TIMESINDONESIA, TANGERANG – Krisis air bersih masih menghantui jutaan jiwa di bumi. Hari Air Sedunia, yang jatuh tiap 22 Maret, sejatinya menjadi momen refleksi. Tahun ini, sorotan tertuju pada "Glacier Preservation," tetapi apakah kita benar peduli saat gletser terus mencair akibat perubahan iklim yang kita picu sendiri? Ironi ini yang idealnya menjadi pembuka diskusi.
Hari Air Sedunia diproklamasikan PBB pada 1993 setelah diusulkan dalam Konferensi Lingkungan dan Pembangunan UNCED 1992 di Rio de Janeiro. Tema 2025, "Glacier Preservation," menyoroti urgensi melindungi gletser-sumber pokok air tawar yang kian terancam. Sebagai penyangga ekosistem dan indikator perubahan iklim, mencairnya gletser memicu krisis air global.
Perubahan iklim imbas ulah manusia mempercepat pencairan gletser. Di Indonesia, gletser di Puncak Jaya, Papua, diprediksi lenyap antara 2025-2027. Hilangnya merupakan bencana ekologis dan memutus warisan budaya masyarakat adat. Di sisi lain, polusi sungai memperparah krisis air bersih, dengan 68% sungai tercemar berat, terlebih dari limbah domestik dan industri.
Mengatasi krisis air butuh aksi riil. Efisiensi air bisa dimulai dengan teknologi hemat seperti daur ulang air abu-abu. Pengelolaan limbah mesti tegas—tak ada lagi toleransi bagi pencemar sungai.
Konservasi ekosistem air pun mendesak, termasuk melindungi kawasan riparian dan menegakkan zonasi berbasis keberlanjutan sesuai UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (S. Suryadi et al., 2022).
Dengan cadangan air 6% dari total dunia, Indonesia memegang peran dalam konservasi air global. Meski begitu, pengelolaan sungai dan waduk masih jauh dari efisien. Tema "Glacier Preservation" menjadi pengingat bahwa pencairan gletser tropis di Papua bukan cuma tanda bahaya lokal, tapi tanda bahwa krisis iklim sudah di depan mata.
Kebijakan Tata Ruang Ramah Lingkungan
Di tengah derasnya urbanisasi dan ambisi ekonomi, tata ruang sering kali menjadi korban kompromi. Padahal, kebijakan tata ruang ramah lingkungan adalah kunci menjaga keseimbangan antara pembangunan dan kelestarian alam. Indonesia, dengan kekayaan ekosistemnya, justru menghadapi tantangan dalam mewujudkan tata ruang berkelanjutan.
Tata ruang merupakan rencana wilayah dan instrumen vital pembangunan berkelanjutan. UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang menegaskan urgensi keseimbangan antara alam dan buatan. Sekalipun, kenyataannya, perencanaan yang lemah memicu deforestasi, pencemaran, dan alih fungsi lahan. Jika tata ruang terus diabaikan, pembangunan hanya menjadi bom waktu bagi lingkungan.
Beberapa daerah membuktikan bahwa tata ruang ramah lingkungan bukan sekadar jargon. Banda, Maluku Tengah, sukses mengintegrasikan zonasi sosial, ekonomi, dan ekologi (H. Firdausi et al., 2024).
Bandung melalui "Urban Forest" memperbaiki kualitas udara dan melindungi biodiversitas. Kota Tua Jakarta mengekspos bahwa pelestarian budaya dapat berjalan seiring dengan pengembangan ekonomi berkelanjutan.
Meski kebijakan tata ruang dirancang dengan baik, pelaksanaannya masih menghadapi berbagai kendala. Alih fungsi lahan sering kali diberi izin tanpa mempertimbangkan dampak lingkungan jangka panjang. Partisipasi masyarakat juga minim lantaran kurang dilibatkan dalam proses perencanaan, menyebabkan rendahnya rasa memiliki.
Selain itu, koordinasi sering terhambat oleh tumpang tindih regulasi antara pusat dan daerah (Z. Febriansyah et al., 2025). Untuk mengatasi masalah ini, dibutuhkan pengawasan ekstra, transparansi dalam perencanaan, dan edukasi publik mengenai pokoknya tata ruang berkelanjutan.
Di Petungkriyono, Pekalongan, Spatial Multi-Criteria Analysis (SMCA) digunakan untuk menjaga hutan sambil mendorong ekonomi melalui agroforestri kopi. Di Bangka, lahan bekas tambang disulap menjadi taman botani berkat kolaborasi publik-swasta. Bukti ini menampakkan bahwa dengan inovasi dan kemauan politik, tata ruang bisa menjadi alat ampuh menuju pembangunan berkelanjutan.
Penyalahgunaan Wewenang Pejabat Publik
Penyalahgunaan wewenang oleh pejabat publik adalah ancaman bagi keuangan negara, lingkungan, dan kualitas layanan. Walau hukum administrasi menekankan transparansi dan akuntabilitas, kenyataannya pelanggaran masih marak.
Transparansi dan akuntabilitas adalah prinsip utama good governance. Transparansi membuka akses publik pada kebijakan, sedangkan akuntabilitas menuntut pejabat bertanggung jawab atas tindakannya.
UU No. 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU No. 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (S. Jabar et al., 2024) menjadi pijakan hukum bagi prinsip ini.
Tanpa penerapan tegas, celah korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) semakin lebar. Banyak penyalahgunaan wewenang terjadi lantaran pejabat melampaui batas atau bertindak sewenang-wenang, sebagaimana diatur dalam Pasal 17 UU No. 30 Tahun 2014.
Pejabat yang melanggar aturan menghadapi sanksi administratif hingga pidana. Berdasarkan PP No. 48 Tahun 2016, sanksi administratif terbagi menjadi tiga: teguran lisan atau tertulis (ringan), pembayaran uang paksa atau pemberhentian sementara (sedang), dan pemberhentian tetap dengan atau tanpa hak keuangan (berat).
Jika penyalahgunaan wewenang merugikan negara, sanksi pidana berdasarkan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dapat dijatuhkan, dengan ancaman penjara hingga 20 tahun dan denda maksimal Rp1 miliar.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) berperan sebagai benteng awal mencegah pelanggaran administratif berujung pidana. APIP mengaudit, mengevaluasi, dan memantau jalannya pemerintahan agar sesuai aturan.
Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung No. 4 Tahun 2015, pejabat yang terbukti bersalah wajib mengganti kerugian negara sebelum kasus berlanjut.
Kelalaian pejabat berdampak luas, dari kerugian ekonomi hingga kerusakan lingkungan. Izin lingkungan tanpa Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) kerap memicu pencemaran dan banjir bandang (H. Juliani, 2019). Di sektor kehutanan, penyalahgunaan wewenang menyebabkan kerugian negara hingga triliunan rupiah akibat alih fungsi lahan ilegal.
Tindakan tegas pada pejabat yang lalai, vital untuk menjaga integritas pemerintahan dan mencegah kerugian negara. Konsistensi dalam menerapkan transparansi, akuntabilitas, dan memperkuat peran APIP bisa mendorong tata kelola yang bersih dan efektif. Sanksinya bukan saja hukuman, tetapi juga peringatan bahwa kekuasaan sejatinya dijalankan dengan tanggung jawab demi kepentingan publik.
***
*) Oleh : Heru Wahyudi, Dosen di Prodi Administrasi Negara Universitas Pamulang.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.