Meski Diguyur Hujan, Tradisi Barong Ider Bumi di Banyuwangi Tetap Berlangsung Khidmat
Luky Setiyawan April 01, 2025 11:31 PM

TRIBUNJATIMTIMUR.COM, Banyuwangi - Tradisi adat Barong Ider Bumi digelar dengan khidmat di Desa Kemiren, Kecamatan Glagah, Kabupaten Banyuwangi, Selasa (1/4/2025). 

Meski diguyur hujan, ratusan warga lokal dan wisatawan dari berbagai daerah tetap antusias mengikuti dan menyaksikan prosesi arak-arakan barong berusia ratusan tahun tersebut.

Ritual Barong Ider Bumi digelar setiap tanggal 2 Syawal, bertepatan dengan hari kedua Idul Fitri.

Tradisi ini dipercaya sebagai bentuk ikhtiar masyarakat untuk menolak bencana dan pageblug (wabah penyakit) yang pernah melanda desa pada masa lampau.

Tokoh masyarakat adat Desa Kemiren, Suhaimi, menjelaskan bahwa ritual Barong Ider Bumi pertama kali dilakukan sekitar tahun 1840-an. 

Kala itu, Desa Kemiren dilanda wabah yang menyebabkan banyak korban jiwa serta gagal panen akibat serangan hama.

Keadaan semakin sulit dengan masa paceklik yang berkepanjangan.

"Sesepuh desa saat itu meminta saran kepada Mbah Buyut Cili, leluhur Desa Kemiren. Dalam mimpi, beliau mendapat petunjuk agar warga mengadakan arak-arakan Barong keliling kampung sebagai upaya penolak bala," ungkap Suhaimi.

Barong dalam tradisi ini digambarkan sebagai sosok makhluk bermahkota dengan sayap yang dipercaya mampu melindungi desa dari marabahaya.

"Ritual diawali dengan doa yang dipanjatkan oleh para tokoh pelestari Barong di petilasan Buyut Cili," tambah Suhaimi.

Kepala Desa Kemiren, Arifin, mengungkapkan rasa syukur atas terlaksananya ritual tahun ini meskipun dalam kondisi hujan.

"Kita tetap bersyukur karena hujan adalah anugerah dari Yang Maha Kuasa," ujarnya.

Arifin menambahkan ritual Barong Ider Bumi merupakan bagian dari upaya pelestarian adat dan budaya. 

“Ini merupakan kewajiban kami untuk melestarikan budaya leluhur. Ke depan, kami berharap tradisi ini tetap dilestarikan oleh generasi muda, sehingga budaya dan adat istiadat Osing tetap lestari,” tutur Arifin.

Saat gamelan mulai dimainkan, Barong siap diarak keliling desa dengan iringan masyarakat yang mengenakan pakaian adat. Arak-arakan dimulai dari sisi timur Desa Kemiren menuju bagian barat, menempuh jarak sekitar 2 km.

Sepanjang perjalanan, tokoh adat melakukan tradisi sembur uthik-uthik, yaitu menebarkan sekitar 999 koin logam yang dicampur dengan beras kuning dan berbagai macam bunga sebagai simbol penolak bala.

Puncak acara ditandai dengan kenduri massal, di mana warga duduk bersama di sepanjang jalan desa, menikmati hidangan khas Banyuwangi, pecel pithik yang disajikan secara beramai-ramai. 

Hidangan ini dibuat dari ayam kampung muda yang dipanggang utuh di perapian, kemudian disuwir dan dicampur dengan bumbu khas yang terdiri dari cabai rawit, terasi, daun jeruk, gula, serta parutan kelapa muda.

Dian Eka Putri Nasution (25), wisatawan asal Surabaya, menyebut atmosfer kekeluargaan dalam ritual ini sangat terasa.

“Yang paling saya suka adalah kendurinya. Semua duduk bersama, makan bersama di jalanan desa. Rasanya hangat dan sangat membumi. Ini pengalaman yang tidak bisa saya temukan di kota," ujar Dian. (Fla)

(Aflahul Abidin/TribunJatimTimur.com)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.