Grid.ID– Hari Raya Idulfitri yang seharusnya menjadi perayaan penuh sukacita berubah menjadi lautan duka di Gaza. Tidak ada hidangan khas Lebaran, tidak ada pakaian baru untuk anak-anak, dan tidak ada tawa keluarga yang berkumpul.
Yang tersisa hanyalah kesedihan, kelaparan, dan ratapan kehilangan di antara reruntuhan bangunan yang hancur akibat serangan yang terus berlangsung.
Idulfitri Tanpa Pesta, Hanya Bertahan Hidup
Warga Gaza menjalani Idulfitri dengan kondisi yang sangat berbeda dibandingkan masyarakat Muslim di negara lain. Biasanya, Idulfitri dirayakan dengan keluarga yang berkumpul, menikmati hidangan khas, dan memberi hadiah kepada anak-anak.
Namun, bagi lebih dari dua juta warga Gaza, Idulfitri adalah perjuangan untuk bertahan hidup di tengah kesulitan. “Ini adalah Idul Fitri yang penuh kesedihan,” kata Adel al-Shaer setelah mengikuti salat di tengah puing-puing di Deir al-Balah.
“Kami kehilangan orang-orang yang kami cintai, anak-anak kami, kehidupan kami, dan masa depan kami.” Dia mengaku kehilangan 20 anggota keluarga besarnya akibat serangan udara Israel, termasuk empat keponakan kecilnya, sebelum akhirnya menangis.
Israel mengakhiri gencatan senjata dengan Hamas dan kembali memulai perang 17 bulan pada awal bulan ini melalui serangan mendadak yang menewaskan ratusan orang. Israel juga telah menghentikan pengiriman makanan, bahan bakar, dan bantuan kemanusiaan ke Gaza selama satu bulan.
“Yang ada hanyalah pembunuhan, pengungsian, kelaparan, dan pengepungan,” ujar Saed al-Kourd, seorang warga Gaza, dikutip dari APNews,Senin (31/03/2025). "Kami keluar untuk melaksanakan ibadah kepada Allah demi membuat anak-anak bahagia, tetapi kebahagiaan Idulfitri? Tidak ada Idulfitri.”
Kehancuran dan Korban Jiwa
Serangan udara Israel pada Minggu pagi waktu setempat, menewaskan setidaknya 16 orang, termasuk sembilan anak dan tiga wanita, menurut laporan rumah sakit di Khan Younis. Beberapa anak terlihat mengenakan pakaian baru untuk hari raya.
Perang ini bermula ketika militan yang dipimpin Hamas menyerang Israel pada 7 Oktober 2023, menewaskan sekitar 1.200 orang dan menyandera 251 orang. Menurut Kementerian Kesehatan Gaza, serangan Israel telah menewaskan lebih dari 50.000 warga Palestina, sementara Israel mengklaim telah membunuh sekitar 20.000 militan.
Tragedi di Rafah: Pekerja Darurat yang Gugur
Palang Merah Palestina melaporkan bahwa delapan teknisi medis, lima anggota Pertahanan Sipil Gaza, dan ambulans mereka ditemukan seminggu setelah hilang di tengah baku tembak di Rafah. Kementerian Kesehatan Gaza menuduh sebagian jenazah ditemukan dengan tanda-tanda eksekusi, dan menyerukan PBB serta organisasi internasional lainnya untuk menyelidiki dan meminta Israel bertanggung jawab.
Namun, militer Israel mengklaim bahwa pasukannya menembaki kendaraan yang dianggap mencurigakan tanpa sinyal darurat, dan menyebut sembilan "teroris" tewas dalam insiden tersebut.
Upaya Perdamaian Belum Berhasil
Mediator dari negara-negara Arab masih mencoba untuk memulihkan gencatan senjata. Hamas mengaku telah menerima usulan baru dari Mesir dan Qatar, sedangkan Israel menyatakan telah memberikan kontra-usulan yang didukung Amerika Serikat. Namun, detail kesepakatan ini belum jelas.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, sendiri menyatakan operasi militer akan terus berlanjut meskipun proses negosiasi berjalan.Netanyahu juga menolak tuduhan bahwa Israel tidak ingin mengakhiri perang, tetapi ia mengajukan syarat-syarat yang jauh melampaui kesepakatan gencatan senjata dan telah ditolak oleh Hamas.
“Hamas harus melucuti senjata. Para pemimpinnya akan diizinkan pergi. Kami akan menjaga keamanan umum di Jalur Gaza dan memungkinkan pelaksanaan rencana Presiden Donald Trump,” kata Netanyahu dalam rapat kabinet.
Trump mengusulkan agar penduduk Gaza dipindahkan ke negara lain sehingga Amerika Serikat dapat mengembangkan Gaza untuk pihak lain. Namun, warga Palestina menegaskan bahwa mereka tidak ingin meninggalkan tanah air mereka. Para ahli hak asasi manusia menyatakan bahwa rencana tersebut kemungkinan melanggar hukum internasional.