Ternyata Begini Sejarah Perintah Zakat Fitrah dan Sejarah Pengelolaan Zakat Fitrah di Indonesia
Moh. Habib Asyhad March 27, 2025 06:34 AM

Bagaimana sejarah perintah zakat firah pada zaman Nabi Muhammad? Lalu bagaimana sejarah pengelolan zakat fitrah di Indonesia?

---

Intisari hadir di WhatsApp Channel, follow dan dapatkan berita terbaru kami di sini

---

Intisari-Online.com -Zakat, termasuk di dalamnya adalah zakat fitrah, adalah satu dari Rukun Islam yang lima. Karena itulah aktivitas ini masuk kategori wajib.

Lalu bagaimana sejarah perintah zakat fitrah?

Mengutip Kompas.com, kewajiban zakat fitrah diturunkan Allah SWT pada tahun kedua Hijriah atau 624 Masehi, bersamaan dengan disyariatkan puasa Ramadhan. Sebelum ada kewajiban zakat fitrah, umat Islam hanya dianjurkan untuk bersedekah, tanpa aturan yang baku.

Kewajiban untuk menunaikan zakat fitrah pada bulan Ramadhan berlaku kepada setiap umat Muslim. Hal ini sesuai sabda Nabi Muhammad, yang artinya, "Rasulullah telah mewajibkan mengeluarkan zakat fitrah (pada bulan Ramadhan kepada setiap manusia)" (HR Bukhari dan Muslim).

Zakat fitrah dimaksudkan untuk mensucikan dirisetelah menunaikan ibadah puasa di bulan Ramadhan. Tak hanya itu, zakat fitrah juga dimaknai sebagai bentuk kepedulian terhadap orang yang kurang mampu.

Dengan zakat fitrah, semua orang, termasuk masyarakat miskin yang serba kekurangan, dapat merasakan kebahagiaan dan kemenangan hari raya Idul Fitri. Sejak zaman Nabi Muhammad, zakat fitrah menjadi instrumen untuk mengurangi kesenjangan sosial dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

Zakat fitrah wajib ditunaikan oleh setiap Muslim, baligh atau belum, hidup hingga malam hari raya Idul Fitri, dan memiliki kelebihan dari kebutuhan pokoknya untuk malam dan hari raya Idul Fitri.

Ketentuan zakat fitrah tersebut sesuai hadis Rasulullah, "Rasulullah SAW mewajibkan zakat fitrah satu sha' kurma atau satu sha' gandum atas umat muslim; baik hamba sahaya maupun merdeka, laki-laki maupun perempuan, anak-anak maupun dewasa. Beliau memerintahkannya dilaksanakan sebelum orang-orang keluar untuk salat (Idul Fitri)" (HR Bukhari dan Muslim).

Untuk anak-anak, kewajiban zakat fitrah berarti ditanggung oleh orang tuanya. Menurut mayoritas ulama, satu sha' setara dengan 2,5 kilogram atau 3,5 liter beras. Zakat fitrah bisa dibayarkan menggunakan makanan atau kebutuhan pokok seperti beras, gandum, dan kurma.

Zakat fitrah boleh dibayarkan dalam bentuk uang tunai yang setara dengan satu sha' beras, gandum, atau kurma.

Nominal zakat fitrah yang ditunaikan dalam bentuk uang menyesuaikan dengan harga beras saat itu. Misalnya, berdasarkan SK Ketua BAZNAS No. 14 Tahun 2025 tentang Nilai Zakat Fitrah dan Fidyah untuk wilayah Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, ditetapkan bahwa nilai zakat fitrah setara dengan uang sebesar Rp 47.000/jiwa.

Zakat fitrah bisa dibayarkan sejak awal Ramadhan dan paling lambat dilakukan sebelum pelaksanaan salat Idul Fitri. Zakat fitrah harus dibagikan kepada kelompok penerima zakat (mustahiq), yang terdiri dari fakir, miskin, petugas zakat, mualaf, budak, dan orang yang sedang dalam jalan Allah.

Sejarah pengelolaan zakat di masa Rasulullah

Sebagaimana disebut di awal, perintah zakat fitrah diturunkan pada tahun kedua Hijriyah, bersamaan dengan perintah puasa Ramadhan.

Karena terkait dengan bangunan Islam yang lain -- yang tertera dalam Rukun Islam -- zakat harus dikelola sebaik mungkin. Pada masa Khalifah Umar bin Abdul Aziz pada masa Dinasti Umayyah, misalnya, lewat zakat yang dikelola sebaik mungkin, kemiskinan berhasil diberantas.

Seperti disebut di awal, anjuran menyisihkan sebagian harta sejatinya sudah terjadi sejak Nabi Muhammad masih berdakwah di Mekkah. Tapi saat itu belum berstatus "wajib" dan belum ada aturan-aturan baku terkait penyalurannya -- termasuk berapa besarannya, apa bentuknya, dll.

Menurut Yusuf Al-Qardhawi, sebagaimana dikutip daridompetdhuafa.org, zakat yang dianjurkan di Mekkah, yang ditermaktub dalam surat-surat Makiyah, belum ada nisab, haul, aturan-aturan lainnya. Meski begitu,untuk orang yang mengelolanya sudah diatur dan Nabi Muhammad beserta sahabat memiliki peranan penting akan hal ini.

Perintah zakat kemudian turun di tahun kedua Hijriyah. Tak lama kemudian, Nabi kemudian mengtus SahabatMuadz bin Jabal untuk menjadi qadli di Yaman. Nabi memberikan nasihat kepadanya untuk menyampaikan kepada ahli kitab mengenai ajakan berislam dan beberapa hal.

Salah satunya adalah mengenai aturan zakat dalam Islam. Orang-orang kaya diwajibkan untuk membantu yang miskin. Ajakan ini pun menuai simpati dan ketertarikan raja-raja.

Ketika ituharta benda yang perlu dikeluarkan zakatnya adalah seperti binatang ternak (kambing, sapi, unta), emas, perak, hasil panen (gandum, kismis, kurma). Walaupun sekarang kuda adalah binatang peliharaan, di zaman Rasulullah SAW kuda tidak termasuk kepada wajib zakat. Fungsi kuda pada masa tersebut adalah sebagai kendaraan dan alat perang.

Hal ini juga terjadi pada masa Kekhalifahan Umar bin Khattab. Kuda akhirnya termasuk menjadi harta yang wajib dizakati, karena saat itu berkembang tidak lagi menjadi kendaraan namun juga perternakan.

Sejarah pengelolaan zakat di Indonesia

Lalu bagaimana sejarah pengelolaan zakat di Indonesia?

Mengutip Kompas TV, Snouck Hurgronje, penasihat pribumi "paling dibenci" di Indonesia, ternyata pernah mengkritik seorang pejabat kolonial Belanda yang mengkritik soal zakat fitrah. Pejabat itu bernama Dr. G. Willinck.

Dalam bukunya berjudulDe Islam en het belastingvraagstuk in Indie (Islam dan Masalah Pajak di Hindia),Willinck menulis bahwa pribumi Islam di Hindia Belanda diberi beban bayar pajak terlalu berat. Sebab selain harus membayar pajak, juga ada kewajiban bayar zakat karena perintah agama.

Terlebih pajak dalam bentuk zakat itu masuk ke kas masjid. Ada anggapan pajak yang masuk ke masjid akan digunakan untuk melawan pemerintah kolonial.

Snouck yang ahli dalam masalah pribumi dan pintar bahasa Arab itu memberi tanggapan dengan nada mengejek tulisan pejabat tersebut.

"Karangan itu penuh dengan ketidakbenaran yang nyata, seluruhnya tidak memperhitungkan kombinasi fakta yang mencurigakan dan agak membahayakan, dan kesimpulan yang ditarik tidak dapat dibenarkan," tulisnya dalam Kumpulan Karangan Snouck Hurgronje IX, yang diterbitkan oleh Indonesian-Nederlands Cooperation in Islamic Studies (INIS) terbitan tahun 1994.

Snouck mengatakan, pemerintah kolonial sudah cukup ketat mengawasi soal zakat fitrah. Namun hal itu juga tidak punya banyak arti. Sebab pengumpulan dari zakat tidak seberapa.

Pemerintah kolonial kemudian tidak mau mengurus soal pengumpulan dan pendistribusian zakat pribumi. Ketetapan itu dikeluaran melalui Bijblad Nomor 1892 tahun 1866 dan Bijblad 6200 tahun 1905 yang isinya melarang petugas keagamaan, pegawai pemerintah dari kepala desa sampai bupati, termasuk priayi pribumi ikut serta dalam pengumpulan zakat.

Peraturan tersebut mengakibatkan penduduk di beberapa tempat enggan mengeluarkan zakat atau tidak memberikannya kepada pejabat daerah waktu itu, melainkan kepada ahli agama yang mereka percayai, yaitu kyai atau guru mengaji.

Namun seiring perjalanan waktu, praktek pengelolaan zakat mulai ditata oleh sejumlah organisasi. Salah satunya Majlis Islam ‘Ala Indonesia (MIAI), pada 1943 yang membentuk Baitul Maal untuk mengorganisasikan pengelolaan zakat secara terkoordinasi.

Badan ini dikepalai oleh Ketua MIAI Windoamiseno dengan anggota komite yang berjumlah 5 orang, yaitu Mr. Kasman Singodimedjo, S.M. Kartosuwirjo, Moh. Safei, K. Taufiqurrachman, dan Anwar Tjokroaminoto.

Dalam waktu singkat, Baitul Maal telah berhasil didirikan di 35 kabupaten dari 67 kabupaten yang ada di Jawa pada saat itu. Namun, kemajuan ini menyebabkan Jepang khawatir akan munculnya gerakan anti-Jepang. Maka, pada 24 Oktober 1943, Jepang memaksa MIAI untuk membubarkan diri. Praktis sejak saat itu tidak ditemukan lagi lembaga pengelola zakat yang eksis.

Di masa Orde Lama, praktek pengumpulan zakat kembali mendapatkan perhatian. Melalu surat edaran Kementerian Agama pada Pada 8 desember 1951 tentang pelaksanaan zakat fitrah No. A/VII/17367/ disebutkan antara lain: Kementerian agama dengan zakat fitrah ini tidak mencampuri dalam soal pemungutan dan/atau pembagiamnya.

Pemerintah dalam hal ini kementerian agama hanya:

a. menggembirakan dan menggiatkan masyarakat untuk menunaikan kewajibannya;

b.Melakukan pengawasan supaya pemakaian dan pembagiannya daru hasil pungtan tadi berlangsung menurut hukum-hukum agama.


Di masa Orde Baru, perhatian pemerintah terhadap pengelolaan zakat mulai membesar. Hal itu terlihat dari diterbitkannya Peraturan Menteri Agama No. 4 Tahun 1968 tentang Pembentukan Badan Amil Zakat dan Peraturan Menteri Agama No 5 Tahun 1968 tentang Pembentukan Baitul Maal di tingkat pusat, provinsi dan kabupaten/kotamadya.

Keputusan tersebut dikuatkan oleh pernyataan Presiden Soeharto dalam acara Peringatan Isra’ dan Mi’raj Nabi Muhammad Saw di Istana Negara 26 Oktober 1968 tentang kesediaan Presiden untuk mengurus pengumpulan zakat secara besar-besaran.

Namun sejarah mencatat, peraturan tersebut kemudian dianulir lewat Instruksi Menteri Agama No 1 Tahun 1969, yang menyatakan pelaksanaan Peraturan Menteri Agama No 4 dan No 5 Tahun 1968 (ditunda sampai batas waktu yang tidak ditentukan)

Namun, 11 orang alim ulama di ibukota yang dihadiri antara lain oleh Buya Hamka mengeluarkan rekomendasi perlunya membentuk lembaga zakat ditingkat wilayah yang kemudian direspon dengan pembentukan BAZIS DKI Jakarta melalui keputusan Gubernur Ali Sadikin No. Cb-14/8/18/68 tentang pembentukan Badan Amil Zakat berdasarkan syariat Islam tanggal 5 Desember 1968.8)

Setahun kemudian, barulah pemerintah mengeluarkan Keputusan Presiden No. 44 tahun 1969 tentang Pembentukan Panitia Penggunaan Uang Zakat yang diketuai Menko Kesra Dr. KH. Idham Chalid.

Kepres diperkuat lagi dengan Surat Keputusan Bersama (SKB) Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama No. 29 dan No. 47 Tahun 1991 tentang Pembinaan BAZIS yang diterbitkan oleh Menteri Agama dan Menteri Dalam Negeri setelah melalui Musyawarah Nasional MUI IV tahun 1990. Langkah tersebut juga diikuti dengan dikeluarkan juga Instruksi Menteri Agama No. 5 Tahun 1991 tentang Pembinaan Teknis BAZIS sebagai aturan pelaksanaannya.

Baru pada tahun 1999 untuk pertama kalinya Indonesia memiliki Undang-undang Pengelolaan Zakat, Undang-Undang Nomor 38 Tahun 1999. Dalam Undang-Undang tersebut diakui adanya dua jenis organisasi pengelola zakat yaitu Badan Amil Zakat (BAZ) yang dibentuk pemerintah dan Lembaga Amil Zakat (LAZ) yang dibentuk oleh masyarakat dan dikukuhkan oleh pemerintah. BAZ terdiri dari BAZNAS pusat, BAZNAS Propinsi, dan BAZNAS kabupaten/kota.

Seiring perkembangan zaman dan antusiasme masyarakat yang tinggi dalam membayar zakat, pada 27 Oktober 2011, Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) menyetujui Undang-undang pengelolaan zakat pengganti Un-dang-Undang Nomor 38 Tahun 1999 yang kemudian diundangkan sebagai UU Nomor 23 Tahun 2011 pada tanggal 25 November 2011.

UU ini menetapkan bahwa pengelolaan zakat bertujuan (1) meningkatkan efektivitas dan efisiensi pelayanan dalam pengelolaan zakat dan (2) meningkatkan manfaat zakat untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat dan penanggulangan kemiskinan.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.