TRIBUNNEWS.COM - Isu Bahan Bakar Minyak (BBM) Pertamax yang dioplos dengan Pertalite, menjadi perbincangan publik.
Isu Pertamax oplosan muncul setelah Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, sebagai tersangka kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang pada PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023.
Pengoplosan itu dilakukan di depo, padahal hal itu tidak diperbolehkan atau bertentangan dengan ketentuan yang ada.
Polemik Pertamax dioplos dengan Pertalite itu menuai kekecewaan dari masyarakat pengguna Pertamax.
Dirangkum Tribunnews.com, berikut pengakuan sejumlah konsumen Pertamax imbas kasus korupsi Pertamina:
Seorang warga Cipayung, Jakarta Timur, Bachtiar (27) mengaku kaget setelah mendengar kabar tersebut.
"Pastinya ada kekhawatiran, karena niat kita pengendara mau beli Pertamax untuk mesin lebih bagus. Tapi kalau kenyataannya gini mah, rugi dong," ujarnya kepada Tribunnews.com, Rabu (26/2/2025).
Bachtiar mengaku sudah menggunakan Pertamax sejak 2019 lalu.
Namun, kini dirinya merasa dipermainkan setelah terungkapnya kasus korupsi tersebut.
Ia mengatakan dengan adanya insiden tersebut, artinya selama ini kendaraan yang digunakan tak sepenuhnya menggunakan Pertamax.
"Sudah banyak banget masalah dalam pengelolaan BBM oleh pertamina bukan cuman ini."
"Jadi saya merasa makin kurang percaya banget, ibaratnya beli Pertamax sama aja beli Pertalite, cuman bedanya enggak ngantre aja," papar dia.
Hal yang sama juga diungkap oleh warga bernama Iman Kurniawan (46).
Iman menyebut apa yang dilakukan oleh para oknum Pertamina ini merupakan perbuatan yang keji.
Ia pun merasa ditipu selama menggunakan Pertamax sebagai bahan bakar untuk kendaraannya.
Padahal, dia mengganti bahan bakar untuk kendaraannya dari Premium ke Pertamax karena merasa tidak layak untuk mendapat subsidi.
"Saya kira itu sangat merugikan masyarakat banget. Apalagi itu dilakukan sama petinggi Pertaminanya sendiri. Itu udah sangat sangat keji kalau saya bilang," ucap Iman.
Warga bernama Samsudhuha Wildandyah (30) mengancam tidak akan menggunakan produk Pertamina lagi setelah adanya kasus ini.
Warga Kota Bekasi ini mengatakan menggunakan Pertamax juga karena merasa tak layak mendapat BBM bersubsidi.
"Iya, saya enggak nyangka aja. Ini kan pakai Pertamax, berharap mesin kita bagus. Kalau begini, saya bakal pertimbangkan buat pindah ke yang lain," katanya kepada Tribunnews.com, Rabu.
Warga bernama Putra (32) mengaku kapok membeli Pertamax, dan mempertimbangkan mengisi BBM di SPBU swasta.
"Kapok banget (beli Pertamax), kalau brand swasta SPBU-nya lebih banyak lagi jaringannya seperti Pertamina, saya lebih pilih brand lain yang nilai oktannya sama seperti Pertamax," ungkapnya di Koja, Jakarta Utara, Rabu, dilansir Kompas.com.
"Kan jadi menimbulkan trauma juga bayar Pertamax, tapi dikasihnya Pertalite oplosan," lanjut Putra.
Putra menyebut sebenarnya bisa saja membeli BBM dengan kualitas lebih baik yang harganya lebih mahal seperti Pertamax Turbo.
Namun, ia takut pengoplosan kembali terulang.
"Saya bisa manfaatkan untuk pakai Pertamax Turbo, cuma enggak tahu juga ya nanti bakal dioplos lagi atau enggak sama oknum yang menjabat di Pertamina demi meraup kepentingan dan keuntungan pribadinya," katanya.
Warga lain bernama Mario Anwar (35) juga mengaku kapok membeli Pertamax.
Meski begitu, Mario enggan beralih ke Pertalite karena antrean pembeli di SPBU biasanya panjang.
"Sejauh ini kapok sih. Tapi, dibanding harus antre panjang, mending pakai oktan yang lebih tinggi," jelasnya.
Sementara itu, Kejaksaan Agung (Kejagung) meminta masyarakat tetap tenang terkait beredarnya kabar Pertamax oplosan.
Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, meminta agar masyarakat tetap tenang dan tak perlu khawatir mengenai kabar tersebut.
Ia menjelaskan, perkara korupsi yang pihaknya tengah dalami saat ini terjadi pada periode 2018 hingga 2023.
"Jadi kita sampaikan masyarakat harus tetap tenang karena sesungguhnya yang kami lakukan penyidikan terkait dugaan korupsi importasi minyak mentah dan produk kilang di Pertamina di tahun 2018-2023," ujarnya kepada wartawan, Rabu.
Sehingga, Harli menjelaskan, anggapan masyarakat yang mengira BBM jenis Ron 92 atau Pertamax yang saat ini beredar oplosan adalah tidak tepat.
Sebab, minyak yang sebelumnya diblending atau dicampur oleh Riva Siahaan untuk dijadikan kualitas lebih tinggi, kini sudah habis dipakai.
"Minyak itu habis pakai, jadi jangan ada pemikiran di masyarakat bahwa seolah-olah bahwa minyak yang sekarang dipakai itu adalah oplosan, itu enggak tepat," terangnya.
Harli juga menjelaskan, fakta hukum dalam praktik korupsi tersebut kini sudah selesai.
Dengan demikian, dirinya meminta masyarakat tidak menyalahartikan hal tersebut dan tetap tenang.
"Karena penegakan hukum ini rekan media mendukung, masyarakat mendukung supaya apa? Supaya tuntas tapi jangan sampai menimbulkan keresahan di masyarakat karena peristiwanya ini sudah selesai," imbuhnya.
Sebagai informasi, Kejaksaan Agung kembali menetapkan dua tersangka baru dalam kasus korupsi tata kelola minyak mentah di PT Pertamina periode 2018-2023 yang merugikan negara Rp 193,7 triliun.
Dua orang tersangka itu yakni Maya Kusmaya selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Niaga, serta Edward Corne selaku VP Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga.
Alhasil Kejagung telah menetapkan sebanyak 9 orang tersangka dalam kasus ini.
Ketujuh orang tersangka yang sebelumnya telah ditetapkan itu yakni RS selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, SDS selaku Direktur Feedstock And Produk Optimitation PT Pertamina Internasional, dan ZF selaku Direktur Utama PT Pertamina Internasional Shiping.
Kemudian, AP selaku Vice President (VP) Feedstock, MKAR selaku Beneficial Owner PT Navigator Katulistiwa, DW selaku Komisaris PT Navigator Katulistiwa, dan DRJ selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
(Nuryanti/Abdi Ryanda Shakti/Fahmi Ramadhan) (Kompas.com/Shinta Dwi Ayu)