Laporan Khusus Tim Tribunnews.com
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menetapkan sembilan orang sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina (Persero) beserta Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerjasama (KKKS) periode 2013-2018.
Dari sembilan tersangka, tiga di antaranya berasal dari kalangan swasta.
Tiga tersangka tersebut adalah Muhammad Kerry Adrianto Riza, pemilik PT Navigator Khatulistiwa; Dimas Werhaspati, Komisaris PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim; serta Gading Ramadhan Joedo, Komisaris PT Jenggala Maritim dan Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.
Berdasarkan informasi yang dihimpun, PT Navigator Khatulistiwa bergerak di bidang jasa logistik dan distribusi minyak dan gas, sementara PT Jenggala Maritim Nusantara bergerak dalam sektor transportasi minyak dan gas.
Adapun PT Orbit Terminal Merak berfokus pada logistik dan penyimpanan energi, khususnya dalam pengelolaan terminal Bahan Bakar Minyak (BBM).
Tribunnews melakukan penelusuran langsung ke dua perusahaan swasta yang terlibat dalam kasus ini pada Rabu, 26 Februari 2025, untuk mencari informasi lebih lanjut kasus ini.
Penelusuran dimulai dengan kunjungan ke PT Navigator Khatulistiwa, yang beralamat di Gedung Globe Building, Jalan Warung Jati Barat, Kalibata, Pancoran, Jakarta Selatan. Di lokasi ini, aktivitas gedung perkantoran tampak berjalan normal, dengan sejumlah karyawan dari perusahaan lain masuk dan keluar.
Saat memasuki lobi gedung, petugas keamanan menyambut dengan ramah.
“Selamat pagi, ada yang bisa dibantu,” ujar petugas keamanan itu kepada siapapun yang masuk ke dalam gedung.
Namun, ketika Tribunnews menanyakan tentang keberadaan PT Navigator Khatulistiwa, petugas mengungkapkan bahwa perusahaan tersebut sudah tidak berkantor di gedung tersebut sejak sekitar tahun 2020.
“Sudah hampir 4-5 tahun tidak berkantor disini, karena saya masuk tahun 2020 sudah tidak ada. Tapi, menang dulu berkantornya disini, cuman memang selama sudah 4 tahun disini, (PT Navigator Khatulistiwa) tidak ada disini,” ungkap petugas tersebut kepada Tribunnews.
Dari data yang ada, perusahaan ini sebelumnya menempati lantai dua Gedung Globe Building.
Namun, dalam daftar perusahaan yang terdaftar di gedung tersebut, nama PT Navigator Khatulistiwa tidak ditemukan.
Sebaliknya, perusahaan jasa pengadaan sumber daya manusia tercatat di lantai tersebut.
Untuk memastikan informasi lebih lanjut, Tribunnews sempat mengkonfirmasi beberapa pekerja di gedung tersebut.
Namun, banyak dari mereka yang mengaku tidak mengetahui keberadaan PT Navigator Khatulistiwa di gedung ini, bahkan ada yang menyatakan tidak pernah melihat perusahaan tersebut berkantor di lokasi ini.
Penelusuran Tribunnews dilanjutkan ke PT Jenggala Maritim Nusantara, yang beralamat di 18 Office Park, Lantai 22 Suite EF&G, Jalan TB Simatupang, Pasar Minggu, Jakarta Selatan.
Gedung ini dipenuhi oleh berbagai perusahaan swasta maupun BUMN, dengan ribuan karyawan yang terlihat keluar masuk saat jam istirahat.
Namun, begitu tiba di Lantai 22, suasana kantor PT Jenggala Maritim tampak sepi.
Meskipun ada sejumlah perusahaan terdaftar di lantai tersebut, nama PT Jenggala Maritim tidak terlihat dalam daftar perusahaan yang ada.
Setelah melakukan konfirmasi dengan petugas gedung, diketahui bahwa PT Jenggala Maritim memang terdaftar sebagai salah satu penyewa di lantai 22.
“Dari data kami, memang terdaftar di sini (PT Jenggala Maritim),” kata petugas itu sambil melihat ke layar komputernya.
Namun, petugas itu mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa perusahaan bernama PT Jenggala Maritim itu tidak memiliki karyawan yang berkantor di gedung tersebut.
"Mereka hanya terdaftar untuk keperluan legalitas perusahaan. Jadi, tidak ada aktivitas kantor dan karyawan di sini," kata petugas tersebut.
“Untuk lokasi di mana karyawan bekerja, kami tidak mengetahuinya.”
Adapun PT Orbit Terminal Merak (OTM) berada di Cilegon, Banten.
Dan perusahaan itu digeledah pihak Kejagung pada Kamis (27/2/2025).
Kejaksaan Agung mengusut kasus korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Subholding, dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) antara 2018-2023.
Salah satu modus operandi kasus korupsi ini yakni pengoplosan Pertalite (RON 90) menjadi Pertamax (RON 92) untuk dijual dengan harga lebih tinggi, dan terindikasi melanggar regulasi yang ada.
Skandal mega korupsi ini menyebabkan kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun.
"Modus termasuk yang saya katakan RON 90 (Pertalite), tetapi dibayar (harga) RON 92 (Pertamax) kemudian diblending, dioplos, dicampur," ujar Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar, dalam konferensi pers di Kejagung, Jakarta, Selasa (25/2/2025).
Sebanyak sembilan tersangka diduga terlibat, dengan enam orang berasal dari anak perusahaan PT Pertamina (Persero) dan tiga orang dari pihak swasta.
Pejabat Pertamina yang terlibat antara lain Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga, Riva Siahaan, dan Direktur Optimasi Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional, Sani Dinar Saifuddin, serta pejabat lainnya.
Dari pihak swasta, tersangka adalah Muhammad Kerry Adrianto Riza (PT Navigator Khatulistiwa), Dimas Werhaspati (PT Navigator Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim), dan Gading Ramadhan Joedo (PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak).
Tujuh tersangka telah ditahan, sementara dua tersangka dari PT Pertamina Patra Niaga, Maya Kusmaya dan Edward Corne, dijemput paksa setelah tidak hadir pada panggilan pemeriksaan.
Tim penyidik Jampidsus Kejagung menggeledah PT Orbit Terminal Merak (OTM) milik Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) di Cilegon, Banten, pada Kamis (27/2/2025).
Penggeledahan ini terkait kasus dugaan korupsi tata kelola minyak mentah dan produk kilang di PT Pertamina, Subholding, dan KKKS (2018-2023).
"Hari ini bahwa sejak tadi pagi penyidik sudah melakukan penggeledahan juga di Kota Cilegon satu tempat yaitu PT OTM yang diduga sebagai storage atau depo yang menampung minyak yang diimpor," kata Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar kepada wartawan, Kamis (27/2/2025).
PT OTM diduga digunakan sebagai lokasi pengoplosan (blending) BBM jenis Pertamax oleh pejabat PT Pertamina Patra Niaga, Maya Rismaya dan Edward Corne.
Proses blending yang dilakukan di depo swasta ini dianggap melanggar aturan karena harusnya hanya dilakukan di kilang Pertamina.
Kejagung mendalami peran tersangka dalam kegiatan blending ilegal ini.