TRIBUNNEWS.COM - Kelompok Houthi di Yaman kembali berhasil menjatuhkan drone MQ-9 Reaper milik Amerika Serikat (AS).
Pada hari Senin, Houthi mengumumkan bahwa ini adalah drone Reaper ke-16 yang mereka tembak jatuh sejak konflik di Jalur Gaza dimulai pada 7 Oktober 2023.
Dalam pernyataannya, Houthi mengeklaim bahwa sistem pertahanan udara mereka berhasil menembak jatuh drone MQ9 Reaper yang sedang melakukan misi di langit Provinsi Maarib.
"Sebagai balasan atas agresi militer Amerika terhadap negara kami, kami berhasil menembak jatuh satu drone MQ-9," ungkap Houthi melalui Press TV.
Houthi juga menyoroti bahwa dalam beberapa jam terakhir AS melancarkan serangan di berbagai area di Yaman, menyebabkan korban jiwa dan kerusakan bangunan.
"Kami akan terus mencegah kapal Israel di Laut Merah dan Laut Arab sebagai bentuk dukungan kepada rakyat Palestina di Gaza," tambah mereka.
Adapun pada Sabtu malam, AS dilaporkan melancarkan serangan di Yaman, dengan total 13 serangan di Ibu Kota Sanaa.
Rincian serangan menunjukkan delapan serangan di area Al Malikah dan lima serangan di area Sarf, yang mengakibatkan satu warga sipil tewas dan dua belas orang terluka.
Drone MQ-9 Reaper, yang bernilai sekitar 32 juta dollar AS (sekitar Rp 500 miliar), telah menjadi sasaran empuk bagi Houthi.
Dengan 16 drone yang berhasil dijatuhkan, kerugian total AS diperkirakan mencapai Rp 8 triliun.
Drone ini dikenal karena kemampuannya terbang hingga ketinggian 15.240 meter dan beroperasi selama 24 jam, menjadikannya aset penting dalam operasi militer dan intelijen AS.
Pakar politik dari Universitas Mardin Artuklu, Dr. Mehmet Rakipoglu, menilai bahwa banyaknya drone AS yang dijatuhkan dapat merusak reputasi militer AS.
"Kepercayaan terhadap efektivitas teknologi pertahanan dan kekuatan militer AS bisa berkurang," katanya.
Hal ini berpotensi membuat klien potensial dalam bidang militer dan ekspor teknologi AS menjadi ragu akan kegagalan produk Amerika di lapangan.
Keberhasilan serangan Houthi juga dapat mengancam keberlanjutan operasi AS di kawasan Timur Tengah, menandai tantangan baru bagi strategi militer AS di wilayah tersebut.