TIMESINDONESIA, LOMBOK – Beberapa hari ini, media sosial kembali ramai dengan sebuah film series asal negara jiran Malaysia berjudul Bidaah. Menurut beberapa sumber, film ini terinspirasi dari kasus nyata di negari Upin dan Ipin.
Kisahnya tentang sebuah aliran keagamaan "tarekat" yang dipimpin oleh seorang tokoh bernama Walid. Dengan berbaju agama Walid kemudian melakukan eksploitasi kepada para pengikutnya untuk memenuhi hasrat seksualnya yang dibungkus dengan relasi kuasa dengan dalih religiusitas.
Menikah dengan empat istri "nikah zahir" dan mengaku menikahi puluhan wanita dengan cara "nikah bathin" semua demi sebuah hasrat nafsu belaka yang dikemas dengan ritual dan label keagamaan. Belum lagi doktrin untuk fanatik buta dan praktik menyimpang lainnya yang diajarkan demi sebuah “janji surga” dalam bingkai Jihad Ummah.
Film Bidaah yang belakangan ini mencuri perhatian publik merupakan salah satu contoh bagaimana karya sinema dapat memantik diskusi luas, khususnya ketika bersinggungan langsung dengan isu-isu keagamaan.
Sebagai bentuk ekspresi seni, film memiliki kebebasan dalam mengeksplorasi berbagai tema, termasuk agama. Namun, ketika sebuah karya menggunakan label-label agama secara eksplisit, penting untuk mempertimbangkan dampak sosiologis dan kultural yang mungkin timbul dari model visualisasi maupun ekspresi tema film yang diangkat oleh produser.
Istilah "bidaah" atau kalau di Indonesia biasanya dilafalkan dengan Bid'ah dalam konteks Islam memiliki makna teologis yang dalam dan sering kali menimbulkan perdebatan di kalangan umat. Bid'ah menjadi polemik yang tidak pernah padam dalam urusan pengamalan Islam.
Istilah ini banyak menimbulkan kontroversi yang berujung perpecahan antar golongan. Penggunaan istilah ini sebagai judul dan pusat narasi menimbulkan kekhawatiran akan penyederhanaan konsep yang kompleks, serta potensi salah tafsir di kalangan masyarakat luas.
Film ini, meskipun mungkin berniat mengajak refleksi, dan melihatnya sebagai fenomena berisiko membingkai isu agama secara reduktif dan menggeneralisasi kelompok tertentu.
Sudut pandang generalisasi terhadap kelompok yang selama ini dianggap sebagai pelaku bid'ah atau bidaah oleh kelompok lainnya ini rentan mempertajam kontroversi tersebut. Selain itu penggunaan simbol-simbol keagamaan seperti dalam dialog para pemainnya juga terkesan mengidentifikasi kelompok tertentu.
Ritual dzikir, ungkapan kalimat thayyibah, ditambah dengan visualisasi pakaian dan aksesoris yang digunakan sangat identik dengan kelompok-kelompok keagamaan tertentu yang tentu saja tidak semua kelompok-kelompok keagamaan tersebut beraliran/berfaham menyimpang sebagaimana digambarkan dalam film tersebut.
Dari sudut pandang akademis, karya seni yang mengangkat tema agama seharusnya mampu menjaga keseimbangan antara kebebasan ekspresi dan tanggung jawab sosial. Ketika nilai-nilai agama digunakan sebagai daya tarik utama tanpa pembacaan yang mendalam dan kritis.
Ada kemungkinan terjadinya misrepresentasi yang justru memperkeruh pemahaman publik. Hal ini tidak hanya berdampak pada persepsi terhadap ajaran agama itu sendiri, tetapi juga terhadap relasi antar kelompok di masyarakat yang memiliki pandangan berbeda.
Selain itu, dalam konteks budaya digital saat ini, film Bidaah juga dapat menimbulkan fenomena Fear of Missing Out (FOMO) di kalangan penonton awam. Ketika sebuah karya menjadi viral dan ramai dibicarakan, banyak individu merasa terdorong untuk menonton bukan karena ketertarikan substantif, melainkan karena tekanan sosial dan rasa takut tertinggal akan isu dan tren ter-up to date.
Hal ini bisa menyebabkan konsumsi informasi secara tidak kritis, di mana penonton menelan narasi tanpa proses penyaringan atau refleksi mendalam, terutama jika mereka tidak memiliki latar belakang pemahaman agama yang memadai.
Misalnya saja tiruan netizen terhadap dialog viral film bidaah “Pejamkan mata, bayangkan muka Walid dan jangan berhenti berzikir”. Hal ini dapat mempersepsikan bahwa setiap kelompok yang mengajak berzikir atau mengaku sebagai aliran tarekat misalnya adalah aliran yang menyimpang, atau bisa saja menganggap bahwa praktik tersebut sebagai bagian dari ajaran setiap kelompok yang identik dengan pergerakan keagamaan.
Meski diakui terdapat sekte dan aliran keagamaan yang serupa atau mirip dengan kisah dalam film Bidaah terjadi dan terungkap di Malaysia ataupun di Indonesia, tetapi tetap saja itu adalah oknum diantara sekian banyak kelompok yang konsisten di jalan kebenaran untuk terus membimbing dan mengarahkan umat.
Secara keseluruhan, film Bidaah merupakan contoh penting tentang bagaimana karya seni dapat memicu diskursus publik. Namun, kepekaan terhadap muatan agama, serta tanggung jawab untuk tidak memperkuat polarisasi atau menciptakan kegaduhan semu, perlu menjadi pertimbangan utama dalam produksi dan penyebaran karya sejenis di masa depan.
Sikap kritis terhadap sebuah tontonan perlu juga diperkuat terutama karena platform yang digunakan adalah media sosial yang diakses oleh semua kalangan dari segala usia dan tingkat pendidikan dan pemahaman keagamaan yang beragam.
***
*) Oleh : Hurnawijaya Al-Khairy, Dosen UIN Mataram dan Pengasuh PP. Daruttaqwa Al-Khairiyah NW Lombok.
*) Oleh : Nicholas Martua Siagian, Direktur Eksekutif Asah Kebijakan Indonesia dan Penyuluh Anti korupsi Ahli Muda Tersertifikasi LSP KPK.
*)Tulisan Opini ini sepenuhnya adalah tanggungjawab penulis, tidak menjadi bagian tanggungjawab redaksi timesindonesia.co.id
____________
**) Kopi TIMES atau rubik opini di TIMES Indonesia terbuka untuk umum. Panjang naskah maksimal 4.000 karakter atau sekitar 600 kata. Sertakan riwayat hidup singkat beserta Foto diri dan nomor telepon yang bisa dihubungi.
**) Naskah dikirim ke alamat e-mail: [email protected]
**) Redaksi berhak tidak menayangkan opini yang dikirim apabila tidak sesuai dengan kaidah dan filosofi TIMES Indonesia.