TRIBUNNEWS.COM – Mantan Komandan Tertinggi Sekutu NATO (SAC) Wesley Clark, menyatakan bahwa perang di Ukraina masih jauh dari kata selesai, dilansir The Hill.
"Perang ini masih jauh dari akhir," ujar Clark dalam wawancara dengan Chris Stirewalt di program The Hill Sunday, Minggu (2/3/2025).
Menurutnya, memahami Rusia bukanlah hal yang mudah.
"Kebanyakan dari kita melihat Rusia dan berpikir: ekonominya bermasalah, pasukannya bergerak lambat, serta mengalami banyak korban. Namun, untuk benar-benar memahami Rusia, kita harus melihatnya dari perspektif sejarah, budaya, dan sistem pemerintahan mereka saat ini," jelas Clark.
Clark juga menyoroti bagaimana Presiden Rusia Vladimir Putin terus memperkuat kemampuan militernya.
"Putin sedang membangun mesin perang. Kompleks industri militer Rusia beroperasi 24 jam sehari, tujuh hari seminggu, dengan dukungan besar dari China, Iran, dan Korea Utara," ungkapnya.
"Ia bahkan belum sepenuhnya mengerahkan seluruh cadangan tenaga kerja. Saat ini, Putin mencoba melancarkan perang dengan cara yang lebih hemat biaya."
Pernyataan Clark muncul setelah pertemuan panas di Ruang Oval antara Presiden AS Donald Trump, Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky, dan Wakil Presiden AS J.D. Vance pada Jumat (28/2/2025).
Dalam pertemuan tersebut, terjadi perdebatan sengit antara Trump dan Zelensky mengenai dukungan Amerika Serikat terhadap Ukraina, yang berujung pada adu argumen dan saling tuding.
Clark menilai bahwa meskipun Putin berada dalam posisi tawar yang kuat, Ukraina juga memiliki daya juang yang besar.
"Insiden di Gedung Putih ini justru memperkuat dukungan Eropa dan rakyat Ukraina terhadap Zelensky. Mereka tidak akan menyerahkan Ukraina kepada Rusia," tegasnya.
Pada Minggu (2/3/2025), para pemimpin Eropa menggelar Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) untuk menunjukkan dukungan kuat bagi Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky.
Dalam pertemuan tersebut, seperti dilansir Reuters, mereka berjanji untuk meningkatkan bantuan bagi Ukraina, baik dalam bentuk dukungan militer, ekonomi, maupun diplomasi.
Dukungan ini muncul hanya dua hari setelah Zelensky terlibat perselisihan dengan Presiden AS, Donald Trump, di Washington.
Zelensky mengungkapkan pada hari Minggu bahwa dirinya optimistis dapat memperbaiki hubungannya dengan Trump, tetapi menekankan bahwa diskusi lebih lanjut harus dilakukan secara tertutup.
Selain itu, Zelensky menyatakan kesiapan untuk menandatangani kesepakatan mineral dengan Amerika Serikat dan yakin bahwa Washington juga akan menyetujui kerja sama tersebut.
Perseteruan antara kedua pemimpin ini menimbulkan spekulasi mengenai kemungkinan retaknya hubungan antara Ukraina dan AS.
Analis RBC Capital, Helima Croft, dalam sebuah catatan menyebut bahwa ketegangan tersebut dapat mempercepat pencabutan sanksi AS terhadap Rusia, terutama sanksi yang diberlakukan melalui perintah eksekutif.
"Skenario seperti itu memang dapat menyebabkan pencabutan sanksi AS yang lebih cepat terhadap Rusia," ujar Croft.
(Tribunnews.com, Tiara Shelavie)