Strategi Kebijakan Perlindungan Data Pribadi Indonesia
GH News March 29, 2025 03:06 PM

TIMESINDONESIA, JAKARTA – Penerima beasiswa AIFIS untuk studi dan riset di Amerika Serikat; Sekretaris PCI Nahdlatul Ulama United Kingdom (2020-2023) 

Inovasi digital mendorong kemajuan besar dalam interaksi manusia dalam pelbagai bidang, khususnya dalam pekerjaan, bisnis serta interaksi sosial. Data pribadi menjadi komoditas berharga yang rentan disalahgunakan jika tidak dilindungi dengan regulasi yang ketat. Di tingkat global, negara-negara seperti Eropa, Inggris, Australia, dan Singapura telah mengembangkan kebijakan perlindungan data pribadi yang komprehensif. 

Dalam konteks Indonesia, dengan disahkannya Undang-Undang No. 27 tahun 2022 terkait Perlindungan Data Pribadi (UU PDP), telah mengambil langkah maju dalam memberikan perlindungan bagi warganya. Namun, tantangan besar masih menghadang dalam implementasi kebijakan ini. Undang-undang ini melalui proses yang cukup panjang. Sebelum Undang-undang ini ditetapkan, pengaturan perlindungan data pribadi tersebar dalam beberapa peraturan perundang-undangan, antara lain UU Nomor 11 Tahun 2008 jo UU Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, dan UU Nomor 23 Tahun 2006 jo UU Nomor 24 Tahun 2013. UU PDP menjadikan kebijakan tentang perlindungan data menjadi lebih solid dan jelas.

Kita perlu melihat perbandingan kebijakan dengan beberapa negara lain. Di Eropa, General Data Protection Regulation (GDPR) menjadi standar utama dalam perlindungan data pribadi. Regulasi ini mengatur hak individu atas data mereka, kewajiban pengendali data, serta sanksi berat bagi pelanggar. GDPR memberikan hak akses, perbaikan, dan penghapusan data bagi individu, serta mewajibkan organisasi untuk melaporkan pelanggaran data dalam waktu 72 jam.

Sementara, Pemerintah Singapura melalui Personal Data Protection Act (PDPA), menerapkan prinsip yang lebih fleksibel dibandingkan GDPR tetapi tetap mengutamakan transparansi dalam pengelolaan data. Pemerintah Australia memiliki Privacy Act 1988 yang mengatur perlindungan data di sektor publik dan swasta dengan penekanan pada keamanan data sensitif. Pada sisi lain, pemerintah Inggris tetap menerapkan Data Protection Act 2018 yang berbasis GDPR meskipun telah keluar dari Uni Eropa.

Di Amerika Serikat, pendekatan perlindungan data lebih terfragmentasi dengan regulasi yang berbeda-beda di setiap negara bagian. Misalnya, California Consumer Privacy Act (CCPA) memberikan hak yang lebih kuat bagi individu, sementara negara bagian lain mungkin memiliki regulasi yang lebih longgar.

Tantangan Kebijakan di Indonesia

Meskipun UU PDP telah disahkan, Indonesia masih menghadapi beberapa tantangan utama dalam implementasinya:

Pertama, kurangnya infrastruktur penegakan hukum. Kebijakan Eropa berupa GDPR memiliki otoritas perlindungan data yang kuat, seperti European Data Protection Board, yang mengawasi kepatuhan dan menerapkan sanksi. Indonesia belum memiliki badan pengawas yang sebanding, sehingga masih ada ketidakjelasan dalam mekanisme penegakan hukum.

Kedua, kesadaran publik yang rendah. Banyak individu dan perusahaan di Indonesia masih belum sepenuhnya memahami pentingnya perlindungan data pribadi. Kesadaran akan hak-hak terkait data pribadi perlu ditingkatkan melalui edukasi dan kampanye publik.

Ketiga, kesiapan sektor swasta dan publik. Banyak perusahaan, khususnya UMKM dan startup, masih belum memiliki sistem manajemen data yang sesuai dengan regulasi. Demikian pula, instansi pemerintah perlu meningkatkan keamanan data agar tidak terjadi kebocoran informasi yang sensitif.

Keempat. sanksi yang relatif lemah. Dibandingkan dengan GDPR yang dapat mengenakan denda hingga 4% dari pendapatan global perusahaan, sanksi di Indonesia masih tergolong ringan dan mungkin tidak cukup memberi efek jera bagi pelanggar.

Strategi untuk Mengatasi Tantangan

Kebijakan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi dari pemerintah Indonesia masih on the track, namun perlu beberapa hal strategis yang dilakukan untuk memperkuat kebijakan serta menjawab tantangan yang ada. Untuk memberi solusi atas tantangan tersebut, pemerintah Indonesia perlu mengambil langkah-langkah strategis, di antaranya terkait pembentukan otoritas pengawas independent. Dibutuhkan lembaga independen yang memiliki kewenangan kuat dalam mengawasi implementasi UU PDP. Lembaga ini harus memiliki kapasitas untuk menindak pelanggaran secara efektif.

Selain itu, penting untuk meningkatkan literasi digital masyarakat. Pemerintah, akademisi, dan sektor swasta perlu bekerja sama dalam mengedukasi masyarakat tentang pentingnya perlindungan data pribadi. Kampanye kesadaran dapat dilakukan melalui media sosial, seminar, dan program pelatihan.

Pada sisi lain, pemerintah Indonesia perlu mewajibkan sertifikasi kepatuhan bagi Perusahaan. Seperti di Eropa dan Singapura, Indonesia dapat menerapkan standar kepatuhan bagi perusahaan yang mengelola data pribadi. Sertifikasi ini memastikan bahwa perusahaan menerapkan langkah-langkah keamanan data yang sesuai.

Pemerintah Indonesia juga perlu mendorong penerapan sanksi yang lebih ketat. Agar kebijakan ini efektif, sanksi terhadap pelanggaran perlindungan data harus ditingkatkan. Hukuman yang lebih berat akan memberikan insentif bagi perusahaan untuk mematuhi aturan.

Juga, pemerintah harus memastikan peningkatan keamanan infrastruktur digital. Pemerintah harus bekerja sama dengan sektor teknologi untuk memastikan bahwa sistem perlindungan data di Indonesia aman dari serangan siber. Investasi dalam teknologi keamanan dan regulasi terkait keamanan siber perlu diperkuat.

Indonesia telah memulai langkah penting dalam perlindungan data pribadi dengan disahkannya UU PDP. Namun, perjalanan menuju implementasi yang efektif masih panjang. Dengan memperkuat pengawasan, meningkatkan literasi digital, mewajibkan kepatuhan bagi perusahaan, serta menerapkan sanksi yang lebih ketat, Indonesia dapat memastikan bahwa data pribadi warganya dilindungi dengan standar yang setara dengan negara-negara maju. Perlindungan data yang kuat bukan hanya soal keamanan, tetapi juga tentang membangun kepercayaan dan keberlanjutan ekonomi digital di masa depan.

Oleh: Munawir Aziz

*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id

*) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.

*) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]

*) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim.

**) Ikuti berita terbaru TIMES Indonesia di Google News klik link ini dan jangan lupa di follow.

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.