TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Eks Kapolres Ngada AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus kekerasan seksual terhadap anak di bawah umur.
Keputusan ini disampaikan dalam konferensi pers yang digelar Divisi Humas Polri di Mabes Polri, Jakarta, Kamis (13/3/2025).
Karowabprof Divisi Propam Polri Brigjen Agus Wijayanto menuturkan AKBP Fajar melakukan pelanggaran kode etik berat.
"Hasil pemeriksaan menunjukkan bahwa perbuatan AKBP Fajar termasuk kategori pelanggaran berat," katanya.
Agus berujar terduga pelanggar telah menjalani proses kode etik di Propam Polri sejak 24 Februari 2025.
Adapun sidang Kode Etik Profesi Polri (KKEP) dijadwalkan pada 17 Maret 2025.
"Sidang kode etik akan segera digelar dengan ancaman sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH)," ucapnya.
Atas perbuatannya, AKBP Fajar Widyadharma dijerat dengan sejumlah pasal berlapis.
Di antaranya Pasal 6 huruf C, Pasal 12, Pasal 14 ayat 1 huruf A dan B, serta Pasal 15 ayat 1 huruf E, G, J, dan L UU No. 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual.
Selain itu, ia juga dijerat Pasal 45 ayat 1 junto Pasal 27 ayat 1 UU ITE No. 1 Tahun 2024. Ancaman hukuman maksimal mencapai 15 tahun penjara dan denda hingga Rp1 miliar.
Tak hanya kasus asusila pencabulan anak di bawah umur.
Terduga pelanggar perwira menengah ini juga tersandung kasus penyalahgunaan narkoba.
AKBP Fajar Widyadharma sebelumnya telah menjalani tes urine terkait kasus dugaan narkotika.
Hasilnya, dia dinyatakan positif sabu-sabu.
"Hasil tes urine positif ss (sabu-sabu, red)," kata Kabid Humas Polda Nusa Tenggara Timur (NTT) Kombes Henry Novika kepada wartawan, Selasa (4/3/2025).
Henry menegaskan pemeriksaan lebih lanjut terhadap yang bersangkutan dilaksanakan di Propam Polri.
AKBP Fajar Widyadharma Lukman Sumaatmaja untuk kali pertama tampak mengenakan baju tahanan.
AKBP Fajar ditampilkan ke hadapan awak media saat konferensi pers penanganan kasus yang menjeratnya terkait asusila dan narkoba.
Tak sampai lima menit, yang bersangkutan kembali digiring ke rumah tahanan Bareskrim Polri.
Saat berjalan keluar ruang konferensi pers, AKBP Fajar melontarkan tiga kata.
"Saya Sayang Indonesia!" ucap terduga pelanggar.
Sementara itu Koordinator Subkomisi Penegakan HAM Komnas HAM RI Uli Parulian Sihombing mengatakan pihaknya melakukan pemantauan untuk memastikan penegakan hukum berjalan dengan baik dan adanya perlindungan hak anak serta pemulihan korban dari pelecehan seksual dan atau pencabulan tersebut.
Selain itu, ia juga menyatakan Komnas HAM memandang anak-anak merupakan korban yang rentan mengalami tindakan kekerasan, pelecehan seksual, dan atau pencabulan yang mengakibatkan pelanggaran HAM.
Anak-anak, kata dia, menjadi salah satu kelompok rentan yang dilindungi oleh peraturan perundang-undangan.
Ia mengatakan kasus pencabulan dan pelecehan seksual yang terjadi tersebut bertentangan dengan Pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pasal tersebut berbunyi "Setiap anak berhak atas perlindungan oleh orang tua, keluarga, masyarakat, dan negara".
Selain itu juga, lanjut dia, dalam Pasal 52 ayat 2 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM tercantum "Hak anak adalah hak asasi manusia dan untuk kepentingannya hak anak itu diakui dan dilindungi oleh hukum bahkan sejak dalam kandungan".
Ia melanjutkan, perlindungan hak setiap anak juga dijamin dalam Pasal 58 ayat 1 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM.
Pasal tersebut berbunyi "Setiap anak berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dari segala bentuk kekerasan fisik atau mental, penelantaran, perlakuan buruk, dan pelecehan seksual selama dalam pengasuhan orang tua atau walinya, atau pihak lain maupun yang bertanggung jawab atas pengasuhan anak tersebut".
Kemudian, kata Uli, perlindungan anak dari kekerasan/kejahatan seksual juga ditegaskan dalam Pasal 15 huruf f UU Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak yang menjelaskan "Setiap Anak
berhak untuk memperoleh perlindungan dari kejahatan seksual".
"Berdasarkan hal tersebut, Komnas HAM menyatakan terjadinya pelanggaran HAM terhadap hak-hak anak untuk mendapatkan perlindungan dari kekerasan fisik atau mental, dan terjadi pelecehan seksual, dan atau pencabulan yang diduga dilakukan oleh eks Kapolres Ngada," kata Uli saat dikonfirmasi pada Kamis (13/3/2025).
Komnas HAM, kata dia, juga mendesak penegakan hukum yang adil dan transparan dengan perlunya sanksi etika, dan pidana atas pelecehan seksual, dan atau tindakan pencabulan yang diduga dilakukan oleh eks Kapolres Ngada dengan mempertimbangkan pemberatan hukuman terhadap pelaku.
Pemberatan dimaksud yaitu pelaku sebagai aparat penegak hukum berdasarkan pertimbangan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS).
Ketiga, Komnas HAM juga meminta adanya pemulihan untuk para korban pelecehan seksual, dan atau pencabulan dengan menyediakan layanan psikologi untuk para korban, menyertakan restitusi dan atau kompensasi dalam proses penegakan hukum, serta perlindungan saksi dan korban.
"Memastikan peristiwa tersebut tidak terjadi lagi khususnya di lingkungan kepolisian dengan melakukan evaluasi secara berkala melalui uji narkoba secara rutin, dan asesmen psikologi," kata Uli.