Sosok Edward Corne, Tersangka Baru Korupsi Pertamina Patra Niaga, Pernah Terseret Kasus Petral
Pravitri Retno W February 27, 2025 12:36 PM

TRIBUNNEWS.COM - Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan dua tersangka baru dalam kasus mega korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina Patra Niaga periode 2018-2023.

Salah satunya adalah Vice President (VP) Trading Operation PT Pertamina Patra Niaga, Edward Corne.

Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, menyebut Edward berperan sebagai penerima perintah dari Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, untuk membeli BBM RON 90 (Pertalite) atau yang mengandung oktan lebih rendah dengan harga RON 92 (Pertamax).

Adapun Riva juga telah ditetapkan menjadi tersangka oleh Kejagung dalam kasus ini.

Qohar menuturkan perintah Riva tersebut tak hanya ditujukan kepada Edward, tetapi juga terhadap Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya.

Senasib dengan Edward, Maya juga telah ditetapkan menjadi tersangka.

"Tersangka MK dan EC atas persetujuan tersangka RS melakukan pembelian RON 90 atau lebih rendah dengan harga RON 92," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Rabu (26/2/2025).

Tak cuma itu, Edward juga menjadi penerima perintah dari Maya untuk melakukan blending (oplos) dengan menggunakan RON 88 (Premium) dan RON 92 (Pertamax).

Qohar menuturkan pengoplosan tersebut dilakukan di terminal PT Orbit Terminal Merak.

Adapun pemilik dari terminal tersebut juga telah ditetapkan menjadi tersangka, yaitu Muhammad Keery Andrianto Riza dan Gading Ramadan Joede.

"Tersangka MK memerintahkan dan atau memberikan persetujuan kepada EC untuk melakukan blending produk kilang jenis RON 88 dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92 di terminal PT Orbit Terminal Merak milik tersangka MKER dan GRJ atau yang dijual dengan RON 92," jelas Qohar.

Dia menjelaskan Maya dan Edward melakukan pembayaran impor produk kilang yang seharusnya menggunakan term (pemilihan langsung) dalam waktu yang jangka panjang.

Namun, metode tersebut tidak dilakukan oleh Maya dan Edward sehingga membuat PT Patra Niaga harus melakukan impor minyak mentah dengan harga tinggi.

Tak cuma itu, Maya dan Edward juga melakukan persetujuan terkait kontrak pengiriman (shipping) yang diminta oleh Dirut PT Pertamina International Shipping sekaligus tersangka, Yoki Firnandi.

Persetujuan ini, kata Qohar, membuat subholding PT Pertamina itu harus membayar fee sebesar 13-15 persen secara melawan hukum.

"Dan fee tersebut diberikan kepada MKAR selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka DW selaku Komisaris PT Navigator Khatulistiwa," jelasnya.

Terlepas dari peran Edward di atas, seperti apa sosoknya? Berikut ulasannya

Sosok Edward Corne, Sempat Terseret Kasus Petral

Latar belakang Edward Corne tidak banyak tersebar di dunia maya. Namun, berdasarkan penelusuran di akun Facebook miliknya, Edward tercatat lahir di Bandar Lampung, Lampung.

Di Facebooknya, Edward menuliskan sempat menempuh pendidikan di SMAN 2 Bandar Lampung.

Kendati demikian, Edward tidak aktif di Facebook. Hal itu bisa dilihat dari postingan terakhirnya, yaitu 15 April 2017.

Lalu, ketika Tribunnews.com melakukan akun Instagram Edward, ternyata dalam kondisi tergembok.

Kendati demikian, Edward Corne sempat terseret kasus suap perdagangan minyak mentah dan produk kilang di Peramina Energy Services (PES) selaku subsidiary company PT Pertamina (Persero) Tbk pada 2019.

Adapun dalam kasus ini, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan mantan Managing Director PES sekaligus mantan Direktur Utama (Dirut) Pertamina Energy Trading Ltd (Petral), Bambang Irianto.

Edward diperiksa sebagai saksi sekaligus pegawai dari PT Pertamina.

Saat itu, dia masih menjabat sebagai Analyst Light Distillates Trading Integrated Supply Chain PT Pertamina.

Kemudian, Edward juga tercatat sebagai eks Junior Trader Light Distillates PES. Tak sendiri, dia diperiksa bersama dengan lima saksi lainnya.

"Keenam orang itu diperiksa sebagai saksi untuk tersangka BI (Bambang Irianto)," kata Juru Bicara KPK saat itu, Febri Diansyah, pada 3 Desember 2019.

Sementara, kasus ini terkait Bambang Irianto yang diduga menerima suap 2,9 juta dolar AS yang diterima sejak tahun 2010-2013, melalui rekening penampungan dari perusahaan yang didirikannya bernama SIAM Group Holding Ltd yang berkedudukan di British Virgin Island, sebuah kawasan bebas pajak.

KPK menduga, uang suap itu atas bantuan yang diberikannya kepada pihak Kernel Oil terkait dengan kegiatan perdagangan produk kilang dan minyak mentah kepada Pertamina Energy Service atau PT Pertamina di Singapura dan pengiriman kargo.

Bambang dalam perkara ini menggelar pertemuan dengan perwakilan Kernel Oil Pte Ltd (Kernel Oil) yang merupakan salah satu rekanan dalam perdagangan minyak mentah dan produk kilang untuk PES/PT Pertamina.

Pada saat itu, PES melaksanakan pengadaan serta penjualan minyak mentah dan produk kilang untuk kebutuhan PT Pertamina yang diikuti oleh National Oil Company (NOC), Major Oil Company, Refinery, maupun trader.

Kemudian, pada periode 2009 sampai Juni 2012, perwakilan Kernel Oil beberapa kali diundang dan menjadi rekanan PES dalam kegiatan impor dan ekspor minyak mentah untuk kepentingan PES/PT Pertamina. 

Namun, tersangka Bambang selaku VP Marketing PES malah membantu mengamankan jatah alokasi kargo Kernel Oil dalam tender pengadaan atau penjualan minyak mentah atau produk kilang. 

Sebagai imbalannya, diduga Bambang Irianto menerima sejumlah uang yang diterima melalui rekening bank di luar negeri.

Tersangka Bambang juga diduga mendirikan SIAM Group Holding Ltd yang berkedudukan hukum di British Virgin Island untuk menampung uang suap tersebut.

Bambang bersama sejumlah pejabat PES diduga menentukan rekanan yang akan diundang mengikuti tender, yang salah satunya adalah NOC.

Namun, pada akhirnya pihak yang menjadi mengirimkan kargo untuk PES/PT Pertamina adalah Emirates National Oil Company (ENOC) yang diduga merupakan sebuah perusahaan bendera yang digunakan pihak perwakilan Kernel Oil.

Diduga, perusahaan ENOC diundang sebagai kamuflase agar seolah-olah PES bekerjasama dengan NOC agar memenuhi syarat pengadaan, padahal minyak berasal dari Kernel Oil. 

Tersangka Bambang diduga mengarahkan untuk tetap mengundang NOC tersebut meskipun mengetahui bahwa NOC itu bukanlah pihak yang mengirim kargo ke PES/PT Pertamina.

Edward Punya Harta Rp4,3 Miliar

Edward tercatat melaporkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) ke KPK pada 20 Maret 2024 untuk periodik 2023.

Berdasarkan laporan tersebut, dia tercatat memiliki harta sebesar Rp4,3 miliar.

Adapun kekayaannya tersebut bersumber dari dua unit tanah dan bangunan yang berada di Tangerang Selatan dan Jakarta Pusat dengan total nilai Rp2,6 miliar.

Lalu, dia juga tercatat memiliki satu mobil Mitsubishi Grandis produksi 2010 seharga Rp105 juta.

Edward juga memiliki aset berupa harta bergerak lainnya senilai Rp224 juta, surat berharga Rp840 juta, serta kas dan setara kas sebesar Rp839 juta.

Sebenarnya, harta Edward sebesar Rp4,6 miliar. Namun, karena memiliki utang senilai Rp290 juta, hartanya menjadi Rp4,3 miliar.

(Yohanes Liestyo Poerwoto/Ilham Rian Pratama)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.