Masyarakat Sipil Tolak Revisi UU TNI yang Kembalikan Dwifungsi Militer
GH News March 16, 2025 05:05 PM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Sejumlah tokoh dan organisasi masyarakat sipil menolak revisi Undang-Undang Tentara Nasional Indonesia (UU TNI) yang dinilai akan mengembalikan praktik dwifungsi militer.

Penolakan ini disampaikan menyusul pemerintah telah menyerahkan Daftar Inventarisasi Masalah (DIM) Revisi UU TNI kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) pada 11 Maret 2025. DIM tersebut memuat pasal-pasal bermasalah yang berpotensi mengembalikan militerisme di Indonesia.

Dalam pernyataan bersama, tokoh dan organisasi masyarakat sipil menilai revisi UU TNI tidak mendukung transformasi TNI ke arah yang lebih profesional.

“Agenda ini justru melemahkan profesionalisme militer. TNI seharusnya fokus pada fungsi pertahanan, bukan menduduki jabatan sipil,” tegas Nursyahbani Katjasungkana, salah satu tokoh yang menandatangani petisi.

Mereka menegaskan bahwa TNI sebagai alat pertahanan negara seharusnya dipersiapkan untuk menghadapi ancaman militer, bukan terlibat dalam urusan sipil.

“Revisi UU TNI justru membuka peluang TNI aktif menduduki jabatan sipil, seperti di Kejaksaan Agung dan Kementerian Kelautan dan Perikanan. Ini bertentangan dengan prinsip profesionalisme militer,” ujar Usman Hamid, Direktur Amnesty International Indonesia.

Reformasi Peradilan Militer Lebih Mendesak

Tokoh dan organisasi masyarakat sipil menilai pemerintah dan DPR seharusnya memprioritaskan reformasi peradilan militer melalui revisi UU No. 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

“Reformasi peradilan militer adalah kewajiban konstitusional untuk menjamin persamaan di hadapan hukum. Ini lebih mendesak daripada revisi UU TNI,” kata Rafendi Djamin, salah satu penandatangan petisi.

Mereka juga mengingatkan bahwa reformasi peradilan militer merupakan mandat dari Ketetapan MPR No. VII Tahun 2000 dan UU No. 34 Tahun 2004 tentang TNI.

“Tanpa reformasi peradilan militer, prinsip equality before the law tidak akan terwujud,” tambahnya.

Kritik terhadap Perluasan Tugas TNI

Petisi ini juga mengkritik perluasan tugas TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP), seperti penanganan narkotika.

“Pelibatan TNI dalam penanganan narkotika berisiko mengadopsi ‘war model’ seperti di Filipina pada era Rodrigo Duterte. Ini berbahaya bagi negara hukum dan berpotensi memicu pelanggaran HAM,” jelas Al A'raf, peneliti dari Imparsial.

Selain itu, mereka menolak klausul dalam RUU TNI yang menghilangkan persetujuan DPR untuk pelibatan TNI dalam OMSP.

“Perubahan ini mengabaikan peran parlemen sebagai wakil rakyat dan berpotensi menimbulkan konflik kewenangan antarlembaga,” tegas Pdt. Ronald Richard Tapilatu.

Desakan untuk Modernisasi dan Kesejahteraan Prajurit

Alih-alih merevisi UU TNI, tokoh dan organisasi masyarakat sipil mendesak pemerintah dan DPR untuk fokus pada modernisasi alat utama sistem pertahanan (alutsista) dan meningkatkan kesejahteraan prajurit TNI.

“Ini langkah konkret untuk mewujudkan TNI yang profesional sebagai alat pertahanan negara,” kata KH Rakhmad Zailani Kiki.

Petisi ini ditandatangani oleh sejumlah tokoh, antara lain Nursyahbani Katjasungkana, Usman Hamid, Pdt. Ronald Richard Tapilatu, Rafendi Djamin, Al A'raf, Pdt. Penrad Siagian, dan KH Rakhmad Zailani Kiki. Selain itu, 20 organisasi masyarakat sipil juga turut mendukung, termasuk Imparsial, YLBHI, KontraS, Amnesty International Indonesia, WALHI, SETARA Institute, dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta.

Tokoh dan organisasi masyarakat sipil menegaskan penolakan mereka terhadap RUU TNI dan DIM yang diajukan pemerintah. Mereka menilai revisi UU TNI berpotensi mengembalikan dwifungsi militer dan militerisme di Indonesia.

Sebaliknya, mereka mendorong pemerintah dan DPR untuk memprioritaskan reformasi peradilan militer, modernisasi alutsista, dan peningkatan kesejahteraan prajurit TNI. (*)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.