UU TNI Dituding Bakal Kembalikan Dwifungsi ABRI, Supriyanto: Justru Batasi Militer Masuk Ranah Sipil
Hasanudin Aco March 22, 2025 12:32 PM

TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Di tengah banyak pihak yang mengkritik UU TNI karena khawatir dengan potensi kembalinya Dwifungsi ABRI, Mantan aktivis gerakan mahasiswa Pro Demokrasi Yogyakarta, Supriyanto, punya pandangan berbeda.

Ia menilai tidak ada upaya menghidupkan kembali peran sosial politik tentara dalam UU TNI yang baru disahkan, Kamis (20/3/2025) lalu. 

Seperti diberitakan sebelumnya, DPR RI resmi mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia atau RUU TNI menjadi undang-undang.

Rapat terselenggara di ruang Paripurna gedung DPR RI, Senayan, Jakarta Pusat.

Rapat dipimpin oleh Ketua DPR RI Puan Maharani yang didampingi Wakil Ketua DPR yang lain, seperti Sufmi Dasco Ahmad, Saan Mustopa, dan Adies Kadir.

Menteri Pertahanan Sjafrie Sjamsoeddin, Panglima TNI Jenderal Agus Subiyanto, Wamenkeu Thomas Djiwandono, hingga Menteri Sekretaris Negara Prasetyo Hadi hadir dalam rapat paripurna.

Kembali ke penjelasn Supriyanto. Pria yang akrab disapa Antok Gajah ini menyatakan, keberadaan revisi UU TNI ini bukan untuk mengembalikan peran dan fungsi TNI, seperti Dwi Fungsi ABRI pada masa Orde Baru.

Namun, menurutnya, justru untuk membatasi peranan TNI di luar operasi militer selain perang.

"Faktanya kita bisa melihat bersama tidak ada pengembalian Dwi Fungsi ABRI, seperti pada masa Orde Baru. Tidak ada peran militer TNI aktif dalam sosial politik, tidak ada pengembalian Fraksi TNI DPR DPRD yang diisi tentara aktif tanpa melalui proses pemilihan umum, juga tidak ada lembaga ekstra yudisial seperti Bakorstanas dan Bakorstanasda yang bisa menangkap menahan dan mengadili orang," katanya, Sabtu (22/3/2025).

"Tidak ada juga TNI aktif bisa menduduki jabatan publik seperti Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati dan Wali Kota serta Wakil Wali Kota."

Bagaimana dengan jumlah jabatan sipil yang bisa diisi oleh TNI bertambah?

Antok menilai hal itu tetap dalam batas kewajaran dan tidak bisa disebut mengembalikan dwifungsi ABRI.

Sebagai informasi, pada pasal 47 di UU tersebut, dijelaskan tentang Kementerian/Lembaga yang bisa diisi prajurit aktif TNI.

Dalam pasal 47, ada penambahan 4 posisi jabatan publik yang bisa diisi TNI aktif dari sebelumnya 10 kini menjadi 14.

Penambahan 4 kementerian/lembaga yang bisa diduduki TNI itu di antaranya:

- Badan Nasional Pengelola Perbatasan (BNPP)

- Badan Penanggulangan Bencana, Badan Penanggulangan Terorisme

- Badan Keamanan Laut

- Kejaksaan Republik Indonesia (Jaksa Agung Muda Bidang Tindak Pidana Militer).

"Namun perlu dicatat, selain itu, aturan juga semakin memperjelas bahwa anggota TNI yang ingin menduduki jabatan sipil di luar 14 kementerian/lembaga yang sudah disepakati harus mengundurkan diri atau pensiun dini," kata aktivis kelompok pro demokrasi dari Gang Rode Yogya dan alumni Universitas Islam Indonesia (UII).

Menurutnya, semuanya sudah jelas terang benderang tidak ada yang ditutupi. Tidak ada UU TNI yang menjadikan TNI melakukan hegemoni politik di negara ini, justru TNI menjadi lebih profesional mandiri dan tunduk pada supremasi sipil hasil dari Reformasi.

Pernyataan Antok senada dengan Ketua MPR Ahmad Muzani meminta masyarakat sipil dan mahasiswa tidak perlu khawatir dengan keberadaan Undang-Undang TNI baru.

Menurut Muzani, UU TNI baru bukan untuk menghidupkan kembali dwifungsi militer, tetapi justru membatasi prajurit TNI aktif masuk ke ranah sipil.

"Jadi UU TNI itu memperkuat posisi itu (pemisahan kementerian dan lembaga yang diduduki TNI), saya kira apa yang dikhawatirkan masyarakat sipil tidak terjadi. Karena UU TNI justru membatasi tentang kiprah masyarakat militer ketika dia memasuki dunia sipil," ujar Muzani, kemarin.

Usman Hamid: Harusnya DPR Menunda

Sebelumnya, Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia, Usman Hamid, mengungkapkan pandangan berbeda dengan apa yang dipaparkan Antok.

Ia menilai proses pembahasan Undang-Undang TNI yang baru disahkan dilakukan terlalu cepat dan terburu buru. 

Di tengah kontroversi yang ada, menurut Usman, semestinya DPR dapat menunda pengesahan RUU TNI menjadi undang undang dan bukan malah mengesahkannya.

"Kami menilai UU TNI masih mengandung pasal bermasalah yang dapat mengancam kehidupan demokrasi, negara hukum dan HAM," kata Usman saat dihubungi Tribunnews.com pada Jumat (21/3/2025).

"UU TNI masih memberikan ruang militer untuk masuk dalam wilayah non-pertahanan, berada di jabatan sipil (Dwi fungsi) dan akan melemahkan kontrol sipil," lanjut Usman.

Idealnya, menurut Usman, tidak ada satu pun kementerian dan lembaga sipil yang bisa diduduki oleh prajurit TNI aktif sebagaimana termaktub dalam TAP MPR nomor VII tahun 2000.

Secara kepentingan, menurut Usman, agenda revisi UU TNI juga tidak memiliki urgensi transformasi TNI ke arah yang profesional. 

Justru, menurutnya revisi UU TNI akan melemahkan profesionalisme militer. 

Sebagai alat pertahanan negara, lanjut Usman, TNI dilatih, dididik, dan disiapkan untuk perang, bukan untuk fungsi non-pertahanan.

"Seperti duduk di jabatan-jabatan sipil atau terlalu banyak operasi selain perang seperti program cetak sawah, ketahanan pangan dan lainnya," kata Usman.

Dalam konteks reformasi sektor keamanan, menurut dia, semestinya pemerintah dan DPR mendorong agenda reformasi peradilan militer melalui revisi UU Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. 

 

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.