Ramadan 2025: Rakyat Disuruh Hemat, Pejabat Tetap Nikmat?
GH News February 27, 2025 04:06 PM

TIMESINDONESIA, PACITAN – Ramadan kembali tiba. Bulan penuh berkah, bulan penuh ampunan, bulan penuh penghematan-eh, maksud saya, bulan penuh ujian. Tapi ujian yang kali ini agak berbeda. Jika biasanya umat Islam diuji dengan menahan lapar dan haus, Ramadan 2025 ini kita diuji dengan satu lagi cobaan efisiensi anggaran.

Ya, Ramadan tahun ini datang di tengah gelombang kebijakan penghematan di berbagai sektor. Pemerintah menggemborkan efisiensi anggaran, mengurangi belanja, menunda proyek yang tidak mendesak. 

Sementara rakyat, seperti biasa, diminta untuk ikut prihatin. Tapi soal prihatin, rakyat kita sudah veteran. Puasa saja sudah melatih kita sejak kecil bagaimana menghemat tenaga, menghemat amarah, bahkan menghemat uang belanja.

Namun, berbeda dengan Ramadan tahun-tahun sebelumnya, kali ini ada satu ironi yang menggelitik. Dulu, orang tua kita selalu menasihati bahwa puasa itu mengajarkan kita untuk hidup sederhana.

Tapi entah kenapa, tiap Ramadan justru konsumsi meningkat. Pasar mendadak penuh, takjil berlimpah, dan belanja kebutuhan pokok melonjak drastis. Puasa, yang seharusnya mengurangi nafsu, justru memancing pesta makan saat berbuka.

Tapi sekarang, dengan wacana efisiensi anggaran yang digaungkan ke mana-mana, mungkin ini saatnya kita kembali ke esensi Ramadan yang sejati.

Ramadan yang benar-benar menjadi bulan pengendalian diri, bukan sekadar pengendalian nafsu makan, tetapi juga pengendalian dompet.

Ramadan, Harga Naik, Anggaran Turun

Ada pemandangan klasik yang selalu muncul menjelang Ramadan, harga kebutuhan pokok merangkak naik. Cabai naik, bawang naik, minyak goreng naik. Semuanya naik, kecuali gaji. Ini sudah menjadi tradisi tahunan, seolah harga-harga juga ikut berpuasa sebelum berbuka dengan kenaikan drastis.

Namun, Ramadan tahun ini terasa lebih istimewa. Dengan adanya kebijakan efisiensi, alokasi dana bantuan sosial dipangkas, subsidi dikaji ulang, bahkan dana untuk program-program strategis pun direm. 

Ini berarti masyarakat kelas bawah yang biasanya mengandalkan bansos untuk bertahan selama Ramadan, kini harus lebih kreatif dalam menyusun strategi bertahan hidup.

Di satu sisi, ini bisa menjadi pelajaran berharga. Ramadan memang mengajarkan kesederhanaan. Tapi bagaimana jika kesederhanaan itu bukan pilihan, melainkan keterpaksaan?

Siapa yang Benar-Benar Berpuasa?

Puasa bukan hanya menahan lapar dan haus, tetapi juga menahan diri dari segala bentuk keborosan dan keserakahan. Jika efisiensi anggaran benar-benar dijalankan dengan adil, mestinya tidak hanya rakyat kecil yang dipaksa berhemat. Para pejabat, anggota dewan, dan elite penguasa juga mestinya merasakan dampaknya.

Namun, kenyataan sering kali tak sejalan dengan idealisme. Sementara rakyat diminta berhemat, para pejabat tetap bisa menikmati berbagai fasilitas negara. Rapat-rapat masih diadakan di hotel berbintang, kendaraan dinas tetap melaju dengan gagah, dan tunjangan tetap mengalir.

Kalau efisiensi benar-benar harus ditegakkan, maka seharusnya Ramadan ini kita tidak hanya berpuasa makan-minum, tetapi juga berpuasa dari segala bentuk kemewahan yang tidak perlu. 

Para pejabat mestinya berpuasa dari fasilitas berlebihan, menahan diri dari perjalanan dinas yang tidak penting, dan mengendalikan nafsu terhadap anggaran yang sering kali bocor tanpa jejak.

Ada satu paradoks yang selalu muncul setiap Ramadan: semakin tinggi semangat ibadah, semakin tinggi pula gairah belanja. Mall dan pasar penuh sesak, penjualan pakaian meningkat, parcel Ramadan bertebaran di mana-mana.

Di sisi lain, wacana efisiensi anggaran justru bisa menjadi momen refleksi. Barangkali kita perlu kembali ke esensi Ramadan yang sejati: menahan diri dari segala sesuatu yang berlebihan. Bukan hanya menahan lapar, tetapi juga menahan diri dari konsumsi berlebihan yang sering kali justru bertentangan dengan semangat Ramadan itu sendiri.

Bayangkan jika setiap keluarga benar-benar mengurangi konsumsi makanan berlebihan saat berbuka. Bayangkan jika orang-orang lebih banyak mengalokasikan dana Ramadan untuk sedekah ketimbang belanja baju baru. Jika efisiensi ini benar-benar diterapkan secara kolektif, mungkin kita bisa merasakan Ramadan yang lebih bermakna.

Efisiensi anggaran juga berarti kita perlu mengubah cara pandang terhadap Idulfitri. Lebaran yang selama ini identik dengan mudik besar-besaran, pesta makanan, dan baju baru, mungkin bisa diubah menjadi sesuatu yang lebih sederhana.

Mungkin ini saatnya kita merayakan Idulfitri dengan cara yang lebih spiritual ketimbang material. Tidak perlu memaksakan mudik jika memang kondisi keuangan tidak memungkinkan. Tidak perlu membeli baju baru jika yang lama masih layak pakai. Tidak perlu menggelar pesta besar jika esensinya hanya silaturahmi dan kebersamaan.

Ramadan 2025 ini datang dengan tantangan baru: bagaimana menjalani puasa di tengah wacana efisiensi anggaran? Ini bukan sekadar soal kebijakan pemerintah, tetapi juga ujian bagi kita semua dalam mengelola pengeluaran, menahan diri dari konsumsi berlebihan, dan kembali kepada esensi Ramadan yang sejati.

Kalau Ramadan adalah sekolah kehidupan, maka tahun ini kita mendapat mata pelajaran baru: bagaimana berpuasa dengan lebih bijak, bukan hanya menahan lapar, tetapi juga menahan diri dari pemborosan.

Dan jika efisiensi benar-benar dijalankan dengan adil, maka seharusnya bukan hanya rakyat kecil yang diminta berhemat, tetapi juga para pemegang kebijakan. Karena sejatinya, puasa yang paling berat bukanlah menahan lapar dan haus, melainkan menahan diri dari godaan kekuasaan dan kemewahan.

Semoga Ramadan kali ini benar-benar menjadi bulan refleksi. Dan semoga setelah sebulan penuh berpuasa, kita tidak hanya kembali fitri secara spiritual, tetapi juga lebih bijak dalam mengelola kehidupan.

***

*) Oleh : Yusuf Arifai, Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

 

____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.