TRIBUNNEWS.COM - Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok akhirnya ikut buka suara terkait kasus mega korupsi di tubuh Pertamina.
Diketahui Ahok merupakan Komisaris Utama Pertamina pada tahun 2019-2024.
Sedangkan kasus korupsi tata kelola minyak mentah yang tengah diselidiki Kejagung saat ini terjadi dalam rentan 2018-2023.
Muncul kemungkinan nama Ahok dipanggil Kejaksaan Agung.
Mendengar hal tersebut, Ahok nampak senang hati jika pemanggilan tersebut benar terjadi.
Mantan Gubernur DKI Jakarta tersebut bahkan mengaku memiliki bukti rekaman dan notulen setiap rapat saat menjadi Komut Pertamina.
Rekaman tersebut tentu akan menjadi bukti bagaimana perusahaan migas terbesar di Indonesia tersebut bekerja.
Ahok sejak bekerja di Pertamina sudah curiga dengan gerak-gerik para Direksi Utama.
Ia juga heran, Petral yang dibubarkan karena berisi mafia justru kembali dijadikan Dirut.
"Petral (sarang mafia) dibubarkan, tapi kenapa orang Petral jadi Dirut Patra Niaga? Jangan tanya pada saya, Anda tanya Menteri BUMN dong," tegas Ahok dikutip dari kanal YouTube Narasi yang tayang Sabtu (1/3/2025).
"Saya curiga, ini ada permainan bekas satu Dirut PT Niaga dipecat. Saya tidak tahu, tapi diduga karena dia tidak mau menandatangani pengadaan aditif," terang Ahok.
Lebih lanjut, Ahok mengungkapkan akar masalah tentang blending Pertamax dengan Pertalite bermula dari pengadaan aditif.
Zat aditif disebutkan dalam pembelaan Pertamina tentang isu pengoplosan.
Pihak Pertamina menyebut, zat aditif ditambahkan untuk meningkatkan performa mesin kendaraan.
Hal tersebut menjadi bantahan Pertamina tentang pengoplosan Pertamax dengan Pertalite atau Premium.
"Jadi pengadaan aditif ini melibatkan oknum di BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) malahan, menurut isu oknum BPK ini jadi backing supaya Pertamina ini membeli aditif ini dengan transport dengan tender yang tidak sah."
"Saya dengar itu saya panggil datang ini semua ada rapat. Dalam berita acara, saya tanya ini gak bisa, terus ditakut-takutin kalo enggak tanda tangan di SPBU gak ada barang," jelas Ahok.
Hal tersebut terjadi saat Ahok masih menjabat sebagai Komut Pertamina.
Meski sudah memberi arahan untuk tak melakukan pengadaan terpisah, nyatanya permainan tersebut tetap berjalan.
"Padahal saya bilang, mana bisa tender dipisah antara transport dengan aditif. Lalu karena transport lebih mahal, eh dikalahkan. Aditif yang lebih murah."
"Dirutnya kalau tanda tangan, gue akan laporin nih dirutnya. (Saat itu) dirutnya ga mau tanda tangan, itu bisa dicari Patra Niaga siapa namanya, orang Telkom, saya enggak usah sebut namanya. MK, singkat aja lah," jelas Ahok menambahkan.
"Menurut saya ini permainan sudah lama yang masing-masing penguasa tidak mau stop. Makanya orang takut saya jadi Dirut, demo-demo."
"Kalau saya jadi Dirut, saya bisa langsung pecat dirut-dirut subholding. Karena untuk ke notaris saya yang putuskan dan saya tidak pernah takut dengan Menteri BUMN manapun selama saya benar," tegasnya lagi.
Hal ini yang menjadi kemungkinan dirinya tak pernah bisa menjadi Dirut Pertamina.
Jabatan Komisaris Utama memang tak memiliki wewenang dalam urusan pemecatan.
"Itulah kenapa saya dikurung tidak boleh jadi Dirut. Janjikan saya jadi Dirut untuk membereskan, makanya saya hanya bisa melakukan sebatas yang bisa saya awasi," jelas politisi PDIP tersebut.
Lebih lanjut Ahok memberi saran bagi rezim pemerintah saat ini jika ingin memusnahkan mafia migas.
Pemerintah hanya perlu e-katalog yang bisa dipantau dan diurus oleh LKPP.
Lalu harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang ditentukan Menteri ESDM akan membuat semuanya lebih efisien dan tak ada ruang bagi mafia.
"Intinya gini, bubarin Petral itu main-main, bohong-bohong doang kalau orangnya sama."
"Kalau mau bubarin semua sistem mafia migas, ikutin saran saya deh. E-katalog itu LKPP orang kita bos pemerintah. Harga ICP ditentukan Menteri ESDM, subholding kilangnya Pertamina itu kan kurang efisien sebetulnya."
"Harusnya kilang yang lebih modern lebih murah, jadi kalau saya mengatakan harga Kilang Pertamina patokan e-katalog karena sudah dibeli dari subholding, termasuk LPG kan barang enggak cukup, avtur segala macem selesai."
"Apa yang mau dimafia, dan Indonesia siap perang sama siapapun, karena punya stok minyak bisa setahun." jelas Ahok panjang.
Namun jika pemerintah tak mau mengubah sistem tersebut, pemeriksaan Riva Siahaan dkk yang saat ini ditangkap Kejagung hanyalah untuk mengganti pemain.
"Ini bukan beyond. Tapi ada tangan penguasa yang masuk. Ini bisa kemana-mana kalo dibongkar, saya seneng banget ini," tegasnya lagi.
"Saya bilang ke pemerintah saat ini, kalau tidak mau melakukan e-katalog di LKPP pengadaan bahan migas, saya berani jamin (ini) cuman mau ganti pemain, ada yang mau makan itu uang," ucap Ahok sambil emosional.
Ahok kembali menegaskan jika pemerintah tak membereskan e-katalog, Pertamina hanya akan menjadi sarang korupsi.
Diberitakan sebelumnya, Ahok berpeluang diperiksa Kejagung atas korupsi Pertamina.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Khusus Kejagung Abdul Qohar menegaskan pihaknya akan memeriksa seluruh pihak yang diduga terlibat dalam kasus itu.
"Siapa pun yang terlibat dalam perkara ini, baik berdasarkan keterangan saksi, maupun berdasarkan dokumen atau alat bukti yang lain pasti akan kita panggil untuk dimintai keterangan, siapapun," kata Abdul Qohar dalam konferensi pers, Rabu (26/2/2025).
Dalam kasus ini, Kejagung telah menetapkan sembilan orang tersangka yang terdiri dari enam pegawai Pertamina dan tiga pihak swasta.
Salah satunya Riva Siahaan selaku Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga.
Dalam kasus ini, mereka melakukan pengoplosan minyak mentah RON 92 alias Pertamax dengan minyak yang kualitasnya lebih rendah.
Kasus tersebut terjadi di lingkup PT Pertamina Subholding dan Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) pada 2018-2023 lalu.
Akibatnya, negara mengalami kerugian keuangan sebesar Rp193,7 triliun.
Terbaru, ada dua tersangka yang ditetapkan Kejagung, yakni Maya Kusmaya (MK) selaku Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga dan Edward Corne (EC) selaku VP Trading Operations.
Maya dan Edward terbukti melakukan tindak pidana bersama-sama dengan tujuh tersangka yang sebelumnya sudah lebih dulu ditetapkan. (*)
( Siti N/ Fersianus Waku)