Bijak dalam Pengelolaan Dana Fiskal
M Abdul Rahman March 31, 2025 11:40 AM
Bukan rahasia umum lagi bahwa, salah satu penerimaan negara terbesar merupakan dana berasal dari penerimaan fiskal atau pajak. Dana-dana yang terhimpun dari masyarakat atas penghasilan yang mereka dapatkan, harus disetorkan kepada negara pada tarif-tarif tertentu, sebagai bentuk retribusi dan sumbangsih rakyat terhadap negara. Normalnya, dana yang telah terhimpun tersebut, dikelola, dianggarkan, dan dialokasikan kepada program-program maupun fasilitas atau bentuk insentif yang penerima manfaatnya adalah rakyat itu sendiri.
Begitulah bila kita membahas secara teoritisnya, namun bagaimana realisasi dan implementasinya ?
Hal ini, tentu menarik untuk dibahas maupun ditelaah lebih mendalam, tentang bagaimana penerimaan fiskal menjadi fondasi penting bagi seluruh pengeluaraan yang dilakukan oleh sebuah negara untuk membiayai seluruh kegiatan Pemerintahannya.
Target Penerimaan Pajak dan Peran dari Masyarakat
Mari berkaca dari Informasi APBN Tahun 2025 yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan Republik Indonesia Tahun 2025, Pemerintah melalui Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan Perpajakan mencapai Rp. 2.490,9 Triliun atau sekitar 10,24 persen PDB (Produk Domestik Bruto). Bila ditelaah lebih mendalam lagi, target terhadap penerimaan negara yang berasal dari Perpajakan bila dilihat secara komprehensif terhadap postur APBN yang sudah dilalui dari tahun-tahun sebelumnya, memiliki peranan penting terhadap pembiayaan proyek-proyek strategis penting negara terutama dalam penguatan ekonomi di Indonesia.
Dengan tingginya, target penerimaan negara, tentunya hal ini akan menimbulkan domino effect terhadap masyrakat sebagai tulang punggung dalam kaitannya kontribusi penerimaan Pajak terhadap negara. Bukan tidak mungkin juga, bahwa masyarakat dari tahun ke tahun harus mengalami tingginya beban yang harus ditanggung demi tercapainya target penerimaan negara yang berasal dari Pajak.
Tentu, bila kita berbicara tentang Pajak, bisa menjadi sebuah isu yang sensitif bagi masyarakat Indonesia. Bagaimana tidak ? Masyarakat yang berusaha mati-matian untuk memperoleh penghasilan, namun secara tidak langsung, Negara memaksa Rakyat untuk menyetorkan Pajak dengan dalih, ikut berkontribusi membangun Negara. Diksi tersebut, memang benar adanya, namun terhadap pengelolaan Fiskal, Negara harus berhati-hati dan bijak dalam melakukan pengelolaan yang sesuai dan transparan, sebab uang maupun dana yang dikumpulkan tersebut, merupakan uang Rakyat yang telah dihasilkan dengan hasil jerih payah bahkan tidak menutup kemungkinan harus mengorbankan nyawa sekalipun.
Sehingga, dengan demikian peranan Masyarakat terhadap penerimaan Pajak, memiliki peran sentral merangkap aktor utama bila diibaratkan berada di sebuah film di layar lebar. Concern terhadap Pemerintah terhadap tingginya penerimaan pajak di postur APBN, adalah kesejahteraan Masyarakat dan benefit maupun manfaat yang sudah seharusnya diterima oleh Masyarakat sebagai bentuk dari imbal balik atas tingginya pengenaan Pajak yang harus dibebankan kepada Masyarakat.
Pajak sebagai Tulang Punggung Perekonomian Sebuah Negara
Bukan lagi rahasia umum, bahwa Pajak merupakan sumber dari tulang punggung perekonomian di sebuah negara, tidak hanya di Indonesia saja, tetapi di negara-negara yang memiliki status sebagai negara maju sekalipun, tidak dapat lepas dari penerimaan pajak sebagai sumber pendanaan mereka. Sebagian besar dari negara-negara maju, mengandalkan penerimaan pajak umumnya akan dialokasikan untuk membiayai berbagai pengeluaran publik, pembangunan infrastruktur, pemberian insentif atas layanan kesehatan, pendidikan, maupun berbagai program sosial yang manfaatnya secara langsung dapat dirasakan oleh Masyarakat di sebuah negara.
Sebut saja Swedia yang memiliki presentasi penerimaan pajak terhadap PDB sebesar 42%, lalu Denmark sebesar 45%, Norwegia sebesar 39%, Finlandia sebesar 42%, Prancis sebesar 45%, Jerman sebesar 38%, Kanada sebesar 33%, dan negara-negara maju lainnya yang memiliki tingkat penerimaan yang sepadan. Mari berkaca, dari negara-negara yang saya paparkan tersebut, memiliki benefit yang bisa disebut worth-it bagi masyarakatnya. Sebab masyarakat di negara-negara tersebut memiliki pelayanan yang prima dan fasilitas yang terjamin oleh Pemerintahannya. Mesikpun dengan presentasi penerimaan Pajak yang tinggi, namun hal tersebut masih dapat diimbangi dengan manfaat yang mereka terima dan rasakan sendiri.
Bagaimana di negara kita ?
Dalam pandangan saya, saat ini yang prioritas yang harus dilaksanakan oleh Pemerintahan Indonesia adalah fokus terhadap kesejahteraan masyarakat yang lebih utama. Presiden Prabowo, dalam setiap pidato kenegaraannya, menyampaikan bahwa saat ini yang masih menjadi prioritas adalah bagaimana upaya Pemerintah untuk menekan angka kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat Indonesia yang masih timpang dan jauh dari angka stabil dalam hal pendapatan yang mempengaruhi kesejahteraan masyarakat sendiri. Efisiensi anggaran, pemangkasan pengeluaran yang tidak perlu, memotong kebijakan-kebijakan yang dirasa tidak masuk akal dan tidak memberikan manfaat secara langsung yang diterima oleh masyarakat adalah hal-hal sifatnya darurat yang harus dilakukan oleh Pemerintah.
The Economics of Welfare oleh Arthur Cecil Pigou (1920).
Dari beberapa teori-teori ekonomi yang saya pelajari, terdapat satu gagasan menarik dari Arthur Cecil Pigou (1920) dalam bukunya yang berjudul “The Economics of Welfare” yang menjelaskan bagaimana Pemerintah melakukan intervensi untuk dapat meningkatkan kesejahteraan sosial dengan menekankan Pajak dan memberikan Subsidi kepada masyarakat agar terjadinya keseimbangan di ekosistem pasar.
Secara teoritis, tidak ada jalan lagi bagi Pemerintah untuk memperoleh dana segar yang didapatkan dengan tempo yang singkat kecuali dari pajak yang disetorkan oleh masyarakat, meskipun dalam harfiah lain, tingginya setoran pajak yang ditetapkan oleh Pemerintah akan memberikan dampak maupun impresi negatif secara langsung dari masyarakat akan keputusan ini. Menjadi menarik, adalah bila Pemerintah menetapkan tarif pajak yang tinggi namun mereka memiliki komitmen tinggi dan dapat dipertanggungjawabkan, terhadap tingkat kesejahteraan yang akan diterima oleh masyarakat atas imbal balik dari tingginya tarif pajak yang ditetapkan oleh Pemerintah.
Pigou menerangkan bahwa, kesejahteraan dan redistribusi kemakmuran adalah bentuk komitmen yang sudah seharusnya diberikan oleh otoritas pemerintah, dimana atas dana atau uang pajak yang mereka kumpulkan dari masyarakat merupakan hak masyarakat itu sendiri, meskipun pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah. Secara tidak langsung, Pemerintah memiliki hutang terhadap masyarakat dalam bentuk tingkat kesejahteraan yang harus dijamin entah itu dalam bentuk fasilitas maupun infrastruktur secara umum, kemudahan masyarakat dalam memperoleh pekerjaan, kemudahan mengakses layanan kesehatan, tingginya mutu maupun tingkat pendidikan yang diberikan, dan benefit atau manfaat lainnya.
Dan, ini yang perlu diingat, Pemerintah harusnya sadar bahwa dana pajak yang telah terkumpul, itu merupakan dana yang berasal dari uang rakyat, uang yang dikumpulkan dari hasil jerih payah mereka mencari nafkah. Sudah sepatutnya, masyarakat memperoleh manfaat atau benefit dari dana pajak yang telah terkumpul. Dan harusnya Pemerintah paham, bahwa mereka diberikan amanah oleh rakyat melalui Undang-Undang dalam hal pengelolaan dana pajak untuk kesejahteraan masyarakat Indonesia.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.