TIMESINDONESIA, MOROTAI – Mamuya adalah salah satu desa yang terletak di selatan Kecamatan Galela, Kabupaten Halmahera Utara, yang didiami oleh masyarakat suku Galela. Masyarakat di desa ini masih konsisten mempertahankan dan melestarikan tradisi leluhur mereka hingga saat ini, yakni tradisi Gulubenge.
Gulubenge merupakan salah satu tradisi unik nan sakral dari leluhur suku Galela. Gulubenge dalam bahasa adat Galela disebut sebagai obor dari pelepah daun palem atau dinamakan sebagai Bopo Salo. Istilah Gulubenge dan Bopo Salo bisa ditemukan dalam kamus bahasa Galela-Belanda oleh M.J. VAN BAARDA (1895;72-385).
Di Galela terdapat beberapa obor atau lampu tradisional. Lampu dalam bahasa Galela disebut Congomala adapun yang masih dipakai saat ini seperti ; Poci, Loga-Loga, Bopo Lou, dan Bopo Salo.
Gulubenge atau Bopo Salo sering dipakai pada acara tradisi keagamaan, seperti yang beragama Islam (Galela; Sosalami) dipakai pada Malam Qunut, Malam Laitulqadar, dan Malam Takbiran. Sedangkan bagi beragama Kristem (Galela; Sosarani) dipakai pada Malam Paska, Malam Natal, dan Malam tahun baru.
Masyarakat Desa Mamuya Galela saat melepaskan obor ke laut. (Foto: Muhammad Diadi for TIMES Indonesia)
Namun jauh sebelum masyarakat Galela memeluk agama, Bopo digunakan oleh Alfuru Galela sebagai alat dalam berburu baik di hutan maupun di laut. Untuk Bopo Salo terbuat dari pelepah daun palem kering yang dibuat sedemikan rupa sehingga berbenbentuk seperti lilin besar.
Dalam melakukan tradisi Gulubenge atau Bopo Salo maka harus disiapkan bahan seperti kulit kelapa atau masyarakat Galela menyebutnya Gonofu untuk diisi Gulubenge dan di hanyutkan kelaut (galela; bopo teo ka posi dasi).
"Ini adalah tradisi masyarakat Mamuya sebelum agama masuk dan setelah agama masuk. Dimana sebelum agama masuk tradisi ini dipakai untuk meminta pertolongan kepada lelehur untuk melindungi kampung dari bencana," ungkap Ketua Sanggar Budaya Gogaro Nyinga, Mamuya Galela, Muhammad Diadi.
Namun setelah agama Islam masuk, maka tradisi ini dilakukan pada malam qunut (malam ke-15 Ramadan) yaitu untuk menyambut malam qunut serta menolak bencana (o'bahala pa pire) berupa penyakit dan hal-hal buruk yang akan terjadi di kampung.
Pelaksanaan ritualnya, seorang imam akan memimpin prosesi adat ini lalu dibacakan doa-doa untuk tolak bencana. Setelah itu, warga dari anak-anak serta orang tua akan bersama-sama menghanyutkan obor ke laut.
Tradisi ini juga sebagai peringatan bahwa bulan suci Ramadan akan berakhir serta masyarakat mencurahkan shalawat dan salam kepada Nabi Muhammad SAW beserta para keluarga dan sahabat-sahabatnya.
Destinasi Wisata Alam Air Terjun Raja Morotai. (Foto: Sherly for TIMES Indonesia)
Menurut Muhammad Diadi, dulunya bahan obornya dari daun weka kering yang dililiti sehingga menjadi obor dan diletakan kedalam kulit kelapa (galela;gonofu) namun sekarang sudah diganti dengan lilin. Namun prosesi adat masih tetap dipertahankan.
Dengan harapan, semoga tradisi ini selalu dilestarikan di Desa Mamuya, Kecamatan Galela, Kabupaten Halmahera Utara, Provinsi Maluku Utara sebagai wujud keimanan serta rasa menghormati para lelehur. "Berkaryalah agar mengakar dan tumbuh menjadi cinta," tutup Muhammad Diadi. (*)