Menelusuri Jejak Ottoman di Indonesia, Ternyata Ada Kaitannya dengan Perang Melawan Portugis dan Belanda
Moh. Habib Asyhad March 20, 2025 04:34 AM

Ada jejak Ottoman di Indonesia. Itu bisa kita lacak di Kesultanan Aceh, terutama ketika kerajaan ini berperang melawan Portugis dan Belanda di kemudian hari.

---

Intisari hadir di Whatsapp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Jejak Ottoman ternyata sampai juga di Indonesia. Tidak dalam bentuk bangunan, tapi kita bisa melacaknya lewat catatan sejarah.

Berbicara tentang jejak Ottoman di Indonesia berarti kita bicara tentang Kesultanan Aceh, terutama ketika berperang melawan armada Portugis. Meskipun tidak ikut campur tangan secara langsung, pengaruh Ottoman rupanya cukup signifikan.

Jejak Ottoman di Indonesia ternyata erat kaitannya dengan persaingan kekaisaran tersebut dengan Portugis yang banyak mendirikan pos-pos dagang di Asia Tenggara. Portugis, yang ingin menguasai perdagangan rempah-rempah yang menguntungkan, rupanya menjadi ancaman bagi kepentingan Utsmaniyah di Samudra Hindia.

Kesultanan Aceh, yang juga menghadapi agresi Portugis, melihat Utsmaniyah sebagai sekutu potensial. Kedua, Kekaisaran Ottoman merupakan pusat utama pembelajaran Islam.

Kesultanan Aceh kemudian mengandalkan bimbingan dan dukungan agama Ottoman. Kepercayaan bersama ini menjadi dasar bagi aliansi, karena kedua negara memandang diri mereka sebagai bagian dari komunitas Islam yang lebih luas.

Aliansi antara Ottoman dan Aceh diperkuat melalui misi diplomatik dan perdagangan. Utusan Ottoman melakukan perjalanan ke Aceh, membawa hadiah dan surat dukungan. Sebagai balasannya, Aceh mengirim utusan ke istana Ottoman, mencari bantuan militer dan menjalin hubungan komersial.

Riwayat singkat Kekaisaran Ottoman alias Kesultanan Utsmaniyah

Ottoman merupakan kerajaan Islam terbesar yang bukan dari tanah Arab. Kesultanan ini didirikan oleh suku-suku Turki di bawah pimpinan Osman Bey atau Osman I, yang beribukota di Konstantinopel, sekarang dikenal sebagai Istanbul.

Ottoman, pada masa jayanya pernah menguasai wilayah yang luas di Timur Tengah, Eropa Timur, dan Afrika Utara selama lebih dari 600 tahun (1299-1924 M). Ottoman berawal dari keturunan suku Kabilah di Turkmenistan pada abad ke-12, yang merupakan pengembara dari Kurdistan ke Anatolia.

Pengembara itu dipimpin oleh Raja Erthugrul dan anaknya, Usman I, yang pindah untuk menghindari serangan dari Mongol di bawah Jenghis Khan. Raja Erthuugrul dan rombongannya akhirnya menetap di Kota Athlah, sebelah timur Turki dan bergabung dengan Dinasti Saljuk.

Mereka kemudian membantu Dinasti Saljuk melawan Romawi hingga memenangkan pertempuran. Atas bantuan tersebut, Raja Erthugrul diberi hadiah sebidang tanah di barat Anatolia yang berbatasan dengan Romawi.

Dia juga diberi wewenang untuk meluaskan wilayahnya hingga mendekati Romawi. Setelah Dinasti Saljuk runtuh, Usman I mendeklarasikan berdirinya Kerajaan Usmani di Turki.

Masa kejayaan Kesultanan Utsmani dimulai saat Sultan Selim I memerintah pada abad ke-16. Dia fokus pada perluasan wilayah ke selatan Turki, juga berhasil menguasai Baghdad, Kairo, dan sisa-sisa kekuasaan Byzantium.

Hingga abad ke-17, Kesultanan Utsmani menjadi kerajaan Islam penting di Timur Tengah dan Semenanjung Balkan. Setelah Selim I wafat dan digantikan oleh Sultan Suleiman I pada 1520, Kesultanan Utsmani berhasil menguasai Lembah Sungai Nil hingga ke Gibraltar.

Ketika itu hanya Maroko daerah yang tidak berhasil dikuasai. Kerajaan Usmani dalam menjalankan roda pemerintahan sangat menghargai agama, dengan bukti Suleiman I membuat undang-undang bagi rakyat dari berbagai golongan.

Dengan itu, Suleiman I diberi gelar Al Kanuni yang memiliki makna ahli penyusun undang-undang. Selain itu, di masa kejayaannya Kesultanan Utsmani mengedepankan sikap toleransi terhadap keberagaman agama.

Di era Suleiman I juga ajaran Islam berkembang pesat. Begitu pula dengan kebudayaan, perdagangan, dan ilmu pengetahuan.

Kesultanan Utsmaniyah secara resmi berakhir pada 1922, ketika gelar Sultan Utsmaniyah ditiadakan. Adapun beberapa penyebab dari runtuhnya Kesultanan Utsmani adalah tidak berwibawanya Sultan yang memerintah terutama di masa krisis Perang Dunia I dan terjadi banyak penyimpangan terkait keuangan negara.

Selain itu gaya hidup yang mewah kalangan pembesar istana menjadi salah satu faktor runtuhnya Utsmani. Setelah Gencatan Senjata Mudros (1918), sebagian besar wilayah Utsmaniyah dibagi antara Inggris, Prancis, Yunani, dan Rusia.

Turki dinyatakan sebagai republik pada 29 Oktober 1923, ketika Mustafa Kemal Ataturk (1881-1938), seorang perwira militer, mendirikan Republik Turki yang merdeka. Kemudian, pada 3 Maret 1924, Kekhalifahan Utsmaniyah atau Ottoman, secara resmi dibubarkan oleh Mustafa Kemal Ataturk.

Jejak Ottoman di Indonesia

Kekaisaran Ottoman, walaupun tidak secaralangsung campur tangan secara militer di Indonesia, menyediakan senjata, mesiu, dan perlengkapan lainnya untuk Aceh. Perdagangan antara kedua negara juga penting.

Letak Aceh yang strategis menjadikannya pusat penting bagi perdagangan rempah-rempah, dan Kekaisaran Ottoman berupaya mengakses komoditas berharga ini. Para pedagang Utsmani membangun rute perdagangan melalui Samudra Hindia, yang menghubungkan Aceh dengan pasar-pasar di Timur Tengah dan Afrika Utara.

Aliansi Kekaisaran Ottoman dengan Kesultanan Aceh merupakan pencapaian yang luar biasa, yang menunjukkan kemampuan Ottoman untuk memproyeksikan kekuasaan mereka melintasi jarak yang sangat jauh. Aliansi tersebut juga menggarisbawahi pentingnya solidaritas Islam di dunia di mana kekaisaran-kekaisaran bersaing untuk mendominasi.

Meskipun aliansi tersebut akhirnya bubar, aliansi tersebut meninggalkan dampak yang bertahan lama pada sejarah kedua wilayah, yang menyoroti keterkaitan dunia pada abad ke-16.

Dalam "The Ottoman Empire Relations with The Nusantara (Spice Island)" yang tayang di majalah ilmiah Tabuah menyebutkan,surat kabar Turki yang diterbitkan pada saat pecahnya perang antara Aceh dan Belanda (1875) menceritakan bahwa pada 1516 Sultan Aceh Firman Syah telah menghubungi Siman Pasya, Wazir Sultan Salim I, untuk menjalin persahabatan.

Sejak itu, hubungan antara Aceh dan Turki Utsmaniyah terjalin dengan baik. "Selain Turki, Aceh juga menjalin kerja sama dalam bidang perdagangan dan militer dengan Kerajaan Islam di India, negara-negara Arab, dan beberapa kerajaan di Jawa," tulis para penulis.

"Snouck Hurgronje, penasehat Urusan Pribumi untuk pemerintah Kolonial Belanda mendengar berbagai cerita yang beredar di masyarakat bahwa orang Aceh adalah campuran keturunan Arab, Persia, dan Turki," lanjutnya.

Asumsi ini, menurut Denys Lombard, seorang orientalis Prancis, tampaknya tidak terbentuk lama pada waktu itu. Munculnya gagasan semacam itu mungkin dipicu oleh semangat untuk terus melawan penjajah dari Eropa Kristen.

Kesultanan Aceh adalah salah satu kerajaan Islam di Nusantara, mereka berperan dalam perlawanan terhadap Portugis. Sultan Ali Mughayat Syah pernah menaklukkan armada Portugis yang dipimpin oleh Jorge de Brito di laut lepas pada Mei 1521.

Putra sulungnya, Salahuddin, yang menggantikannya, juga menyerang Malaka pada tahun 1537, namun tidak berhasil. Putra bungsu Mughayat Shah bernama 'Alauddin al-Kahhar Ri'ayat Shah menggantikan saudaranya pada tahun 1539 dan memperkuat Kesultanan Aceh.

Sultan Alauddin memiliki pasukan yang terdiri dari orang Turki, Kamboja, dan Malabar. Sultan Alauddin sendiri dua kali menyerang Malaka (1547-1568). Pada tahun 1562, seorang utusan dari Aceh meminta meriam kepada Sultan Turki untuk melawan Portugis.

Juga diceritakan bahwa beberapa kerajaan Hindu-Buddha di Asia Tenggara bersedia masuk Islam jika Turki Utsmaniyah bersedia memberikan bantuan. Turki sendiri siap membantu dengan senjata dan ahli. Beberapa kapal disediakan untuk berangkat dengan utusan dari Aceh.

Meskipun menunggu beberapa saat, meriam akhirnya tiba di Aceh. Dari beberapa kapal yang dikirim, hanya dua yang langsung menuju Aceh karena yang lainnya terpaksa berbelok untuk menumpas pemberontakan yang terjadi di Yaman.

Bantuan dari Turki tiba di Aceh berupa senjata, dan 300 ahli profesional dalam bidang teknik, militer, ekonomi, dan hukum konstitusi. Di antara senjata yang dikirim adalah sebuah meriam besar yang dikenal sebagai Meriam Lada Secupak.

Begitulah bagaimana Ottoman ternyata meninggalkan jejak di Indonesia, dalam hal ini pada Kesultanan Aceh, terutama ketika berperang melawan Portugis dan Belanda.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.