran di kalangan umat Islam, bisa ditempuh cara sosial-ekonomi dan kultural. Terjemahan dari kata itu ialah pendidikan. Dakwah adalah kegiatan sosial Dahlan, yang masuk ke sekolah-sekolah. Antara lain mengajarkan pengetahuan agama di Kweekschool Jetis, Jogja, Osvia di Magelang.
Situasi yang lebih matang terjadi. Karena pengaruh perubahan juga berjangkit di seantero dunia. Di tanah Arab sendiri juga begitu. Dan di Indonesia kita tahu saat itu gerakan Boedi Oetomo mulai menyemarakkan perasaan nasionalisme. Dahlan juga bergerak, baik sebagai anggota maupun pengurus. Juga dalam organisasi lain seperti Sarekat Islam dan Jamiatul Chair.
Pengalaman berorganisasi dan juga atas desakan dan dukungan teman-temannya, lahirlah organisasi Muhammadiyah. Nama yang diperoleh setelah sembahyang istikharah. Muhammadiyah organisasi sosial, bukan politik, dan bergerak di bidang pendidikan agama Islam, studi tentang Islam di Indonesia. Tanggalnya 8 Dzulhijjah 1330 H, atau 18 November 1912. Oleh pemerintah Belanda diakui 22 November, dan hanya boleh bergerak di wilayah Jogja.
Goncangan terjadi lagi.
Tuduhan sebagai pendiri agama baru, fitnah sebagai kiai palsu yang ikut-ikutan tata cara Kristen, bahkan juga ancaman pembunuhan atas dirinya.
Tanggapan di kalangan masyarakat umum juga kurang menguntungkan mestinya karena gerakan Muhammadiyah tidak menekankan upacara-upacara tradisional yang berlaku. Misalnya soal mengirim bunga ke kuburan atau tahlilan 7, 40, 100-an hari dan seterusnya bagi orang yang meninggal.
Namun berbeda dengan ketika suraunya diubah bentuknya dan dia ngambek, kali ini lebih tabah. Lebih tawakal. Dan justru dengan cara ini, lambat laun masyarakat mulai melihat tujuan yang murni, harapan dan cita-cita Muhammadiyah. Cabang dan ranting Muhammadiyah berkembang di sekitar Jogja.
Juga di luar kota Solo. Cuma karena ada larangan pemerintah kolonial, namanya diubah. Antara lain Nurul Islam di Pekalongan, Almunir di Makassar, Al Hidayat di Garut, Sidik Amanat Fathonah di Solo dan lain sebagainya.
Dalam posisi inilah Kiai Haji Ahmad Dahlan tampil lebih utuh. Dia bukan politikus. Dia memilih lapangan sosial dan pendidikan sebagai medan bakti. Amal dan karyanya terasakan gemanya. Sebagai pimpinan atau pendiri Muhammadiyah hidupnya sederhana.
Banyak hal bisa dicatat dari usaha memajukan kehidupan umat Islam. Memerangi takhayul, musyrik, adat istiadat yang buruk dan banyak meminta pengorbanan. Suatu langkah baku yang bisa menjadi sinar untuk menerangi kegelapan yang semrawut. Kejelian dan ketepatan untuk memilahkan mana tradisi yang konyol dan mana yang berakar, niscaya banyak artinya.
Selain letak surau, penetapan hari raya Lebaran, ia juga terbuka sekali untuk sekolah Islam. Murid-muridnya juga dianjurkan menuntut ilmu pengetahuan seluas mungkin. Sekolah modern yang didirikannya memasukkan kurikulum bahasa Belanda, dan juga mengajarkan huruf Latin, bukan melulu huruf Arab. Selama tidak meninggalkan kepribadian seorang muslim, itulah batasannya.
Pendidikan tidak terbatas kepada kaum lelaki, kaum wanita juga diperhatikan. Bukan hanya terbatas pada pengajian saja, apalagi ketika didirikan Aisyiyah (1918). Sedang bagi anak-anak muda, berdirinya Hizbul Wathan, sebagai gerakkan kepanduan sangat populer. Bahkan grup sepakbolanya sangat tenar. Sampai masuk dalam buku pelajaran sekolah.
Persiapan, peletakan dasar yang kokoh, bisa menjadi inspirasi yang memungkinkan untuk terus digali. Mungkin bukan karena kebetulan dia kawin beberapa kali. Kekukuhan niat, tekad serta keberanian mewujudkan cita-cita perjuangannya adalah darah bagi hidupnya.
Bahkan ketika sudah jatuh sakit, dia tak mau istirahat. Malah kepada istrinya, atas anjuran dokter, yang menyuruh istirahat, dia menjadi berang.
Katanya: "Saya mesti kerja keras untuk meletakkan batu pertama dari amal besar ini. Kalau sekiranya saya lambatkan atau saya hentikan lantaran sakit, maka tidak ada orang yang sanggup meletakkan dasar itu. Saya sudah merasa, bahwa umur saya tidak akan lama lagi. Maka jika saya kerjakan selekas mungkin, yang tinggal sedikit itu mudahlah yang di belakang nanti untuk menyempurnakannya."
Dia dipanggil pencipta-Nya, 23 Februari 1923. Diangkat sebagai pahlawan nasional. Satu hal tersisa: benarkah tak ada yang sanggup meletakkan dasar itu, sekarang ini? Benarkah tak ada yang mampu menyempurnakan?.
Pertanyaannya yang dijawab dengan karya, seperti ketika dia membuktikan langkah besar dan pijakan yang kokoh dalam kegiatan sosial dan dunia pendidikan.