Oleh: Dominggus Oktavianus Tobu Kiik, Aktivis Sosial Politik, Eks Wakil Ketua TKN Prabowo-Gibran
TRIBUNNERS - Sejarah memang berulang. Namun, bukan dua kali seperti dikatakan Hegel, filsuf termashyur itu. Bukan juga seperti di kemudian hari ditambahkan Karl Marx dengan frasa, “…pertama sebagai tragedi, kedua sebagai komedi”.
Ternyata puncak sejarah yang memunculkan tokoh besar dapat berulang lebih dari dua kali, sependek rentang waktu yang bisa diketahui. Konon, pemimpin Singosari bernama Kertanegara, sekira tahun 1268-1292, menggalang persatuan kerajaan dan kedatoan di Nusantara, sampai ke negeri-negeri yang sekarang menjadi negara anggota ASEAN seperti Malaysia, Vietnam, dan Kamboja, untuk “menghadang” ekspansi Kubilai Khan, penguasa separuh benua Asia saat itu.
Para pahlawan Indonesia, sejak permulaan 1900-an, saat-saat Proklamasi 1945, hingga pengakuan kedaulatan tahun 1950 m (kurang lebih selama setengah abad), mengukir capaian di atas Tanah dan Samudera ini; Persatuan Nasional untuk Kemerdekaan.
Saat itu “Kemerdekaan” dianalogikan oleh Sukarno sebagai “jembatan emas” menuju cita-cita tatanan masyarakat yang adil dan makmur. Politik persatuan kembali menguat di era 1960-an, meski dengan ironi keretakan yang berujung tragedi nasional.
Karenanya, zaman Pak Harto dimulai dengan perpecahan besar Bangsa Indonesia hingga menimbulkan trauma dan duka mendalam bagi kita semua, terutama bagi generasi yang tidak ada pada zaman itu tapi turut merasakan dampak-dampaknya hingga sekarang.
Pembangunan ekonomi meskipun dapat dilihat sebagian di antaranya strategis dan sangat bermanfaat (seperti infrastruktur pertanian, jalan, pendidikan, kesehatan, danhilirisasi beberapa sektor bagaimanapun mengandung kelemahan, seperti; i) melibatkan kapital asing dalam jumlah yang terlalu dominan serta posisi yang menentukan setidaknya dalam beberapa bidang ekonomi termasuk keuangan, (Richard Robinson, 2012), dan; ii) diorganisir dalam sistem yang saking “terpimpin”nya sehingga menjadi tidak “demokratis”. Kedua kelemahan ini mewariskan banyak persoalan di kemudian hari.
Upaya-upaya untuk memulihkan kepercayaan semua anak bangsa yang pernah atau masih merasa diperlakukan tidak adil agar sedia kembali bersatu, sudah pasti menemukan kendala-kendala. Tapi upaya ini penting terus dilakukan, salah satunya dengan menggelar dialog berkelanjutan dalam kerangka membangun optimisme Indonesia Emas, bukan cemas, gelap, kusut, dan lain sejenisnya.
Melihat ke depan tidak berarti melupakan sejarah, tapi sejarah dijadikan bekal pelajaran dalam perjalanan agar selamat lahir-batin sampai ke tujuan. Sembari mengkomunikasikan persatuan nasional yang lebih padu itu, ada titik-titik kritis ketika keputusan harus dibuat dan dijalankan tanpa harus menunggu.
Titik itu bersifat praksis, yang bisa dimaknai sebagai dialektika antara teori dan praktik,sehingga kebutuhan akan cara pandang yang filosofis (se-apa-pun pemahaman kita tentang ‘filosofis’ itu) jadi tak terhindarkan. Titik tersebut adalah capaian bersejarah untuk disimpulkan (menjawab “di mana kita kini?”) lantas, berakar pada kesimpulan itu, bisa merancang sesuatu yang dicita-citakan, dengan tahapan yang dimungkinkan oleh syarat-syarat obyektif dan metode atau taktik yang dipilih.
Titik di simpul itu menjelaskan keberadaan kita dalam arus perubahan dunia yang tidak terbendung. Benar-benar tidak terbendung. Ekonomi-politik dunia yang multipolar sudah menjadi kenyataan. Ledakan penggunaan teknologi super canggih terjadi dengan dampak-dampak sosialnya yang coba dinavigasi manusia.
Meski, ada saja, di sisi lain lembaga-lembaga multilateral masihlah peninggalan Perang Dunia II yang sudah perlu dievaluasi. Organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), Dewan Keamanan PBB, Bank Dunia (WB), Lembaga Moneter Internasional (IMF), Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan lain-lain beserta ketentuan-ketentuannya sedang bersusah payah untuk tetap relevan-optimal dalam arus perubahan tersebut.
Titik tersebut serupa titik yang muncul pasca Perang Dunia II ketika negeri-negeri terjajah memperoleh momentum untuk merdeka, berdaulat, lepas dari cengkraman kekuatan-kekuatan besar yang sebelumnya bertarung.
Tentu ada perbedaan-perbedaan antara situasi pasca PD II dan sekarang. Salah satunya, dahulu AS yang dominan dengan semangat liberalismenya. Uni Soviet hanya sanggup membayangi dan hanya sampai tahun 1990. Sekarang Tiongkok dengan “Sosialisme berkarakter Tiongkok” yang melejit, sedangkan AS berada pada posisi yang cukup sulit, meski masih memegang lebih dari separuh kewenangan sistem keuangan dunia dengan dominasi dolar.
Tapi ada juga kesamaan esensi yang tampak pada pertarungan antar kekuatan-kekuatan besar dunia tadi, dan momentum bagi negara-negara Selatan untuk “menguji kembali kedaulatannya” (Radhika Desai, 2022). BRICS menjadi lebih relevan.
Tatanan global yang bergerak ke arah lebih adil menunjukkan jalan untuk tatanan sosial nasional yang juga lebih adil. Kemajuan harus dicapai, tapi tingkat eksploitasi kapitalisme harus dikurangi.
Oleh karena itu, titik tersebut juga merupakan momentum bagi rakyat, lapisan-lapisan terbawah dalam masyarakat, sebagai bagian yang sah dari Bangsa dan Negara Indonesia untuk bebas menyatakan cita-cita politiknya. Cita-cita politik yang dengan mudah diinsafi sebenarnya sejalan dengan cita-cita pendirian Negara Republik Indonesia tahun 1945.
Dengan keterlibatan rakyat maka persatuan nasional semakin menemukan arti pentingnya. Persatuan nasional memang mengandaikan adanya perasaan senasib, persamaan kehendakuntuk bersatu, dan persamaan cita-cita. Perbedaan-perbedaan strata sosial ekonomi memang bisa menimbulkan pemaknaan berbeda terhadap nasionalisme; apakah nasionalisme untuk kelompok borjuis saja, ataukah nasionalisme bagi seluruh rakyat Indonesia.
Di sini Prabowo tampil sebagai pemimpin yang memenangkan kepercayaan para elite ekonomi maupun politik, sembari berupaya sangat sungguh-sungguh mengangkat derajat dan kesejahteraan rakyat Indonesia. Watak nasionalis progresif dengan nuansa kerakyatan sangat tebal dalam kepemimpinannya.
Prabowo mengembalikan ideologi (kompetisi dan kolaborasi gagasan) ke dalam politik praktis. Bukan lagi terbatas wacana akademik. Dengan mantap ia mengatakan perekonomian Indonesia (yang disebut juga Perekonomian Pancasila) adalah perpaduan dari esensi terbaik kapitalisme dan esensi terbaik sosialisme. Bahwa kapitalisme dengan mekanisme pasar bebasharus diberi batas-batas ekonomi-politik (ekonomi terencana) dan batas-batas etik yang lebih ketat, agar kesenjangan sosial bisa dipersempit dan semua potensi bangsa dapat teroptimalisasi untuk kemakmuran bersama.
Setelah sekian dekade, wacana ideologis yang tidak apriori mensetankan segala jenis sosialisme kembali disuarakan pucuk tertinggi pemimpin negara dan pemerintahan Republik Indonesia. Suatu sikap yang bukan saja berpikiran terbuka, tapi juga berhati seluas samudera.
Koreksi ideologis atas realitas yang berjalan puluhan tahun sebelum pemerintahannya dilakukan dengan cara sedemikian rupa sehingga tidak menimbulkan reaksi penolakan yang signifikan, bahkan cenderung mendapat dukungan, dari para pemimpin nasional terdahulu. Namun, bukan tidak mungkin ada pihak-pihak yang merasa terganggu kenyamanan dalam status quo-nya, baik dari dalam maupun luar negeri, sehingga bereaksi dalam berbagai cara.
Prabowo melek sejarah. Ketika tanpa persatuan, bangsa-bangsa penghuni Nusantara ini terbukti menjadi mangsa bagi kekuatan luar yang bermaksud buruk. Anugerah kekayaan alam dan budaya Nusantara justru pernah menjadi sasaran bagi maksud buruk tadi; diperalat untuk saling serang, saling perang, memecah belah dan menguasai, devide et impera.
Prabowo berulang kali mengingatkan hal ini. Bukan hanya mengingatkan, Presiden Prabowo juga berupaya merangkul semua pihak, tanpa kecuali, ke dalam proyek persatuan nasionalnya. Kritik bahwa terjadi “akomodasi dan kompromi politik” sehingga membebani langkah menuju target yang strategis, dalam batas tertentu dapat dibenarkan, tapi keliru secara mendasar.
Dalam realitas sekarang, kita sulit membayangkan persatuan nasional tanpa adanya komunikasi sampai pada “akomodasi dan kompromi politik tertentu”. Kita bisa menyepakati atau tidak menyepakati batasan-batasannya.
Tapi sering luput dari perhatian, pada saat yang sama Prabowo telah membuat platform tempat berdirinya semua unsur yang saling berkomunikasi tersebut, yang mencakup pemikiran dan prakarsa untuk Strategi Transformasi Bangsa, Hasta Cita, dan Pasal 33 UUD 1945 sebagai panduan kebijakan ekonomi.
Pada platform itu juga dibuatkan pagar-pagar, seperti peringatan untuk berhenti korupsi dan tidak berkhianat kepada rakyat, bangsa dan negara. Tentu kita, rakyat Indonesia, menginginkan yang lebih ideal, yaitu tindakan yang setegas-tegasnya dan sekonsekuen-konsekuennya terhadap seluruh koruptor atau pelaku kecurangan-kecurangan yang merugikan rakyat. Ada keinginan ideal kita, agar seluruh jabatan publik diisi oleh orang-orang dengan integritas dan kompetensi terbaik.
Namun perlu juga membuka pertimbangan bahwa langkah gradual ini punya maksud untuk meredam potensi letupan politik yang berlebihan. Apalagi dengan kenyataan kualitas demokrasi kita yang masih di tingkat liberalisme, atau lebih khususnya: kebebasan berpendapat. Demokrasi kita belum mencapai tingkat yang lebih tinggi, yaitu kedaulatan rakyat.
Oleh karena itu, langkah konsolidasi kapital, seperti pengorganisiran aset BUMN ke dalam Danantara, kiranya dapat disertai langkah konsolidasi ekonomi rakyat ke dalam institusi yang demokratis sekaligus terpimpin. Konsolidasi ekonomi rakyat akan menciptakan hubungan saling mendukung antara strategi pemerintah (transformasi) dengan gerakan-gerakan koperasi dan unit-unit ekonomi rakyat, kelompok tani atau gabungan kelompok tani, kelompok nelayan, komunitas-komunitas sosial yang berkontribusi positif bagi bangsa/rakyat/lingkungan hidup, serikat buruh/serikat pekerja, organisasi profesi, dan lain-lain.
Dengan berakar pada konsolidasi ekonomi rakyat maka narasi persatuan nasional akan lebih kokoh. Tidak hanya monolog dari seorang pemimpin, tapi persatuan yang bergema di sawah ladang, pabrik-pabrik, kantor-kantor, kampus-kampus, panggung seni budaya, dan di jalanan.
Persatuan nasional menjadi gotong royong nasional. Setiap orang, setiap kelompok, setiap unsur akan merasa berkepentingan atas proyek persatuan nasional ini. Setiap kita menjadi percaya bahwa persatuan nasional bukan hanya untuk kepentingan pribadi atau kelompok tertentu, tapi “semua untuk semua”.