Kampung Lio di Sukabumi ternyata menyimpan sejarah panjang zaman kolonial. Kampung itu menjadi tempat latihan perang pada tempo dulu.
Kampung Lio yang terletak di Desa Cireunghas, Kabupaten Sukabumi, merupakan sebuah kawasan yang menyimpan jejak panjang sejarah kolonial Hindia Belanda. Peristiwa itu terekam dalam koran Bataviaasch Nieuwsblaad.
Sejarawan sekaligus penulis buku Soekaboemi The Untold Story, Irman Firmansyah, mengungkapkan daerah ini bukan hanya terkenal dengan pemandangannya yang memukau, tetapi juga menjadi tempat latihan militer bagi tentara Hindia Belanda menjelang Perang Dunia II.
Dalam catatan sejarah, Kampung Lio telah terdokumentasi pada peta sejak tahun 1889, bahkan kemungkinan jauh lebih tua, mengacu pada keberadaan makam Eyang Layung Kuning di Gunung Cipadung.
Keindahan alamnya dahulu menarik perhatian banyak tokoh dunia yang melintasi kawasan ini melalui jalur kereta api, termasuk Eliza R. Scidmore, William Worsfold, Raja Thailand, Pangeran Austria Franz Ferdinand, hingga sosok legendaris Mata Hari.
Namun, di balik pesonanya, Kampung Lio juga menyimpan kisah ironi masa lalu, terutama saat Hindia Belanda berusaha mempertahankan kekuasaannya dari ancaman Jepang.
Sekitar 80-an tahun lalu, menjelang Perang Dunia II, Hindia Belanda dihadapkan pada dilema besar di tengah ketegangan antara Sekutu dan Jepang.
Tentara kolonial pun melakukan berbagai latihan perang, termasuk di Kampung Lio. Namun, seperti yang diungkapkan Rob Nieuwenhuy dalam bukunya Een Beetje Oorlog (Sekadar Perang), taktik yang digunakan justru usang dan keliru.
"Latihan perang Hindia Belanda masih berkutat pada strategi kolonial lama, yakni penyerangan desa ke desa, menangkap penduduk, dan memaksa mereka menyebutkan nama-nama pemberontak," kata Irman, belum lama ini.
Salah satu latihan besar yang dilakukan di Sukabumi pada 5-10 September 1929, hanya melibatkan mobilitas dan manuver pasukan, sementara para perwira lebih banyak berteori tanpa memahami strategi perang modern. Mereka pun mendapat julukan 'perwira salon' karena minim pengalaman tempur sesungguhnya.
Modernisasi militer Hindia Belanda baru mulai dilakukan pada 1936 dengan mendatangkan tank ringan dari Skandinavia dan membentuk Staats Mobilitatie Raad (Dewan Mobilisasi Nasional). Namun, usaha ini terhambat masalah anggaran.
Ketika Belanda jatuh ke tangan Jerman pada Mei 1940 dan Ratu Wilhelmina mengungsi ke London, barulah Hindia Belanda melakukan persiapan militer lebih serius, meskipun tetap dalam keadaan terburu-buru.
Menjelang kedatangan Jepang, Hindia Belanda semakin panik dan menggelar latihan perang besar-besaran di Kampung Lio pada November 1941.
Latihan ini bahkan menjadi tontonan publik dengan tribun khusus yang disiapkan untuk para pejabat seperti Bupati Sukabumi, Bupati Cianjur, serta perwira tinggi militer.
Skenario yang dimainkan dalam latihan tersebut menampilkan pasukan Hindia Belanda menghadapi serangan dari desa ke desa. Pasukan ditempatkan di berbagai titik strategis seperti bukit Pamipiran, kaki Gunung Cipadung, serta bantaran Sungai Cimandiri.
"Latihan ini menampilkan aksi tembak-menembak, serangan udara, dan penggunaan artileri berat. Media kolonial saat itu memuji kesiapan militer Hindia Belanda, tetapi di balik kemegahan latihan tersebut, realitasnya justru jauh berbeda," ujarnya.
Dia mengatakan, Jenderal Ter Poorten, yang memimpin angkatan bersenjata Hindia Belanda, bahkan pesimis dengan kesiapan mereka. Menurutnya, latihan perang yang ditampilkan di Kampung Lio lebih seperti sandiwara dibanding persiapan nyata menghadapi serangan Jepang.
Ketakutan Hindia Belanda akhirnya menjadi kenyataan. Saat Jepang melancarkan serangan ke Nusantara, Hindia Belanda kalah telak di semua lini.
Sukabumi sendiri tidak diserang melalui pertempuran darat seperti yang dipersiapkan dalam latihan, melainkan melalui serangan udara yang mengejutkan.
Ketika pasukan Jepang tiba, sebagian besar tentara Hindia Belanda telah mundur ke Bandung, sementara para pejabat kolonial sudah lari melarikan diri.
"Latihan perang megah yang disaksikan ribuan orang di Kampung Lio ternyata menjadi ironi besar. Apa yang digadang-gadang sebagai persiapan menghadapi musuh justru menjadi bukti ketidaksiapan Hindia Belanda dalam menghadapi strategi perang modern Jepang," katanya.
Kini, Kampung Lio tetap berdiri sebagai saksi bisu sejarah. Rel kereta, hamparan sawah, dan bukit-bukit di sekitarnya masih menjadi bagian dari lanskap Sukabumi.
Namun, bagi yang memahami sejarah, kampung Lio bukan sekadar pemandangan indah, melainkan juga pengingat akan ironi kolonialisme di penghujung kekuasaannya.
--------
Artikel ini telah naik di detikJabar.