Presiden Prabowo Subianto tak setuju koruptor dijatuhi hukuman mati.
Dia menilai adanya kemungkinan koruptor tersebut juga ternyata seorang korban.
Sehingga, kata Prabowo, jika ada kasus lain yang menyatakan koruptor tersebut adalah korban tindak pidana, maka yang bersangkutan tidak bisa membela diri lantaran sudah telanjur dijatuhi hukuman mati.
"Kalau bisa kita tidak hukuman mati karena hukuman mati itu final. Padahal mungkin saja kita yakin 99,9 persen, dia bersalah."
"Mungkin ada satu masalah yang ternyata dia korban, atau diframe. Kalau hukuman mati final, kita nggak bisa hidupkan dia kembali," jelasnya dalam wawancara bersama enam pemimpin redaksi (pemred) media nasional di Hambalang, Bogor, Jawa Barat, dikutip dari YouTube Harian Kompas, Selasa (8/4/2025).
Ketidaksetujuan Prabowo terkait hukuman mati terhadap koruptor juga dilandasi tidak dilakukannya hukuman tersebut di era pemerintahan sebelumnya.
Dia mengungkapkan hukuman mati tidak ada dalam yurisprudensi di era pemerintahan Soekarno hingga Joko Widodo (Jokowi).
Kendati demikian, Prabowo tetap ingin memberikan efek jera terhadap para koruptor.
Namun, lagilagi, dia menegaskan cara yang dimaksud tetap bukanlah menjatuhi hukuman mati.
"Kita lakukan yurisprudensi pemimpinpemimpin kita sebelumnya. Bung Karno tidak melaksanakan, beberapa orang yang dihukum mati, Pak Harto tidak laksanakan, dan seterusnya. Saya pada prinsipnya juga, kalau bisa kita cari efek jera yang tegas, tapi mungkin tidak sampai hukuman mati," ujar Prabowo.
Dalam kesempatan yang sama, Prabowo pun turut berbicara soal opsi koruptor untuk dimiskinkan.
Namun, dia pun menilai hal tersebut tidak bisa dilakukan lantaran menurutnya keluarga koruptor seperti istri dan anak tidak harus menanggung dosa serupa.
Menurut Prabowo, hukuman semacam itu tidak adil.
"Nah masalah dimiskinkan. Saya berpendapat kembalikan yang kau curi. Kerugian negara yang dia timbulkan ya harus dikembalikan. Makanya asetaset pantas kalau negara itu menyita."
"Tapi kita juga harus adil kepada anakistrinya. Kalau ada aset yang sudah milik dia sebelum dia menjabat, ya nanti ahli hukum suruh bahas apakah adil anaknya menderita juga? Karena dosa orang tua sebetulnya kan tidak boleh diturunkan ke anaknya. Jadi saya minta masukan dari ahliahli hukum," beber Prabowo.
Sebagai informasi, sebenarnya dijatuhkannya vonis hukuman mati terhadap koruptor telah tertuang dalam Pasal 2 ayat 2 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang telah diubah dalam UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Adapun dalam pasal tersebut koruptor dapat divonis hukuman mati jika aksinya dilakukan dalam keadaan tertentu.
Namun, pasal itu tidak merinci keadaan tertentu yang dimaksud.
"Dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan," demikian bunyi dari pasal tersebut.
Di sisi lain, pasal itu pernah disoroti oleh mantan Menkopolhukam, Mahfud MD, terkait ketidakjelasan diksi 'keadaan tertentu' tersebut.
Pada 8 Februari 2024 lalu ketika Mahfud mencalonkan diri sebagai cawapres di Pilpres 2024, dia menyebut bahwa diksi di atas tidak jelas ukurannya.
Menurutnya, hal tersebut membuat jaksa tak berani untuk menuntut vonis mati terhadap terdakwa korupsi.
"Ukuran krisisnya apa. Kemudian, apakah jika krisis ekonomi apa iya? Ukurannya apa? Oleh karena itu jaksa tidak ada yang berani menuntut," kata Mahfud dalam acara bertajuk Tabrak Prof di Pos Bloc, Jakarta.
Mahfud pun mengusulkan dihapuskannya diksi 'keadaan tertentu' dalam pasal tersebut agar dijatuhkan vonis hukuman mati dapat diterapkan secara maksimal terhadap koruptor.
"Harusnya dicoret saja kata krisisnya itu, itu bisa," tuturnya.
Mahfud pun menegaskan secara prinsip bahwa dirinya mendukung agar koruptor dihukum mati.
"Saya selalu mengatakan, saya setuju koruptor dijatuhi hukuman mati," kata Mahfud.