TIMESINDONESIA, MALANG – Setelah berdiri selama 90 tahun (1935–2025), Rumah Anjasmoro No. 25 di Kota Malang resmi berpindah kepemilikan.
Bangunan bersejarah yang sempat berstatus cagar budaya ini sebelumnya dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga besar Dr. Slamet, seorang tokoh pribumi yang menjadi pemilik pertamanya di era kolonial.
Momen pelepasan rumah tersebut tidak ingin berlalu tanpa kesan. Ahmad Rofi Uddin, mahasiswa Universitas Negeri Malang, bersama rekan-rekannya memutuskan untuk mengabadikan sejarahnya melalui film dokumenter. Proyek ini mereka garap secara swadaya sebagai bagian dari inisiatif budaya mereka yang dinamakan Tentang Malang.
Pemutaran Film dan Kehadiran Pemilik Terakhir
Antusiasme peserta memenuhi ruang utama Kafe Pustaka, Jl. Pekalongan No. 1 Kota Malang. (FOTO: M. Arif Rahman Hakim/TIMES Indonesia)
Pada Sabtu malam (8/3/2025), film dokumenter berjudul Perayaan Cinta dan Rasa diputar perdana di Kafe Pustaka, Jl. Pekalongan No. 1, Kota Malang.
Acara ini dihadiri langsung oleh pemilik terakhir Rumah Anjasmoro dari keluarga Dr. Slamet, Irawan Prajitno. Sejumlah peserta dari berbagai daerah, termasuk Mojokerto dan Jakarta, turut hadir menyaksikan film tersebut.
Rofi, bersama tiga rekannya—Athifa, Fany, dan Mufid—telah mengembangkan Tentang Malang sejak 2024. Gerakan ini bertujuan mendokumentasikan kekayaan sejarah dan budaya Malang, baik dalam bentuk benda maupun nonbenda.
Dalam prosesnya, mereka menggali informasi melalui arsip naskah kuno, artikel jurnal, wawancara dengan tokoh sejarah dan budayawan, serta diskusi dengan praktisi budaya. Film dokumenter Rumah Anjasmoro No. 25 menjadi karya perdana mereka.
"Tentang Malang bukan sekadar komunitas yang mengklaim kepemilikan sejarah, tetapi lebih sebagai wadah dokumentasi untuk menunjukkan kisah Malang kepada semua orang," ujar Rofi.
Sejarah Rumah Anjasmoro No. 25
Film dokumenter ini merunut sejarah panjang Rumah Anjasmoro sejak era kolonial. Bangunan tersebut dirancang oleh arsitek Belanda, Kooper Hooger Beets, pada masa pembangunan Bouwplan ke-7 Kota Malang pada 1930-an.
Rumah ini kemudian dibeli oleh Dr. Slamet, kakek Irawan, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Rumah Pemotongan Hewan (RPH) pertama Kota Malang (1937–1958). Jabatan ini memberinya kesempatan untuk membeli rumah di kawasan yang saat itu diperuntukkan bagi orang Eropa, pejabat, dan pengusaha.
Saat Jepang menguasai Indonesia pada Maret 1942, kawasan Rumah Anjasmoro dijadikan area penahanan bagi warga Belanda, termasuk wanita, anak-anak, dan lelaki lanjut usia yang dianggap tidak produktif. Sekitar 40 orang tinggal di rumah tersebut dalam kondisi tanpa akses listrik dan air. Sementara itu, Dr. Slamet dan keluarganya diungsikan ke rumah di Jl. Ijen No. 37.
Setelah Jepang kalah, tawanan Belanda tetap bertahan di kawasan interniran karena merasa waspada terhadap penduduk pribumi. Pada 1947, saat Agresi Militer Belanda I meletus, Dr. Slamet yang saat itu menjabat sebagai Kepala Palang Merah Karesidenan Malang dituduh memberontak. Ia melarikan diri ke Malang Selatan, tetapi kemudian ditangkap di Peniwen dan dipenjara di Lowokwaru bersama istri dan dua anaknya.
Dalam masa pengungsian itu, Slamet memberikan kuasa sewa atas Rumah Anjasmoro kepada Rohmat Harjono, yang kemudian menyewakannya kepada seorang warga Ambon bernama Sahelangi.
Pada 1948, setelah kembali diangkat sebagai dokter hewan Kotapraja, Slamet meminta hak huni rumahnya kembali. Ia sempat menunggu beberapa tahun hingga akhirnya bisa kembali menempatinya secara resmi pada 1951.
Harapan untuk Masa Depan
Dalam sesi diskusi setelah pemutaran film, Irawan Prajitno mengungkapkan harapannya agar pemilik baru Rumah Anjasmoro tidak terlalu banyak mengubah bentuk fisik bangunan kolonial tersebut.
"Rumah ini menyimpan banyak cerita yang bukan hanya milik keluarga kami, tetapi juga bagian dari sejarah Kota Malang. Saya berharap masih ada bagian orisinal bangunan yang bisa dilihat oleh generasi mendatang," ujar Irawan.
Dokumentasi sejarah seperti yang dilakukan Tentang Malang menjadi langkah penting dalam menjaga warisan budaya Kota Malang. Film dokumenter ini tidak hanya menjadi rekaman sejarah, tetapi juga mengingatkan masyarakat akan pentingnya melestarikan bangunan dan kisah-kisah berharga dari masa lalu. (*)