TIMESINDONESIA, BONDOWOSO – Kabupaten Bondowoso, Jawa Timur, menjadi salah satu daerah penghasil kopi terbaik di Indonesia. Baik jenis robusta, terutama arabika.
Kualitas kopi dari perkebunan kopi rakyat di lereng Ijen-Raung mulai meningkat setelah petani mendapatkan edukasi dan pendampingan pemerintah. Tepatnya saat Pemerintahan Bupati Amin Said Husni (ASH).
Tentu pemerintah tidak sendiri kala itu. Pemkab menggandeng beberapa pihak, seperti Bank Indonesia (BI), Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Indonesia (Puslitkoka) dan sejumlah pihak terkait lainnya.
Pembinaan terhadap petani kala itu semakin masif. Akhirnya Kopi Ijen-Raung mendapatkan Sertifikat Indikasi Geografis (IG) dari Kementerian Hukum dan HAM pada Tahun 2013 dengan nama “Klaster Arabika Java Ijen Raung”.
Petani yang awalnya menjual kopi gelondongan. Akhirnya mampu meningkatkan kualitas kopi sehingga nilai jualnya tinggi. Sebab petani tidak lagi menuju kopi gelondongan tetapi dijual kering atau green bean. Petani pun melakukan petik merah saat panen.
Harsono, salah satu petani kopi di Desa Sukorejo Kecamatan Sumberwringin yang mendapatkan pembinaan pemerintah kala itu.
Bahkan saat ini dia tidak hanya menjadi petani, tetapi juga menjadi pengusaha kopi dengan menjual kopi green bean hingga dalam bentuk bubuk.
“Jadi kami petani kopi juga belajar menjadi pengusaha kopi. Petani juga menjadi penguasa,” kata dia saat dikonfirmasi TIMES Indonesia, Rabu (26/2/2025).
Menurutnya, petani masih berupaya mempertahankan kualitas kopi. Tentu juga terus berusaha agar kuantitas tetap stabil setiap kali panen.
Menurutnya, lahan perkebunan kopi rakyat semakin luas dan petani banyak yang baru. Memang kata dia, kadang terdapat beberapa petani yang benar-benar baru tidak mempertahankan kualitas tapi hanya mengejar kuantitas. Hal ini perlu mendapatkan intervensi pemerintah.
Dia juga memaparkan, saat ini harga kopi green bean Arabika Ijen Raung antara Rp100 ribu hingga Rp125 ribu per kilogram.
“Harga segitu dengan proses yang biasa,” imbuh dia.
Sementara untuk Robusta mengalami peningkatan harga beberapa bulan terakhir. Yakni sekitar Rp70 sampai Rp80 ribu.
“Kopi Robusta permintaan tinggi dan mulai diminati juga oleh penikmat kopi sehingga harganya mahal,” jelas pria yang pemilik produk kopi bubuk Kosawah tersebut.
Menurutnya, perkebunan kopi rakyat mencapai sekitar 8000 hektar. Adapun cita rasa kopi Arabika Ijen Raung cenderung kecut dan ada rasa rempah, sehingga menjadikan biji kopinya memiliki rasa yang khas.
Dia juga memaparkan, pembeli kopi rakyat di Sumberwringin adalah pengusaha dari luar kota, seperti Bandung dan berbagai wilayah lainnya.
Bahkan pembeli Arabika Ijen-Raung adalah suplier kopi yang mengirim kopi ke perusahaan dan kedai kopi ternama, Starbuck. Suplier tersebut adalah PT Sucafina Indonesia Coffee.
Sucafina merupakan perusahaan perdagangan kopi berkelanjutan yang bergerak dari pertanian hingga pemanggangan. Sucafina juga merupakan importir kopi bersertifikat.
Bahkan kata dia, PT Sucafina Indonesia Coffee membuat sistem kontrak dengan kelompok petani dan UD yang ada di Desa Sukorejo Bondowoso.
PT Sucafina membeli Arabica dengan harga antara Rp 100 ribu hingga 110 ribu. Dia menegaskan, kopi Arabika Ijen Raung juga dipasok ke Starbuck.
“Bahkan kini berdatangan perusahaan dagang yang lain seperti Varion Coffee sekitar empat tahun terakhir,” jelas dia.
Berharap BRK Kembali Menyala
Sebagai penghasil kopi terbaik, Bondowoso memiliki brand tersendiri, Bondowoso Republik Kopi (BRK), dan sudah memiliki hak paten merek.
“Saya berharap pemerintah yang baru kembali menggaungkan BRK ini. Tentu harus banyak sosialisasi kepada petani, pengusaha untuk mempertahankan kualitas kopi Bondowoso.
Sebagai petani, Harsono berharap semua petani sama-sama mendapatkan ruang. Sehingga tidak hanya berpusat untuk satu atau sekian orang saja.
“Jadi kami ini kebersamaan karena kopi kita khususnya di Sumberwringin dan khususnya di Sukorejo sudah mendunia,” jelas dia.
Selanjutnya kata dia, tinggal bagaimana pemerintah lebih giat untuk bekerja sama dengan petani sekaligus pengusaha kopi untuk membuka pasar yang lebih luas.
“Karena selama ini jualnya masih menggunakan pihak ketiga. Perlu fasilitasi dari pemerintah,” harap dia.
Dia berharap petani juga dipermudah dalam permodalan dari perbankan. Tentu hal ini harus ada campur tangan pemerintah. “BUMD yang ada harus dimanfaatkan oleh pemerintah daerah sehingga terus berkelanjutan,” tegas dia. (*)