Presiden Pegawai Outsourcing
GH News March 15, 2025 04:06 PM

TIMESINDONESIA, MALANG – Jika saya ketua organisasi Cipayung Plus atau aliansi mahasiswa, mungkin saat ini sedang sibuk konsolidasi, dan untuk pertama kalinya, mendeklarasikan, memberikan pernyataan sikap berdiri mendukung pemerintah.

Bukan untuk jadi juru bicara pencitraan Pertamina atau pembela elite, tapi karena upaya pembongkaran mafia dan korupsi adalah hal yang memang harus didukung siapapun yang waras berpikir tentang masa depan bangsa ini.

Kita bicara kepentingan rakyat, bukan sekedar ganti-ganti kepentingan politik. Kita tahu ada masa lalu yang kelam, yang membuat kita ragu. Tapi, kalau bicara teori rekonsiliasi politik, John Paul Lederach dalam The Moral Imagination bilang, memaafkan masa lalu adalah jalan menuju transformasi konflik.

Bukan berarti lupa, tapi berani melangkah maju. Karena kalau terus hidup dalam dendam dan prasangka, negara ini akan stuck, tidak pernah maju karena terus dihantui masa lalu.

Teori kontrak sosial (Jean-Jacques Rousseau dan John Locke) juga jelas: negara dibentuk untuk melayani rakyat, bukan melayani segelintir elite. Kedaulatan ada di tangan rakyat, dan penguasa hanyalah pelaksana mandat rakyat.

Itu sebabnya saya bilang Presiden itu "karyawan outsourcing lima tahunan" karena jabatan itu bukan milik pribadi, tapi kontrak kerja yang bisa diperpanjang atau diputus rakyat.

Di sini, logika demokrasi harus kembali ditegaskan. Kita tidak anti pemerintah, tapi pro pada kebenaran dan keadilan. Ketika pemerintah benar, kita dukung. Ketika pemerintah salah, kita lawan. Karena dalam kerangka checks and balances, masyarakat sipil dan mahasiswa adalah pengawas alami kekuasaan (teori civil society oleh Antonio Gramsci).

Politik sandera-menyandera yang sering terjadi, kebijakan yang baik tapi dikomunikasikan buruk lalu digoreng untuk kepentingan kelompok tertentu adalah wujud politik transaksional, yang menurut Susan Rose-Ackerman (Corruption and Government: Causes, Consequences, and Reform), menjadi akar korupsi di negara berkembang.

Ketika isu efisiensi migas mulai menggoyang, pagar laut yang terbongkar tapi hilang kabar, hingga kasus-kasus korupsi yang muncul, rakyat punya hak bertanya, ini gerakan serius atau cuma pertunjukan?

Saya selalu berharap bahwa ini semua bukan sekedar pertunjukan seni tapi bersih-bersih birokrasi dari korupsi yang selama ini mengakar, meski hari ini pagar laut hilang tanpa kabar dalangnya, effisiensi kejelasannya agak rabun-rabun dan pembokoran kasus korupsi perlahan membesar lalu mengecil.

Menurut teori governance, seperti yang diusung Rhodes dan Pierre, good governance adalah pemerintahan yang akuntabel, transparan, dan responsif. Jika negara ini mau serius memberantas korupsi, maka transparansi dan akuntabilitas adalah harga mati. Tidak boleh lagi kasus besar muncul hanya untuk kemudian menghilang.

Sebagai rakyat (pemilik negara), kita wajib mengawal ini. Kita harus terus memastikan pegawai outsourcing lima tahunan yang bernama Presiden dan kabinetnya, benar-benar bekerja untuk rakyat, bukan untuk mafia atau oligarki.

Silahkan ampuni dan kembalikan diam-diam sebagai diskresi tapi pastikan di masa depan hal demikian tidak terulang dan hanya formalitas pergantian pemain sebab pergantian pegawai outsourcing.

Sejarah juga mencatat, negara yang berhasil membasmi korupsi adalah negara yang rakyatnya aktif mengontrol kekuasaan. Lihat Singapura, meskipun otoriter, Public Service Commission dan KPK-nya (CPIB) berdiri karena ada tekanan kuat rakyat untuk reformasi birokrasi (lihat case study anti-corruption di Singapura, Quah, Jon S.T.).

Kita mungkin pernah ragu saat pegawai outsourcing teriak "Hidup Jokowi" pada saat di lain tempat menyuarakan "Adili Jokowi". Seolah sikap dan kalimat tampak kontradiksi, meskipun bisa saja di sisi lain melihat itu bukan sebagai keakraban tapi lebih kepada pembebasan.

Tampak akrab tapi hukum berjalan normatif seperti Ridwan Kamil yang pernah makan bersama namun sekarang hilang bahkan ketika ingin diberi bantuan hukum oleh Partai Golkar.

Ini bukan soal cinta atau benci, tapi soal bagaimana kekuasaan harus diawasi terus-menerus (teori social contract dan civil society) dan hukum harus berdiri tegak tanpa pandang bulu (rule of law).

Maka, posisi kita jelas, jika ada gerakan membersihkan negara dari korupsi, mari kita dukung. Tapi jika permainan elite muncul lagi, kita lawan habis-habisan. Karena sejatinya sebagai rakyat, kita bukan hanya penonton.

Kita bos di negeri ini! Kita kawal, kita awasi, dan kita pastikan negeri ini bersih dari mafia. Presiden adalah pegawai kontrak, bukan raja. Kalau kerja benar, kita dukung. Kalau salah arah, kita pecat. Ingat! Rakyat pemilik negara. Suara rakyat, suara Tuhan.

Rakyat bos. Presiden pegawai. Kalau kerja baik, lanjut. Kalau tidak, pecat!. Terakhir tetap semangat Bapak Presiden Prabowo.

***

*) Oleh : Ahmad Fauzi, Youtuber Roominesia.

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.