TIMESINDONESIA, PACITAN – Bicara soal nasib dosen Ma'had Aly, kita seperti bicara soal nasib pungguk merindukan bulan. Regulasi sudah ada, janji-janji manis sudah ditebar, tapi kesejahteraan? Masih jauh di awang-awang. PMA 32/2020 itu ibarat surat cinta tanpa kepastian. Ada harapan, tapi entah kapan terwujud.
Dulu, Ma’had Aly hanya dipandang sebagai lembaga pendidikan pesantren yang levelnya masih di bawah perguruan tinggi. Sekarang, katanya, Ma’had Aly sudah sejajar dengan pendidikan tinggi Islam lainnya.
Bahkan, Dirjen Pendis dan Sekjen Kemenag sempat bikin surat cinta untuk instansi pemerintah, yang isinya menegaskan hak lulusan Ma’had Aly dalam dunia kerja. Indah, bukan? Tapi, tunggu dulu. Bagaimana dengan nasib para dosennya?
Ada, Tapi Seperti Tak Ada
Dosen Ma’had Aly ini eksistensinya unik. Ada, tapi tak dianggap. Mereka mendidik calon ulama, mengajar kitab-kitab klasik yang kalau dicetak bisa menggunung. Mereka mencetak santri jadi cendekiawan. Tapi, honor mereka? Seadanya. Tunjangan? Jangan mimpi. Jenjang karier? Seperti jalan yang belum beraspal.
Kita semua tahu, dosen perguruan tinggi Islam negeri bisa hidup nyaman dengan gaji tetap, tunjangan fungsional, dan fasilitas negara. Dosen Ma’had Aly? Mereka lebih mirip relawan pendidikan ketimbang akademisi. Hidup dari kebijakan pesantren yang kadang naik, kadang turun. Kalau pesantren kaya, honor dosennya bisa agak lumayan. Kalau tidak? Ya nasib.
Karier Dosen: Ilusi atau Kenyataan?
Coba tanya seorang dosen Ma’had Aly, apa dia punya jenjang karier? Jawabannya pasti ragu-ragu. Sementara dosen di perguruan tinggi lain punya jalur akademik jelas, mulai dari Asisten Ahli sampai Guru Besar, dosen Ma’had Aly masih sibuk bertanya: “Kami ini dosen atau ustaz?”
Ini bukan sekadar soal gelar atau gengsi. Ini soal pengakuan. Kalau Ma’had Aly memang sudah diakui setara dengan perguruan tinggi, maka dosennya juga harus punya jalur akademik yang jelas. Kalau tidak, kita hanya sedang bermain kata-kata.
Solusi: Dari Retorika ke Realita
Kalau pemerintah benar-benar serius, ada beberapa hal yang harus segera dilakukan:
Pertama, Regulasi yang Konkret. Bukan Basa-basi Jangan hanya buat aturan yang indah di atas kertas. Regulasi harus benar-benar mengatur hak dosen, mulai dari penggajian, tunjangan, hingga kepastian karier.
Kedua, Dana Negara untuk Dosen Ma’had Aly. Kalau perguruan tinggi Islam negeri bisa dibiayai negara, kenapa Ma’had Aly tidak? Pemerintah harus membuka skema pembiayaan agar dosen Ma’had Aly juga bisa hidup layak.
Ketiga, Sertifikasi dan Pengakuan. Akademik Dosen Ma’had Aly harus punya kesempatan yang sama untuk mendapatkan sertifikasi dosen, dana penelitian, dan kesempatan mengembangkan diri.
Keempat, Tunjangan Berbasis Kinerja. Kalau dosen Ma’had Aly aktif dalam penelitian, publikasi, atau pengabdian masyarakat, harus ada insentif. Jangan cuma tepuk tangan dan ucapan terima kasih.
Kelima, Sinergi dengan Perguruan Tinggi Islam. Kerja sama dengan PTKI bisa membuka peluang bagi dosen Ma’had Aly untuk berkembang. Bisa jadi dosen tamu, ikut seminar, atau menulis jurnal ilmiah.
Sudah terlalu lama dosen Ma’had Aly menunggu kepastian. Sudah terlalu lama mereka bertahan dengan janji-janji yang belum nyata. Jika pemerintah benar-benar ingin Ma’had Aly sejajar dengan perguruan tinggi lain, maka kesejahteraan dosennya harus menjadi prioritas.
Mereka bukan sekadar pengajar. Mereka adalah penjaga ilmu, perawat tradisi, dan penggerak peradaban Islam. Jika kita masih membiarkan mereka hidup dalam ketidakpastian, maka kita sedang mengkhianati janji kita sendiri.
***
*) Oleh : Yusuf Arifai, M.H., Dosen Ma'had Aly Al-Tarmasi Pacitan.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.