Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina International Shipping, Yoki Firnandi memiliki citacita besar bagi subholding dari PT Pertamina (Persero) Tbk.
Adapun citacita yang dimaksud yaitu menjadikan PT Pertamina International Shipping sebagai perusahaan shipping terbaik seAsia.
"Pertamina International Shipping citacitanya jadi Asia's Leading Shipping and Marine Logistics Company," katanya dalam program Beginu di YouTube Kompas.com yang ditayangkan pada 21 Agustus 2023 lalu.
Yoki mengatakan citacitanya itu muncul karena PT Pertamina International Shipping telah berkecimpung di dunia shipping atau pengapalan selama puluhan tahun.
Namun, dengan pengalaman tersebut, Yoki menilai subholding yang dipimpinnya belum bisa menguasai shipping di Asia.
"Kita menyadari bahwa kita ini operasional kita besar, aset kita besar, experience kita puluhan tahun. Pertanyaannya, kenapa kita tidak bisa menjadi one of the biggest player di kawasan ini?" tuturnya.
Untuk mencapai target, Yoki menyebut PT Pertamina telah menjadikan subholding yang dipimpinnya harus bertumbuh dan tidak sekedar hanya sebagai sektor operasional saja.
Secara teknis, dia mengatakan PT Pertamina International Shipping telah bekerjasama dengan perusahaan pelayaran asal Jepang yaitu Nippon Yusen Kabushiki Kaisha (NYK) pada tahun 2020 untuk meningkatkan kualitas.
"Kalau kita mau berakselerasi dengan cepat, tentu kita mencari partner yang hebat kan," ujarnya.
Tak cuma itu, Yoki mengatakan untuk menjangkau pasar lebih luas di Asia, pihaknya turut membangun kantor di beberapa negara seperti Qatar dan Singapura.
Pada kesempatan yang sama, Yoki juga membeberkan kinerja finansial subholding Pertamina yang dipimpinnya terus mengalami tren positif.
Hal ini, imbuhnya, membuktikan dengan terbentuknya subholding seperti PT Pertamina International Shipping, maka Pertamina secara keseluruhan terus bertumbuh.
"Dan untuk kami di subholding Integrated Marine Logistic, finansialnya terus positif dan yang paling kentara salah satunya mentalitas berbeda," tegasnya.
Yoki menuturkan tren positif yang dialami PT Pertamina International Shipping membuat mentalitas karyawannya semakin baik dan selalu berpikir untuk memperoleh keuntungan.
"Moralnya kita tuh naik nih, dan ternyata kita ini bisa lho. Talenttalent kita tuh hebat lho, pelautpelaut kita hebat lho."
"Bisa sekarang 26 rute dunia yang menandakan bahwa kita punya modal untuk one of the biggest serious playerlah di industri ini," katanya.
Segala citacita yang disampaikan Yoki itu pun kini hanya sekedar mimpi setelah dirinya ditetapkan menjadi salah satu tersangka kasus mega korupsi tata kelola minyak mentah dan produksi kilang PT Pertamina Patra Niaga periode 20182023 yang ditaksir merugikan negara mencapai Rp193,7 triliun.
Selain dirinya, ada enam tersangka lainnya yaitu Direktur Utama (Dirut) PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan, Direktur Optimasi Feedstock dan Produk PT Kilang Pertamina Internasional Sani Dinar Saifuddin, dan Vice President (VP) Feedstock PT Kilang Pertamina Internasional Agus Purwono.
Lalu, tersangka lainnya adalah eneficiary owner atau penerima manfaat dari PT Navigator Khatulistiwa Muhammad Keery Andrianto Riza, Komisaris PT Khatulistiwa dan PT Jenggala Maritim Dimas Werhaspati, dan Komisaris PT Jenggala Maritim dan PT Orbit Terminal Merak Gading Ramadan Joede.
Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung Abdul Qohar menuturkan perbuatan para tersangka itu mengakibatkan negara rugi sebesar Rp193,7 triliun.
"Adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp193,7 triliun yang bersumber dari berbagai komponen," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Jakarta, Senin (24/2/2025).
Adapun kasus ini bermula pada tahun 2018 saat pemerintah tengah mencanangkan pemenuhan minyak mentah wajib berasal dari produksi dalam negeri.
Lalu, perusahaan pelat merah PT Pertamina mencari pasokan minyak bumi dalam negeri sebelum melakukan perencanaan impor yang diatur dalam Pasal 2 dan Pasal 3 Peraturan Menteri ESDM Nomor 42 Tahun 2018.
Namun, bukannya memaksimalkan produksi minyak mentah dalam negeri, tiga tersangka yaitu Riva, Sani, dan Agus justru diduga melakukan pengkondisian saat rapat organisasi hilir (ROH).
Mereka pun memutuskan agar produksi kilang diturunkan yang membuat hasil produksi minyak bumi tidak sepenuhnya terserap.
Qohar mengatakan hal ini dilakukan ketiga tersangka sematamata demi melakukan impor minyak mentah.
"Pada akhirnya pemenuhan minyak mentah maupun produk kilang dilakukan dengan cara impor," ujar Qohar.
Selain itu, mereka juga menolak produksi minyak mentah dalam negeri dari KKKS dengan dalih tidak memenuhi nilai ekonomis serta tidak sesuai spesifikasi.
Padahal, kenyataannya berbanding terbalik dengan klaim dari ketiga tersangka tersebut.
"Pada saat produksi minyak mentah dalam negeri oleh KKKS ditolak dengan dua alasan tersebut, maka menjadi dasar minyak mentah Indonesia dilakukan ekspor," jelas Qohar.
Lantas PT Kilang Pertamina Internasional pun melakukan impor minyak mentah dan PT Pertamina Patra Niaga melakukan impor produk kilang yang mana perbedaan harga sangat signifikan dibanding produksi minyak bumi dalam negeri.
Sementara, terkait kegiatan ekspor minyak diduga terjadi kongkalikong di mana Riva, Sani, Agus, dan Yoki selaku perwakilan negara mengatur kesepakatan harga dengan Riza, Dimas, dan Gading selaku broker.
Kongkalikong itu berupa pengaturan harga yang diputuskan dengan melanggar peraturan demi kepentingan pribadi masingmasing.
"Seolaholah telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan dengan cara pengkondisian pemenangan demut atau broker yang telah ditentukan dan menyetujui pembelian dengan harga tinggi melalui spot yang tidak memenuhi persyaratan," jelasnya.
Lalu, deretan pelanggaran hukum kembali dilakukan ketika Riva, Sani, dan Agus memenangkan broker minyak mentah dan produk kilang.
Selanjutnya, adapula Dimas dan Gading yang melakukan komunikasi ke Agus untuk memperoleh harga tinggi meski secara syarat belum terpenuhi.
Riva juga melakukan pelanggaran dimana justru membeli bahan bakar minyak (BBM) jenis RON 90 meski yang dibutuhkan adalah RON 92.
Tak cuma itu, Yoki juga diduga melakukan mark up kontrak dalam pengiriman minyak impor.
Apa yang dilakukan Yoki ini membuat negara harus menanggung biaya fee mencapai 1315 persen. Namun, Riza justru memperoleh keuntungan.
"Sehingga tersangka MKAR (Riza) mendapatkan keuntungan dari transaksi tersebut," ungkap Qohar.
Qohar mengatakan rangkaian perbuatan tersangka ini membuat adanya gejolak harga BBM di masyarakat lantaran terjadi kenaikan.
Hal ini membuat pemerintah semakin tinggi dalam memberikan kompensasi subsidi.
Akibat perbuatannya, mereka dijerat dengan Pasal 2 ayat 1 juncto Pasal 3 juncto Pasal 18 UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto Pasal 55 ayat 1 ke1 KUHP.