Revisi UU TNI Dibawa ke Rapat Paripurna Besok, Dave Laksono: Kalau Ada Polemik Itu Hal Lumrah
GH News March 19, 2025 04:06 PM

Wakil Ketua Komisi I DPR, Dave Laksono, mengungkapkan revisi UndangUndang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia bakal dibawa ke rapat paripurna yang dijadwalkan akan digelar pada Kamis (20/3/2025).

Namun, Dave mengungkapkan dirinya masih menunggu undangan dari Badan Musyawarah (Bamus) terkait rapat paripurna besok.

"Hasil rapat kemarin, itu sudah diputuskan di tahap I, jadi RUU TNI sudah rampung, tinggal dibawa di tahap II, yaitu akan dibacakan di paripurna, yang insya Allah dijadwalkan besok," ujarnya di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta Pusat, Rabu (19/3/2025).

"Sementara undangannya saya belum terima, tinggal tunggu keputusan Bamus," sambung Dave.

Di sisi lain, Dave turut mengomentari adanya polemik di masyarakat terkait revisi UU TNI.

Dia menegaskan pro kontra yang terjadi adalah hal yang lumrah. Namun, dia memastikan revisi UU TNI tidak akan mengembalikan dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru.

"Kalau polemik pro kontra sih itu hal yang lumrah, akan tetapi sebenarnya semuanya sudah terbantahkan, kenapa? Karena halhal yang berkaitan tentang kembalinya dwifungsi di TNI atau ABRI itu tidak akan mungkin terjadi, karena halhal yang katakan pemberangusan supremasi sipil itu tidak ada," tegasnya.

Sebelumnya, seluruh fraksi di Komisi I DPR menyetujui revisi UndangUndang (UU) Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia dan bakal naik ke sidang paripurna.

"Apakah RUU tentang perubahan atas UndangUndang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia untuk selanjutnya dibawa pada pembicaraan tingkat dua dalam rapat paripurna DPR RI untuk disetujui menjadi undangundang, apakah dapat disetujui?" kata Ketua Komisi I DPR sekaligus Ketua Panitia Kerja (Panja), Utut Adianto, dalam rapat kerja (raker) pembicaraan tingkat I RUU TNI di Gedung Parlemen, Senayan, Jakarta, Selasa (18/3/2025).

"Setuju!" kata peserta rapat yang hadir.

Setelah itu, Utut pun mengetok palu sebanyak satu kali sebagai tanda sepakatnya revisi UU TNI untuk naik ke sidang paripurna.

Di sisi lain, setujunya seluruh fraksi terkait revisi UU TNI ini bertolak belakang dengan beragam penolakan dari masyarakat.

Contohnya, dari Koalisi Masyarakat Sipil, lantaran revisi UU TNI dianggap berpotensi memunculkan dwifungsi ABRI dan menurunkan kualitasi demokrasi.

Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Kekerasan (KontraS), Dimas Bagus Arya Saputra, menuturkan keresahannya terkait revisi UU TNI tersebut dan meminta untuk penundaan.

Pasalnya, dia menganggap proses revisi masih banyak keganjilan.

"DPR harusnya melakukan telaah lebih jauh. Proses (pembuatan) cukup cepat membuat ruang publik memberikan aspirasi dan masukan jadi sangat minim," ujarnya kepada Tribunnews.com, Senin (17/3/2025).

Dimas mengatakan sudah banyak prajurit aktif TNI yang ditempatkan di luar bidang yang diperbolehkan dalam UU TNI. Sehingga, dia menganggap tidak perlu adanya revisi.

"Dwifungsi militer tidak hanya dimaknai militer melakukan politik praktis, tapi mengemban tugastugas di luar tugas pokok utamanya. Ini membuat fungsi utama terhambat," lanjutnya.

Tak sampai di situ, penolakan terhadap revisi UU TNI ini juga berujung keluarnya petisi dari Koalisi Masyarakat Sipil yang dibacakan pada Senin (17/3/2025) di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).

Petisi berjudul 'Tolak Kembalinya Dwifungsi melalui Revisi UU TNI' itu menjadi wujud penolakan terhadap revisi UU TNI yang memungkinkan militer aktif menduduki jabatanjabatan sipil.

Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI), Sulistyowati Irianto, yang turut membacakan petisi tersebut menganggap pasalpasal yang bakal direvisi bakal mengembalikan dwifungsi ABRI seperti di era Orde Baru.

"Terdapat pasalpasal yang akan mengembalikan militerisme (dwifungsi TNI) di Indonesia. Kami menilai agenda revisi UU TNI tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. Justru akan melemahkan profesionalisme militer," ujarnya.

Pada petisi tersebut, juga disebutkan UU TNI tidak harus direvisi. Koalisi Masyarakat Sipil justru mendorong pemerintah agar merevisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer.

"Dalam konteks reformasi sektor keamanan, semestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU Nomor 31 tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Agenda revisi UU ini lebih penting ketimbang RUU TNI," ujar Sulis.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.