TRIBUNNEWS.COM - Wakil Ketua MPR RI sekaligus Ketua Fraksi Partai Demokrat DPR RI Edhie Baskoro Yudhoyono (Ibas) menjelaskan pentingnya revisi Undang-Undang Perlindungan Konsumen secara optimal, memadai, dan relevan untuk menjawab tantangan global dan perkembangan teknologi yang semakin pesat, sehingga ekonomi bangsa bisa terus tumbuh dengan konsumen yang terlindungi.
Hal tersebut disampaikan Ibas dalam Seminar Nasional Fraksi Partai Demokrat DPR RI dengan topik Revisi UU Perlindungan Konsumen “Ekonomi Tumbuh, Usaha Maju, Konsumen Terlindungi”, Selasa (18/3/2025) di Gedung DPR/MPR RI.
Edhie Baskoro membuka pidato dengan menegaskan peran DPR RI sebagai penjaga kepentingan rakyat. “Kami di sini tidak hanya bertugas mengawasi kegiatan pemerintahan, tetapi juga bersama pemerintah membuat undang-undang, termasuk rancangan undang-undang perlindungan konsumen yang sedang kita diskusikan hari ini,” ujarnya.
Beliau menekankan bahwa tugas utama DPR RI termasuk teman teman anggota Komisi VI DPR RI adalah menjaga kepentingan rakyat, termasuk dalam hal perlindungan konsumen.
Indonesia, sebagai negara dengan populasi terbesar di Asia Tenggara, memiliki potensi pasar yang sangat besar.
“Kita tahu Indonesia ini negara yang sangat besar, jumlah penduduknya 280 juta, tersebar dari Sabang hingga Merauke. Potensi ekonomi kita juga sangat besar, dan kita masih punya ruang untuk terus tumbuh,” kata Ibas.
Namun, pertumbuhan ekonomi ini harus diimbangi dengan perlindungan konsumen yang optimal, terutama di tengah tantangan global dan perkembangan teknologi yang pesat.
Ibas menjelaskan bahwa perkembangan teknologi, seperti artificial intelligence (AI), e-commerce, fintech, dan digital asset, telah mengubah landscape perdagangan.
“Teknologi memudahkan kita dalam berinteraksi dan bertransaksi, tetapi di sisi lain, ia juga membawa risiko jika disalahgunakan,” ujarnya.
Oleh karena itu, perlindungan konsumen menjadi semakin penting di era digital ini. Lebih lanjut, Ibas juga menyoroti tingginya jumlah pengaduan konsumen dari waktu ke waktu.
“Setiap tahun, ada sekitar 1.000 hingga 3.000 aduan, dengan kerugian mencapai ratusan miliar hingga triliun rupiah,” ungkapnya.
Sektor-sektor yang paling sering dikeluhkan antara lain jasa keuangan, fintech, e-commerce, barang elektronik, obat-obatan, dan makanan minuman.
“Masih ada kasus-kasus seperti skincare ilegal, pinjol ilegal, dan penjualan makanan minuman, obat obatan yang tidak berkualitas,” tambahnya.
Untuk menghadapi tantangan ini, Ibas mengajak semua pihak untuk bersinergi menyusun aturan baru dengan mengedepankan asas keadilan.
“Kita perlu melakukan terobosan agar kebijakan ekonomi dan perdagangan tetap berkeadilan, sambil memberikan perlindungan yang optimal bagi konsumen,” tegasnya.
Ia juga menekankan bahwa UU Perlindungan Konsumen yang berlaku saat ini sudah tidak relevan. “UU ini dibuat hampir 2 dekade lalu, sejak tahun 1999. Saat itu, perkembangan teknologi dan digitalisasi belum terbayangkan. Karena itu, revisi UU ini menjadi sangat krusial,” ujarnya.
Edhie Baskoro menyarankan beberapa langkah konkret untuk memperkuat perlindungan konsumen, seperti penyesuaian regulasi, pengawasan yang lebih ketat, dan pemberian sanksi yang tegas.
“Kita juga perlu memperkuat hak-hak konsumen dan kewajiban pelaku usaha, termasuk transparansi informasi produk, jaminan mutu, dan kompensasi jika ada ketidaksesuaian,” jelasnya.
Selain itu, edukasi kepada masyarakat tentang transaksi digital dan perlindungan data konsumen juga harus ditingkatkan.
Di akhir pidatonya, Ibas berharap seminar ini dapat memberikan solusi konkret bagi para pemangku kebijakan, pemerintah, swasta, dan stakeholders lainnya.
“Mari kita satukan langkah kita, pikirkan yang terbaik, dan berikan inspirasi untuk menghadapi tantangan global dengan perlindungan konsumen yang memadai,” pungkasnya.
Senada dengan Ibas, Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan RI, Moga Simatupang hadir menyampaikan beberapa permasalahan dan kendala yang terjadi, di antaranya: “Isu perlindungan konsumen semakin kompleks, UUPK sudah 25 tahun berlaku tapi masih belum memberikan pemahaman yang jelas, dan sudah tidak sesuai perkembangan zaman,” sehingga perlu dilakukan penyusunan kembali yang saat ini sudah mulai dirancang.
Putri Indonesia Pendidikan dan Kebudayaan 2024, Melati Tedja juga menyampaikan gagasannya.
“Saat ini kita berada di zaman serba klik, semua tinggal klik, beli barang tinggal klik, semua transaksi digital, sehingga saya mewakili anak muda, mendukung Revisi UU Perlindungan Konsumen untuk dipercepat dengan tepat. Mungkin membutuhkan waktu lebih lama, karena Pemerintah ingin memberikan yang terbaik untuk rakyat. UU saat ini itu sudah seusia saya, 25 tahun, oleh karena itu, kita membutuhkan payung hukum yang lebih ‘updating’, bagaimana jika terjadi penipuan dalam transaksi digital. Dan ini tidak hanya menjadi tugas pemerintah, tapi kita semua kolaborasi sehingga hak-hak konsumen terjamin,” ungkapnya
Dalam acara ini hadir beberapa narasumber, di antaranya Dirjen Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga, Kementerian Perdagangan RI, Moga Simatupang; Assistant Professor, Fakultas Hukum Universitas Indonesia Henny Marlyna; Komisioner Badan Perlindungan Konsumen (BPKN) Akmal Budi Yulianto; Putri Indonesia Pendidikan dan Kebudayaan 2024 Melati Tedja; CEO Center of Indonesian Policy Studies (CIPS) Anton Rizki Sulaiman.