#KaburAjaDulu: Generasi Perantau Melawan ‘Ndasmu’
Reza Indragiri Amriel February 25, 2025 07:20 PM
Ada kerancuan makna yang terkandung pada trending topic #KaburAjaDulu. Diksi ‘kabur’ bermakna sebagai langkah melarikan diri dari tanggung jawab. Padahal, ketika tagar itu ditempatkan sebagai ekspresi kejemuan masyarakat—utamanya kalangan muda—terhadap situasi dalam negeri yang kian tidak menentu, maksud para pengusung tagar itu justru hasrat ingin melakukan sesuatu demi taraf kehidupan yang lebih baik. Dengan kata lain, diksi tagar memang negatif, meski suasana batinnya menuju positif.
Tabiat anak-anak muda memang tercermin betul pada tagar itu. Mereka berani angkat suara atas situasi yang mereka nilai sengkarut. Mereka menentang konservatisme, yakni ketika Presiden Prabowo Subianto mengeklaim pemerintahannya telah mencapai hasil cukup baik di masa seratus hari pertamanya, para pengusung #KaburAjaDulu justru blak-blakan membantah itu. Satu lagi, protes yang dikemas ke dalam ungkapan ceplas-ceplos itu mereka sebarluaskan memanfaatkan teknologi dan media sosial.
Karakteristik itulah yang tampaknya gagal ditangkap Wakil Menteri Tenaga Kerja (Wamenaker). Terlepas apakah pernyataan Wamenaker itu cuma kelakar atau justru serius, tanggapannya yang bernada nyinyir hanya menambah satu potret lagi tentang komunikasi rendahan—semoga bukan kemajalan pola pikir—sejumlah pembantu Presiden. Sulit untuk dielakkan, respons nirempati bahkan rabun sejarah itu melipatgandakan perasaan masygul pascakembali membahananya ‘ndasmu’ belum lama ini.
#KaburAjaDulu, yang sejatinya memuat asa untuk memperbaiki nasib, sesungguhnya terwakili sempurna oleh dua nama besar di Tanah Air.
Tokoh pertama, Prabowo Subianto. Kini menyandang bintang lengkap di pundaknya, sekian tahun silam karier militer Prabowo sempat dibinasakan. Itulah yang di banyak ruang diskusi dianggap sebagai alasan “resmi” perginya Prabowo dari Indonesia. Pada sisi yang sama, konon, ada kisah-kisah terkait kehidupan pribadi yang juga dipandang sebagai penguat hati Prabowo untuk mencari hidup di luar negeri. Tapi karena sebatas konon, maka tidak banyak guna untuk disoroti.
Pada kenyataannya, Prabowo tidak patah arang akan negeri kelahirannya. Ia kembali tanpa menyandang ransel yang cuma berisi sentimen rindu kampung halaman. Prabowo kembali dengan kepalan tangan. Plus tambahan reputasi: Sebagai pelaku bisnis level atas sekaligus politisi praktis yang gemilang menggapai cita-cita tertingginya sebagai Presiden Republik Indonesia.
Prabowo adalah bukti hidup tentang #KaburAjaDulu sebagai keputusan yang berat namun tepat. Andai dibuatkan trending topic baru, layaklah suratan tangan Prabowo itu dinarasikan sebagai hikayat seseorang yang awalnya dipecundangi, namun pada akhirnya meraja sebagai kampiun demokrasi – terlepas dari wakilnya yang oleh banyak kalangan dinobatkan sebagai anak haram konstitusi.
Tokoh kedua, tak lain, adalah ayah Prabowo sendiri. Yakni, Soemitro Djojohadikusumo. Terdapat dua riwayat utama mengenai minggatnya Soemitro ke mancanegara. Pada satu sisi, ia disebut-sebut melarikan diri terkait dugaan korupsi. Karena masalah ini tidak pernah dibawa ke ruang pembuktian hukum, sehingga dugaan pun tinggal sebatas dugaan. Karena itu, tidak tertutup kemungkinan, narasi tentang Soemitro dan korupsi kala itu tak lebih adalah wujud kesewenang-wenangan penguasa yang ingin menindas musuh politiknya.
Soemitro, pada sisi lain, juga bergabung ke dalam PRRI/Permesta. Genap sudah statusnya yang dinyinyiri sebagai pembangkang yang lari tunggang langgang. Kendati Republik pada akhirnya menyelesaikan masalah PRRI/Permesta dengan semangat kecintaan pada satu tanah air, namun kata ‘pemberontakan’ tetap tersemat di depan ‘PRRI/Permesta’.
Meski jauh di negeri orang, keinginan berdarma bagi nusantara tetap menyala. Pulanglah Soemitro sebagai arsitek perekonomian nasional. Sehingga, Soemitro layak diberi tagar ‘Pergi Buronan, Pulang Begawan’. Inilah kisah tentang kegetiran yang berujung kemenangan.
Saya pribadi lahir dan dibesarkan dalam nilai-nilai yang menjadikan perantauan sebagai medan pembelajaran. Karena itulah, ikut merasa terluka oleh guyonan tak lucu yang Wamenaker lontarkan, saya mendukung penuh setiap warga Indonesia yang terbuka pikirannya dan terangkat kakinya untuk merantau ke negeri seberang.
Internet sangat bertanggung jawab bagi mengristalnya #KaburAjaDulu sebagai arus utama suasana batin kawula muda dewasa ini. Apa boleh buat, pepatah ‘hujan emas di negeri orang, hujan batu di negeri sendiri’ hingga banyak segi kini terasa tidak relevan lagi. Akibatnya, siapa pun by default memang harus bernyali untuk meraup emas sebanyak-banyaknya di seberang samudera untuk kelak membawa manfaat bagi Indonesia.

Di Mata Orang Sana

#KaburAjaDulu secara getir mengesankan dunia sana jauh lebih menjanjikan ketimbang dunia sini. Jelas, kesan itu perlu diluruskan.
Para pecinta sepakbola tentu bisa melihat berbondong-bondongnya pesebakbola berdarah blasteran ingin berkostum merah putih di lapangan hijau. Nama-nama asing di starting eleven Tim Nasional merupakan bukti bahwa #KaburAjaDulu sejatinya juga dihayati oleh sekian banyak atlet berdarah campuran sebagai keinginan untuk menjadi seseorang di Indonesia. Setiap strategi pembangunan tim nasional pasti memiliki plus minusnya masing-masing. Namun dari lapangan hijau di tahun-tahun belakangan ini kita bisa saksikan betapa Indonesia sesungguhnya tidak pernah betul-betul kehilangan pesonanya.
Asumsikan trending topic berlanjut ke trending life. Namun—ramalan saya—arus diaspora ke luar negeri suatu saat akan berganti menjadi kembali ke dekapan Ibu Pertiwi. Kalau bukan generasi pengusung #KaburAjaDulu, anak cucu mereka akan pulang dan jadi orang di sini sambil mencantumkan status media sosial #BalikAjaLagi.
Agar tidak berhenti sebagai omon-omon, pemerintah harus mampu menjawab: Seindah apa Indonesia suatu hari nanti? Dan kapan itu akan terjadi? Allahu a’lam.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.