TIMESINDONESIA, JEMBER – Tri Dharma Perguruan Tinggi, yaitu pengajaran, penelitian dan pengabdian terhadap masyarakat, merupakan fondasi utama dalam dunia akademik di indonesia terutama di Perguruan Tinggi.
Konsep ini menegaskan bahwa perguruan tinggi tidak hanya berfungsi sebagai institusi yang mencetak lulusan, tetapi juga memiliki tanggung jawab besar dalam pengembangan daya pikir atau pengetahuan serta berkontribusi penuh bagi kesejahteraan masyarakat.
Namun, di era digital yang semakin pesat ini, implementasi Tri Dharma Perguruan Tinggi menghadapi tantangan yang kompleks. Perguruan tinggi dihadapkan dengan berbagai dilema, seperti tuntutan industri yang semakin pragmatis, disrupsi teknologi yang mengubah lanskap pendidikan, serta kesenjangan antara riset akademik dan kebutuhan nyata di lapangan.
Hal itu mengakibatkan, banyak institusi berada di posisi perimpangan. Harus memilih antara mempertahankan idealisme akademik atau beradaptasi dengan perubahan zaman yang dinamis.
Di satu sisi, pendidikan tinggi dituntut untuk tetap menjunjung tinggi nilai-nilai akademik dan intelektual. Di sisi lain, ada tekanan untuk menghasilkan lulusan yang siap kerja dan riset yang aplikatif sesuai dengan kebutuhan industri.
Sementara itu, aspek pengabdian masyarakat sering kali menjadi tantangan tersendiri karena keterbatasan sumber daya dan minimnya sinergi antara perguruan tinggi, pemerintah, serta sektor swasta.
Tri Dharama Perguruan Tinggi di Indonesia berada di titik kritis, dimana kebijakan, strategi, dan paradigma baru diperlukan untuk menjaga relevansi serta efektivitasnya. Dengan memahami posisi ini, diharapkan perguruan tinggi dapat menemukan keseimbangan antara idealisme akademik dan realitas praktis. Sehingga tetap mampu menjalankan perannya sebagai pilar utama dalam pembangunan.
Pengajaran Ajang Transaksi Buku Ajar
Pengajaran merupakan salah satu pilar utama dalam tri dharma perguruan tinggi yang bertujuan untuk mencerdaskan mahasiswa melalui transfer ilmu pengetahuan. Namun, di beberapa perguruan tinggi, proses pengajaran tidak selalu berjalan sesuai dengan esensi akademiknya.
Salah satu isu yang sering yang sering mencuat adalah praktik transaksi buku ajar antara dosen dan mahasiswa, yang menimbulkan dilema etika dalam dunia pendidikan tinggi.
Di banyak kampus, mahasiswa sering kali “diwajibkan” membeli buku ajar yang ditulis atau direkomendasikan oleh dosen itu sendiri. Dalam beberapa kasus, buku tersebut dijadikan syarat utama untuk mengikuti perkuliahan atau bahkan sebagai bagian dari nilai ujian.
Praktik semacam ini menimbulkan pertanyaan: apakah pengajaran masih berorientasi pada penyebaran ilmu atau telah bergeser menjadi ajang transaksi ekonomi?
Di satu sisi, dosen memiliki hak intelektual untuk menerbitkan buku sebagai bagian dari kontribusi akademiknya. Penyusunan buku ajar juga merupakan bentuk konkret dari tri dharma, khususnya dalam bidang pendidikan dan penelitian. Ketika mahasiswa tidak memiliki pilihan selain membeli buku tersebut tanpa alternatif sumber lain, maka terjadi ketimpangan yang dapat mengarah pada eksploitasi ekonomi.
Pada akhirnya, proses pengajaran harus tetap mengedepanka asas keilmuan yang inklusif dan tidak menjadi ajang transaksi yang membebani mahasiswa. Pendidikan yang ideal adalah pendidikan yang memungkinkan semua pihak mendapatkan manfaat tanpa adanya tekanan ekonomi yang tidak seharusnya terjadi.
Peneletian Ajang Akselerasi Jabatan Fungsional
Alam dunia profesional, khususnya di sektor pemerintahan dan akademik, jabatan fungsional menjadi tolok ukur kompetensi dan jenjang karier seseorang. Salah satu cara untuk mempercepat akselerasi dalam jabatan fungsional adalah melalui penelitian.
Penelitian tidak hanya berkontribusi pada pengembangan ilmu pengetahuan dan inovasi, tetapi juga menjadi syarat utama dalam kenaikan pangkat dan peringkat fungsional.
Padahal, adanya perguruan tinggi di bangun untuk menunjang problematika masyarakat dan menciptakan soslusi konkret. Namun sayang, perguruan tinggi lalai dengan hal tersebut dan terlalu fokus pada akselerasi jabatan.
Ada mahasiswa yang membutuhkan banyak literasi melalui hasil penelitian, ada masyarakat yang terdampak represi dan membutuhkan solusi penelitian. Dan per hari ini, perguruan tinggi belum bisa menunjukan hal tersebut.
Jika diambil contoh, kasus bahlil menjadi salah satu masalah penting menyoal kredibilats kampus. Kampus menjadi salah satu penanggung jawab penelitian, baik skripsi, disertasi dan tesis.
Automatis, kampus sudah paham betul sampai mana kualitas penelitian mahasiswanya. Melalui kasus bahlil pula, dapat diketahui bahwa kampus tidak bersungguh-sungguh dalam hal penelitian.
Penelitian bukan hanya sekadar kewajiban akademik atau profesional, tetapi juga menjadi alat strategis dalam mempercepat akselerasi jabatan fungsional. Dengan perencanaan yang matang dan strategi yang tepat, penelitian dapat menjadi jalan utama untuk meraih jenjang karier yang lebih tinggi dalam waktu yang lebih singkat.
Pengabdian Ajang Apresiasi Program Kerja
Pengabdian kepada masyarakat merupakan salah satu pilar utama dalam dunia akademik dan profesional, khususnya bagi individu yang berada dalam jabatan fungsional seperti dosen, peneliti, dan tenaga kependidikan.
Kegiatan pengabdian bukan hanya sebagai bentuk implementasi keilmuan dalam kehidupan nyata, tetapi juga menjadi ajang apresiasi terhadap program kerja yang telah dirancang dan dijalankan.
Melalui pengabdian, suatu institusi atau individu dapat menunjukkan kontribusinya dalam menyelesaikan permasalahan sosial serta memberikan dampak positif bagi masyarakat.
Pengabdian bukan hanya sekadar kegiatan sosial, tetapi juga merupakan ajang apresiasi bagi program kerja yang telah dirancang dan dijalankan. Dengan strategi yang tepat, pengabdian dapat memberikan manfaat yang luas, baik bagi masyarakat maupun institusi yang terlibat.
Keberhasilan suatu program dalam pengabdian juga menjadi bukti nyata bahwa ilmu dan keahlian dapat diterapkan untuk menciptakan perubahan positif dalam kehidupan masyarakat.
***
*) Oleh : Zainul Ansori, Mahasiswa Hukum Tata Negara UIN KHAS Jember.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.