Meneguhkan Prinsip Praduga tidak Bersalah dalam RUU KUHAP
Khairil Akbar March 31, 2025 11:40 AM
Di tengah riuh penolakan rancangan undang-undang (RUU) RUU TNI yang telah disahkan 20 Maret lalu, sejumlah RUU kontroversial lain telah menunggu. Berbeda dengan RUU-TNI, RUU yang satu ini menjadi mutlak untuk dibahas sebagai respon atas UU 1/2023 tentang KUHP. RUU dimaksud tidak lain adalah Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) yang merupakan hukum formal yang mengatur tata cara atau prosedur penegakan hukum terkait tindak pidana. Selambat-lambatnya, sesaat sebelum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) diberlakukan, RUU-KUHAP harus sudah disahkan dan menjadi undang-undang.
Seyogyanya, RUU-KUHAP itu mesti disahkan di tahun ini agar ada ruang untuk sosialisasi dan diuji ke Mahkamah Konstitusi. Makna diuji tidak dalam rangka menolak kehadirannya, melainkan sekadar memastikan seluruh pasal yang dirumuskan menjamin hak asasi setiap orang sebelum keberlakuannya benar-benar memakan korban. Sebab, tanpa KUHAP, KUHP (hukum pidana materiel) justru tidak memiliki signifikansi atas kebaruannya. Persis seperti negara demokrasi; menjadi semu jika yang terpilih justru calon berwatak otoriter.
Artikel ini mengambil peran yang relatif terabaikan dalam pembahasan RUU-KUHAP itu sendiri, yakni mempertanyakan di mana posisi rakyat, khususnya kelompok rentan dalam sistem peradilan pidana yang hendak diperbarui melalui RUU-KUHAP? Adakah rakyat sekadar objek yang menjadi sasaran penangkapan, penahanan, penuntutan, hingga pemidanaan? Atau, rakyat, khususnya kelompok rentan benar-benar akan diperlakukan sebagai subjek yang akan dijamin hak-haknya di setiap proses peradilan? Pertanyaan itu akan diuji sembari menawarkan proposal yang kiranya lebih menguntungkan atau menguatkan rakyat.
Semula disebut relatif terabaikan karena selama ini pembahasan yang ada nyaris seputar tarik-menarik kewenangan antara Kepolisian dan Kejaksaan dalam masalah penyidikan. Ada yang mendukung proposal penguatan prinsip diferensiasi fungsional, ada pula yang cenderung mempertegas makna penyidikan sebagai bagian dari penuntutan yang karenanya dipandang lebih mengedepankan prinsip dominus litis yang sejauh ini dimiliki oleh Kejaksaan.
Polisi melakukan pengecekan kelengkapan kendaraan. Sumber: www.pexels.com/
zoom-in-whitePerbesar
Polisi melakukan pengecekan kelengkapan kendaraan. Sumber: www.pexels.com/
Padahal, kedua pandangan itu memiliki titik lemah dan kelebihannya masing-masing dalam melindungi hak asasi manusia. Dengan kata lain, penyelewengan dan pelindungan tetap dapat dilakukan dalam setiap konsep yang ditawarkan. Artikel ini justru berupaya menambal secara parsial bagian yang menjadi celah dilakukannya penyelewengan oleh aparat di lapangan. Dikatakan secara parsial karena artikel ini tidak dimaksudkan untuk menjangkau seluruh isu dalam RUU-KUHAP.
Di antara isu, atau kiranya merupakan praktik dari penerapan KUHAP yang selama ini paling menyakitkan bagi rakyat adalah dicurigai tanpa bukti. Hal ini acap terjadi dalam perkara lalulintas. Meski tanpa mekanisme resmi, rakyat sering dibuat risih oleh aparat yang tiba-tiba memberhentikan dan langsung menanyakan kelengkapan si pengendara. Jika keadaannya tertangkap tangan, tentu tidak masalah.
Tapi, biasanya, mereka yang berkendara dengan lengkap juga diberhentikan dengan pertaruhan “benaran lengkap atau tidak”. Memang, yang tampak lengkap belum tentu lengkap, tapi, apa dasar yang tampak lengkap itu dicurigai? Suatu ketika, pertanyaan itu dijawab enteng oleh Polisi di lapangan, “Kami punya feeling, ada insting”.
Sikap yang tidak sejalan dengan prinsip praduga tidak bersalah (presumtion of innocence) ini sebenarnya telah menjadi-jadi sampai nyaris tidak lagi dianggap sebagai masalah, atau tepatnya rakyat lelah protes dan akhirnya pasrah. Sebagai contoh, setiap orang akan selalu mengurus Surat Keterangan Catatan Kepolisian (SKCK) jika hendak melamar kerja atau untuk syarat tes tertentu. Tanpa disadari, hak untuk dianggap baik telah dilanggar dalam praktik ini.
Jika ada yang tidak yakin, maka menjadi tugasnya membuktikan sangkaannya itu. Dalam hukum tindakan tersebut dikenal dengan asas “siapa yang mendalilkan, dialah yang membuktikan (actori incumbit probatio). Tentu arti asas ini tidak bisa dibebankan kepada rakyat dengan seakan-akan mereka mendalilkan diri mereka baik maka perlu bukti berupa SKCK.
Ilustrasi: keterangan perempuan jarang dianggap. Sumber: www.pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: keterangan perempuan jarang dianggap. Sumber: www.pexels.com
Syukurnya, Menteri bidang Hak Asasi Manusia sudah mengusulkan penghapusan SKCK setelah mendapati adanya sejumlah residivis yang kembali ke jeruji besi karena sulit mendapatkan pekerjaan. Kesulitan itu dinilai salah satunya karena SKCK. Ketua Komisi III DPR RI, Habiburokhman juga mendukung usulan itu. Namun, sedikit berbeda dengan Menteri HAM, Habiburokhman justru menyorot adanya mekanisme lain untuk mengecek status seseorang tanpa harus mengurus SKCK.
Bekerjanya hukum pidana formal dan materiel sudah semestinya menjamin hak dasar warga negara untuk tidak dicurigai seperti contoh di atas. Namun, dengan bukti permulaan, penegak hukum tentu harus mencurigai (presumtion of guilty) seseorang sebagai dasar dilakukannya investigasi. Kerja aktif semacam ini tentu dapat dimaklumi sepanjang mengikuti prosedur yang dibenarkan. Dua prinsip ini sejatinya bekerja beriringan. Antinomi hukum semacam ini harus disikapi layaknya pedal sepada yang akan menjamin kita terus berjalan maju.
Dalam memperlakukan masyarakat, bahkan setelah dinyatakan bersalah sekalipun, tindakannya hanya dapat berupa sanksi yang dijatuhkan (pidana dan/atau tindakan). Artinya, meski memiliki cukup dasar mencurigai seseorang, perlakuan kepadanya tentu tidak boleh berupa main hakim sendiri, memaksanya mengaku, bahkan sekadar menjebaknya dalam pertanyaan yang rumit. Praduga bersalah itu hanya sebagai dasar diadakannya investigasi, bukan untuk menyakiti.
Meneguhkan prinsip praduga tidak bersalah dalam RUU-KUHAP sejatinya adalah lengkah yang akan menguatkan posisi rakyat. Kerja demokratisasi hukum semacam ini tidak lain adalah untuk memastikan bahwa hukum mencerminkan kebutuhan rakyat dan karenanya akan melindungi mereka. Konsekuensinya, hal yang dipikirkan lebih dulu bukanlah kewenangan apa yang mesti diberikan atau ditambah kepada Penyidik dan Penuntut, melainkan apakah dengan kewenangan yang selama ini dimiliki rakyat sudah benar-benar terlindungi?
Jika tidak, maka terhadap kewenangan yang ada itu pun justru perlu ditinjau lagi, jangan-jangan malah harus dikurangi, atau setidaknya ditambah mekanisme pengawasan guna menjamin transparansi. Digitalisasi perkara mungkin dapat membantu pengawasan itu bekerja optimal dan transparan. Dengan digitalisasi, rakyat menjadi tahu sejauh mana perkara yang sedang ditangani itu benar-benar dikerjakan. Setiap tindakan harus mendapat pembaruan informasi beserta alasannya.
Ilustrasi: Korban yang tetap dicurigai dalam proses penyidikan. Sumber: www.pexels.com
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi: Korban yang tetap dicurigai dalam proses penyidikan. Sumber: www.pexels.com
Meneguhkan prinsip praduga tidak bersalah kiranya perlu afirmasi kepada kelompok rentan seperti anak, perempuan, dan disabilitas. Sejauh ini masih terdapat perkara yang kurang sensitif terhadap kelompok ini dan akibatnya menambah penderitaan mereka yang kerap menjadi korban. Dibanding mendapat keadilan, tindak pidana yang menimpa mereka sering berakhir dengan dilepaskannya pelaku karena alasan kurang bukti, bahkan diragukannya validitas kesaksian korban.
Memang prinsip minimum alat bukti harus dikedepankan sebagai bagian dari penguatan prinsip praduga tidak bersalah. Tapi, karakter kasus dan korban harus melahirkan kebijaksanaan yang memastikan tidak ada keadaan di mana pelaku dapat mengelabui kekurangan hukum sementara hukum dibiarkan buntu di ujung penderitaan korban. Kiranya prinsip praduga tidak bersalah yang selalu tertuju kepada pelaku harus diimbangi dengan kesadaran bahwa korban tidak mungkin memperoleh keadilan dengan cara menuduh sembarang orang.
© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.