TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sepak bola? Sudah biasa. Liga Champions? Ah, terlalu formal. Tapi kalau ada liga yang benar-benar bikin rakyat Indonesia geregetan, itu adalah Liga Korupsi Indonesia. Kompetisi yang tidak mengenal degradasi, wasitnya kadang pura-pura buta, dan pemenangnya selalu yang paling lihai menggocek dana rakyat.
Musim ini, Big Match paling ditunggu akhirnya tiba! PT Timah FC berhadapan dengan Pertamax Pertamina United dalam duel sengit memperebutkan posisi puncak klasemen. PT Timah datang dengan taktik dribble anggaran tambang, sementara Pertamax Pertamina terkenal dengan counter-attack berbasis subsidi yang tiba-tiba lenyap di tengah lapangan.
Setiap musim, tim-tim unggulan selalu memperebutkan posisi terhormat. Bukan siapa yang paling rajin bekerja, melainkan siapa yang paling cepat menghilangkan dana proyek tanpa jejak. Tahun ini, beberapa tim lama masih bertahan di papan atas, sementara tim-tim baru mencoba menyalip dengan teknik yang semakin licin.
PT Timah FC – Diprediksi merugikan negara hingga Rp300 triliun. Seperti Real Madrid-nya Liga Korupsi, tim ini sudah langganan papan atas dengan strategi lama tapi tetap efektif.
BLBI Legends – Rp138 Triliun. Klub ini seperti Manchester United, dulu berjaya, sekarang masih saja muncul di klasemen meski dengan skandal yang sama.
Pertamax Pertamina United – Diprediksi mencapai Rp100 Triliun. Klub ini seperti PSG, tim kaya baru yang tiba-tiba naik ke papan atas dengan dana yang misterius.
Asabri FC – Rp22,7 Triliun. Tim yang tak mau kehilangan dominasinya. Masih konsisten menempati zona elite meski beberapa pemain kunci sudah terkena kartu merah.
Bansos FC – Rp5,9 Triliun. Beroperasi di divisi sosial, tim ini jago dalam strategi serangan balik dengan memanfaatkan kelengahan rakyat.
E-KTP Warriors – Rp2,3 Triliun. Tim yang dulu berjaya, kini mulai redup karena beberapa pemain kuncinya sudah dipenjara.
Dalam pertandingan ini, PT Timah FC mengandalkan long ball alias manipulasi harga bahan tambang. Mereka sudah mencetak banyak gol dengan taktik yang sama bertahun-tahun, sementara VAR (Verifikasi Anggaran Rakyat) sering gagal mendeteksi pelanggaran mereka.
Di sisi lain, Pertamax Pertamina United mencoba strategi tiki-taka dengan campuran Pertalite dan Pertamax yang tiba-tiba membuat rakyat tekor. Beberapa menit pertama, mereka bermain aman dengan harga stabil, tapi tiba-tiba di menit ke-90, harga melambung tinggi seperti tendangan bebas ke sudut atas gawang rakyat kecil.
Penonton? Terpaku. Beberapa sudah mulai melempar protes ke lapangan, tapi wasit KPK masih sibuk memeriksa VAR, meskipun keputusan akhirnya sering mengecewakan.
Bursa transfer di Liga Korupsi juga lebih panas dari EPL. Pejabat-pejabat berpindah klub dengan harga tinggi, terutama dari kementerian ke kementerian. Ada yang dipinjamkan ke proyek-proyek strategis, lalu menghilang dengan dana besar sebelum kontrak selesai.
Bedanya dengan transfer sepak bola yang dirayakan fans, di Liga Korupsi rakyat malah menangis. Semakin mahal transfernya, semakin besar angka yang menguap.
Sepak bola punya VAR untuk menganalisis pelanggaran. Liga Korupsi juga punya, tapi sayangnya masih sering crash. Beberapa tim sudah jelas offside, tapi tetap lolos dari hukuman. Ada yang kena kartu merah, tapi besoknya main lagi. Bahkan ada pemain yang mendadak "cedera" dan dirawat di rumah sakit begitu kena kartu, tapi sembuh total setelah bebas.
Seandainya VAR Liga Korupsi benar-benar bekerja:
"Setelah meninjau tayangan ulang, diputuskan bahwa tersangka bersalah. Hukumannya: penjara seumur hidup tanpa remisi."
Sayangnya, kenyataan berkata lain. Banyak pelanggaran yang akhirnya hanya berujung pada hukuman ringan atau potongan masa tahanan karena "berkelakuan baik."
Apa jadinya liga tanpa suporter? Rakyat Indonesia adalah suporter sejati, yang selalu berharap adanya reformasi besar-besaran. Sayangnya, kita seperti fans klub yang tidak pernah juara—tiap tahun optimis, tiap tahun juga kecewa.
Setiap ada pengungkapan kasus besar, kita bersorak. Tapi selang beberapa bulan, pemainnya bebas atau malah naik jabatan di tim lain. Kalau maling ayam bisa dihukum berat, kenapa maling triliunan malah dapat keringanan?
Namun, suporter sejati tidak boleh patah semangat! Kita harus tetap vokal, terus menyuarakan kritik, dan memastikan kalau Liga Korupsi ini suatu hari benar-benar dibubarkan.
Pertanyaan terbesar: Apakah Liga Korupsi Indonesia ini akan terus ada, atau suatu saat bisa dibubarkan? Jawabannya tergantung pada kita semua. Jika sistem hukum semakin tegas, transparansi diperketat, dan rakyat semakin sadar untuk mengawasi pemimpin mereka, bukan tidak mungkin liga ini akhirnya tamat.
Tapi untuk saat ini, sepertinya kita masih harus siap menonton "musim baru" Liga Korupsi setiap tahunnya. Semoga, suatu saat nanti, liga ini benar-benar dihentikan dan semua pemainnya pensiun di tempat yang semestinya: balik modal di penjara.
Tetaplah menjadi suporter kritis dan jangan biarkan mereka merayakan kemenangan!.(*)