Siapa sosok di balik Kidung Rumekso Ing Wengi? Mengapa Sunan Kalijaga disebut sebagai Wali Songo yang dekat dengan budaya dan tradisi lokal?
---
Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini
---
Intisari-Online.com -Ada beberapa tembang yang disebut sebagai peninggalan Sunan Kalijaga, wali songo yang dikenal toleran terhadap tradisi lokal. Salah satunya adalah tembang berjudul Kidung Rumekso Ing Wengi yang berisi tentang permohonan perlindungan kepada Allah SWT terhadap kejahatan di malam hari.
Kidung Rumekso Ing Wengi tentu bukan satu-satunya tembang gubahan Sunan Kalijaga. Wali Songo kelahiran Tuban ini juga menghadirkan karya-karya lainnya.
Sunan Kalijaga adalah Wali Songo yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa, khusus Jawa Timur dan Jawa Tengah. Dia menjadikankesenian dan kebudayaan sebagai sarana untuk berdakwah.
Karena itulah selama hidupnya, Sunan Kalijaga telah menciptakan beberapa lagu dan tembang yang menemaninya berdakwah penduduk dari satu tempat ke tempat lain di Pulau Jawa. Sunan Kalijaga juga merupakan salah satu dari sembilan wali atau walisongo.
Sunan Kalijaga lahir di Tuban pada tahun 1450 dan wafat di Kadilangu, Demak pada tahun 1513. Kami berikan daftar beberapa tembang gubanan Sunan Kalijaga.
1. Ilir Ilir
Lagu “Ilir Ilir” diciptakan Sunan Kalijaga di tengah kondisi politik Pulau Jawa tidak stabil, lagu ini tercipta ketika Kerajaan Majapahit runtuh di abad ke-16. Lagunya sangat sarat nilai religi yang memudahkan masyarakat saat itu dalam memahaminya.
Lagu “Ilir Ilir” sampai kini masih sering dinyanyikan, pernah juga dinyanyikan ulang dalam aransemen baru oleh kelompok kesenian pimpinan Emha Ainun Nadjib alias Cak Nun, yakni Kiai Kanjeng.
2. Gundul-gundul Pacul
Lagu “Gundul-gundul Pacul” terdengar jenaka dan sering dinyanyikan oleh anak-anak. Namun, Sunan Kalijaga menciptakan lagu ini sebenarnya untuk memberikan nasihat serta sindiran kepada penguasa kala itu.
Makna di balik lagu ini adalah orang yang dipercaya mengemban jabatan harus bisa menggunakan inderanya dengan baik agar tak sombong dan semena-mena atas kekuasaan yang dimiliki.
3. Sluku-sluku Bathok
Lagu “Sluku-sluku Bathok” adalah lagu dolanan yang mengandung unsur religi. Lagu ini dibuat Sunan Kalijaga agar dirinya mudah diterima dalam berdakwah.
4. Rumekso Ing Wengi
Kidung ini berisi tentang memohon perlindungan kepada tuhan agar dijauhkan dari godaan dan bahaya.
5. Lingsir Wengi
Lagu “Lingsir Wengi” adalah tembang yang dibuat Sunan Kalijaga ketika dirinya mendapat banyak keluhan dari masyarakat Jawa saat itu yang banyak diganggu makhluk halus. Lagu “Lingsir Wengi” dibuat Sunan Kalijaga dengan makna memohon perlindungan kepada tuhan.
Sosok Sunan Kalijaga, wali songo yang dekat dengan budaya lokal
Sunan Kalijaga dikenal sebagai wali songo yang dekat dengan budaya dan tradisi lokal. Itu terlihat dari metode dakwahnya yang banyak menggunakan elemen-elemen kesenian.
Metode dakwah yang sangat toleran terhadap budaya lokal dengan melalui kesenian seperti wayang, nyanyian, dan gamelan, tidak lepas dari pengaruh guru Sunan Kalijaga, yakni Sunan Bonang. Selama menjalankan dakwah Islam, karya kesenian yang diciptakan oleh Sunan Kalijaga antara lain Serat Dewo Ruci, Suluk Ling-Lung, Kidung Rumekso Ing Wengi, serta beberapa tembang.
Kisah hidup Sunan Kalijaga terangkum dalam beberapa versi. Umumnya, para penyusun biografi Sunan Kalijaga berpatokan pada Babad Tanah Jawi dan kisah-kisah mengenai sang sunan di masyarakat yang mungkin telah terdistorsi.
Menurut beberapa ahli,Sunan Kalijaga dilahirkan di Tuban, Jawa Timur, pada tahun 1450. Nama asli Sunan Kalijaga adalah Raden Said, yang merupakan putra dari Adipati Tuban, Tumenggung Wilatikta, dan Dewi Nawangrum.
Dalam Babad Tuban, disebutkan bahwa Tumenggung Wilatikta adalah anak dari Arya Teja, yang nama aslinya Abdurrahman, seorang ulama keturunan Arab yang mengislamkan Bupati Tuban, Arya Dikara. Abdurrahman bahkan menjadi menantu Arya Dikara dan menggatikan mertuanya menjadi Bupati Tuban.
Sejak itu, dia dikenal sebagai Arya Teja, yang menamai putranya Arya Wilatikta. Dari pernikahan sebelumnya, Arya Teja memiliki putri bernama Nyai Ageng Manila, yang kemudian dipersunting oleh Sunan Ampel, yang menetap di Surabaya.
Menurut sejumlah versi, Sunan Kalijaga punya tiga istri. Mereka adalahSiti Zaenab, Dewi Sarah, dan Siti Hafsah.
Dari Siti Zaenab, Sunan Kalijaga memiliki keturunan yang dinamai Watiswara (Sunan Panggung), Watiswari, dan Ratu Champaka. Dari pernikahannya dengan Dewi Sarah, keturunan Sunan Kalijaga adalah Raden Umar Said (Sunan Muria), Dewi Rukayah, dan Dewi Sofiah.
Sunan Kalijaga juga dikenal sebagai Syaikh Malaya, Pangeran Tuban, Ki Dalang Sida Brangti, Berandal Lokajaya, dan Raden Abdurrahman. Terkait asal-usul nama Kalijaga sendiri terdapat beberapa versi cerita.
Ada yang menafsirkan kata "kalijaga" berasal dari bahasa Arab "qadizakka". Kata "qadi" berarti pelaksana, penjaga, atau pemimpin, dan "zakka" berarti membersihkan, sehingga Kalijaga dapat diartikan seorang pemimpin yang suci atau menegakkan kebenaran dalam agama Islam.
Ada pula yang menafsirkan nama Kalijaga berasal dari bahasa Jawa, yakni kali (sungai) dan jaga (menjaga). Penafsiran ini berasal dari kisah dalam Babad Tanah Jawi, yang menyebut Sunan Kalijaga pernah bertapa di tepi sungai, seakan-akan sedang menjaga sungai.
Di samping itu, terdapat argumen bahwa Kalijaga adalah nama sebuah wilayah atau desa. Pendapat ini diperkuat fakta bahwa nama Sunan Giri, Sunan Bonang, Sunan Ngudung, Syekh Lemah Abang, yang semuanya diambil berdasarkan tempat tinggal mereka.
Ada dua versi cerita pula terkait masa muda Sunan Kalijaga dan julukan Berandal Lokajaya. Versi pertama mengatakan bahwa rasa solidaritas dan simpati Raden Said terhadap rakyat Tuban mendorongnya untuk mencuri bahan makanan dari gudang kadipaten untuk dibagikan secara diam-diam kepada masyarakat.
Aksi ini akhirnya diketahui, yang menyebabkan Raden Said dihukum dengan cara diusir dari Tuban. Setelah diusir, Raden Said mengembara tanpa tujuan pasti, tetapi masih membantu rakyat kecil dengan cara merampok orang-orang kaya.
Versi kedua menyebutkan bahwa sejak kecil, Raden Said dikenal sebagai anak nakal, bahkan pernah merampok dan membunuh. Meski terdapat perbedaan versi cerita, dari situlah lahir julukan Berandal Lokajaya, yang artinya berandal penguasa daerah.
Sejak kecil, Sunan Kalijaga telah mendapatkan pendidikan agama, serta mempelajari kesenian dan kebudayaan Jawa. Konon, ia berhenti menjadi seorang perampok yang hasilnya bukan untuk dinikmati sendiri, tetapi untuk rakyat kecil, setelah bertemu sang guru.
Guru Sunan Kalijaga adalah Sunan Bonang, yang mengajarinya ilmu-ilmu agama Islam dan spiritual. Selain itu, ia pernah belajar agama Islam dari Syekh Siti Jenar, Syekh Sutabaris, Sunan Ampel, Sunan Giri, Sunan Gunung Jati, dan pernah berguru ke Pasai serta berdakwah hingga Patani di Thailand.
Sunan Kalijaga memulai dakwahnya di Cirebon, Jawa Barat, tepatnya di Desa Kalijaga. Dari sana, ia melanjutkan menyebarkan ajaran Islam di daerah Pamanukan dan Indramayu. Sunan Kalijaga terkenal dengan metode dakwahnya yang menggunakan pendekatan seni dan budaya.
Salah satu cara yang paling populer adalah melalui pertunjukan wayang, yang sangat disukai oleh masyarakat pada saat itu. Keberhasilan strategi dakwah ini disebabkan oleh pertunjukan yang tidak memungut biaya, sehingga siapa saja bisa menikmatinya.
Selain wayang, Sunan Kalijaga juga memanfaatkan bentuk seni lainnya seperti ukiran, gamelan, nyanyian, dan pakaian, sebagai media dakwah. Dalam seni ukir, ia menggantikan motif ukir manusia dan hewan dengan ukiran dedaunan.
Sunan Kalijaga menciptakan gong sekaten yang dinamakan Syahadatain, serta menciptakan berbagai lagu seperti Lir-Ilir, Gundul-Gundul Pacul, Kidung Rumeksa ing Wengi, Lingsir Wengi, dan Suluk Linglung.
Dalam seni berpakaian, Sunan Kalijaga diyakini sebagai pencipta baju takwa yang menjadi bagian dari budaya Jawa, yang ditandai dengan penggunaan blangkon dan surjan. Penampilan yang sederhana dan dekat dengan rakyat membuatnya lebih mudah diterima dibandingkan para wali lainnya yang berdakwah dengan memakai jubah.
Sunan Kalijaga juga menyisipkan beberapa falsafah Islam ke dalam nilai-nilai budaya setempat, salah satunya adalah filosofi "Urip Iku Urup," yang berarti hidup harus memberi manfaat bagi orang di sekitar. Pendekatan dakwahnya yang menghargai adat istiadat setempat membuat ajaran Islam mudah diterima oleh masyarakat yang masih menganut kepercayaan lama.
Dari Jawa Barat, Sunan Kalijaga mengembara ke Demak, Jawa Tengah, untuk membantu Raden Patah yang diutus oleh Sunan Ampel dari Jawa Timur. Bersama beberapa Wali Songo, Sunan Kalijaga memiliki peran penting di Kerajaan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa, yang didirikan oleh Raden Patah. Sunan Kalijaga juga berperan dalam pendirian Masjid Demak.
Salah satu tiang besar di dalam masjid yang disebut tiang tatal, diyakini sebagai salah satu karomah Sunan Kalijaga yang dapat menjadikan serpihan-serpihan kayu tatal menjadi tiang yang kokoh. Sunan Kalijaga juga berjasa dalam menentukan arah kiblat masjid.
Untuk menghargai jasa Sunan Kalijaga di Kerajaan Demak, Raden Patah memberinya wilayah Kadilangu di Demak. Sunan Kalijaga menetap di Kadilangu hingga akhir hayatnya dan dimakamkan di sana. Tidak diketahui pasti kapan Sunan Kalijaga meninggal.
Sebagian berpendapat bahwa Sunan Kalijaga hidup sejak era akhir Kerajaan Majapahit, sepanjang kekuasaan Kesultanan Demak, hingga awal berdirinya Kerajaan Pajang dan Kerajaan Mataram Islam.
Lirik Kidung Rumekso Ing Wengi
Ana kidung rumekso ing wengi / Teguh hayu luputa ing lara / luputa bilahi kabeh / jim setan datan purun / paneluhan tan ana wani / niwah panggawe ala / gunaning wong luput / geni atemahan tirta / maling adoh tan ana ngarah ing mami / guna duduk pan sirno
Artinya:
Ada sebuah kidung doa permohonan di tengah malam. Yang menjadikan kuat selamat terbebas dari semua penyakit. Terbebas dari segala petaka. Jin dan setan pun tidak mau mendekat. Segala jenis sihir tidak berani. Apalagi perbuatan jahat, guna-guna tersingkir. Api menjadi air. Pencuri pun menjauh dariku. Segala bahaya akan lenyap.
Sakehing lara pan samya bali / Sakeh ngama pan sami mirunda / Welas asih pandulune / Sakehing braja luput / Kadi kapuk tibaning wesi / Sakehing wisa tawa / Sato galak tutut / Kayu aeng lemah sangar / Songing landhak guwaning / Wong lemah miring / Myang pakiponing merak
Artinya:
Semua penyakit pulang ke tempat asalnya. Semua hama menyingkir dengan pandangan kasih. Semua senjata tidak mengena. Bagaikan kapuk jatuh di besi. Segenap racun menjadi tawar. Binatang buas menjadi jinak. Pohon ajaib, tanah angker, lubang landak, gua orang, tanah miring dan sarang merak.
Pagupakaning warak sakalir / Nadyan arca myang segara asat / Temahan rahayu kabeh / Apan sarira ayu / Ingideran kang widadari / Rineksa malaekat / Lan sagung pra rasul / Pinayungan ing Hyang Suksma / Ati Adam utekku baginda Esis /Pangucapku ya Musa
Artinya:
Kandangnya semua badak. Meski batu dan laut mengering. Pada akhirnya semua selamat. Sebab badannya selamat dikelilingi oleh bidadari, yang dijaga oleh malaikat, dan semua rasul dalam lindungan Tuhan. Hatiku Adam dan otakku Nabi Sis. Ucapanku adalah Nabi Musa.
Napasku nabi Ngisa linuwih / Nabi Yakup pamiryarsaningwang / Dawud suwaraku mangke / Nabi brahim nyawaku / Nabi Sleman kasekten mami / Nabi Yusuf rupeng wang / Edris ing rambutku / Baginda Ngali kuliting wang / Abubakar getih daging Ngumar singgih / Balung baginda ngusman
Artinya:
Nafasku Nabi Isa yang teramat mulia. Nabi Yakub pendengaranku. Nabi Daud menjadi suaraku. Nabi Ibrahim sebagai nyawaku. Nabi Sulaiman menjadi kesaktianku. Nabi Yusuf menjadi rupaku. Nabi Idris menjadi rupaku. Ali sebagai kulitku. Abu Bakar darahku dan Umar dagingku. Sedangkan Usman sebagai tulangku.
Sumsumingsun Patimah linuwih / Siti aminah bayuning angga / Ayup ing ususku mangke / Nabi Nuh ing jejantung / Nabi Yunus ing otot mami / Netraku ya Muhammad / Pamuluku Rasul / Pinayungan Adam Kawa / Sampun pepak sakathahe para nabi / Dadya sarira tunggal
Artinya:
Sumsumku adalah Fatimah yang amat mulia. Siti Aminah sebagai kekuatan badanku. Nanti Nabi Ayub ada di dalam ususku. Nabi Nuh di dalam jantungku. Nabi Yunus di dalam otakku. Mataku ialah Nabi Muhammad. Air mukaku rasul dalam lindungan Adam dan Hawa. Maka lengkaplah semua rasul, yang menjadi satu badan.
Itulah lirik Kidung Rumekso Ing Wengi, tembang peninggalan Sunan Kalijaga, wali songo yang dikenal begitu dekat dengan tradisi dan budaya lokal.