Dekan FH UNS: Revisi KUHAP Berisiko Timbulkan Abuse of Power
Wahyu Gilang Putranto April 08, 2025 04:38 PM

TRIBUNNEWS.COM - Perubahan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), khususnya terkait proses penyelidikan dan penyidikan, memicu kekhawatiran akan terjadinya penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.

Muhammad Rustamaji, Dekan Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret (UNS), menyoroti dalam draf revisi KUHAP, pihak kepolisian diberikan otoritas untuk melakukan penangkapan secara langsung.

Hal ini diatur dalam Pasal 5 Ayat 2 Huruf a, yang menyebutkan bahwa atas perintah penyidik, tindakan seperti penangkapan, pelarangan bepergian, penggeledahan, hingga penahanan dapat dilakukan.

“Konsep tersebut dikenal dengan istilah tindakan polisional yang bersifat represif. Padahal, proses penegakan hukum berdiri di atas empat tahapan, yakni penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan. Revisi ini justru membuka ruang lebih besar bagi tindakan penahanan,” ujar Rustamaji pada Senin (7/4/2025) malam.

Ia menambahkan, kewenangan baru yang memperbolehkan polisi menangkap secara langsung berpotensi disalahgunakan.

Dalam KUHAP sebelumnya, prosedur penangkapan harus dilengkapi dengan surat resmi dan berita acara pemeriksaan (BAP), yang menjamin adanya standar dan akuntabilitas dalam proses hukum.

Pelanggaran terhadap hal ini dapat melanggar asas praduga tak bersalah, meskipun ada ruang untuk mengajukan praperadilan.

“Jangan sampai tindakan ini malah jadi alat kekuasaan yang sewenang-wenang. Wajar kalau masyarakat merasa resah. Bahkan, penyidik dengan pangkat rendah seperti Aiptu bisa melakukan penangkapan. Ini rawan,” tambahnya.

Rustamaji juga menyoroti perubahan status penyidik dalam revisi KUHAP, di mana penyidik dari Polri kini disebut sebagai ‘penyidik utama’.

Perubahan ini menandakan adanya peningkatan peran Polri sebagai koordinator atas penyidik lain, termasuk dari kalangan pegawai negeri sipil (PNS).

“Polri kini berada di atas dalam struktur penyidikan. Ini memberi kesan adanya monopoli proses investigasi oleh Polri, yang seharusnya dilakukan secara setara. Sebelumnya, penyidik hanya dibagi ke dalam kategori umum dan khusus, bukan utama,” jelasnya.

Lebih lanjut, ia menilai koordinasi horizontal antara Polri dan Kejaksaan perlu diperhatikan, mengingat Kejaksaan adalah satu-satunya institusi yang berwenang melakukan penuntutan.

Jika penyidik PNS berada di bawah kendali Polri, maka independensi mereka sebagai penegak hukum, misalnya dalam pelaksanaan Peraturan Daerah (Perda), bisa terganggu.

“Kalau PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil) dikendalikan polisi, maka sulit bagi mereka bersikap mandiri. Akibatnya, pertanggungjawaban pidana bisa menjadi tidak utuh,” paparnya.

Rustamaji berharap, DPR dan pemerintah bisa memberikan waktu untuk mendalami dan mengkaji kembali revisi KUHAP secara terbuka sebelum pengesahan dilakukan. Jangan sampai proses revisi berlangsung tergesa-gesa dan mengabaikan aspirasi masyarakat.

“Poin-poin seperti status penyidik utama dan kewenangan penahanan ini perlu dibahas lebih mendalam. Wajar jika publik merasa cemas dan mempertanyakan arah revisi ini,” paparnya.

Sementara itu, di kalangan mahasiswa, revisi KUHAP juga memicu reaksi. Salah satu mahasiswa Universitas Indonesia, Daffa Rizqy, mengunggah pendapatnya di media sosial yang menyebut revisi KUHAP berpotensi membahayakan.

“Ada tiga hal yang membuat kami khawatir: perluasan alasan polisi menangkap, tidak jelasnya status hukum saat pemanggilan, dan adanya celah untuk praktik penjebakan yang dilegalkan. Kami harus tetap awas,” tulis Daffa dalam unggahannya.

Senada dengan itu, Wakil Presiden BEM UNS 2025, Muhammad Hafizh Fatihurriqi, mengaku revisi KUHAP menjadi perhatian serius di kalangan mahasiswa. Meski sebagian masih dalam masa libur dan mudik, diskusi mengenai isu ini tetap berjalan.

“Revisi KUHAP seakan tenggelam oleh RUU lainnya. Tapi kami tak tinggal diam. Kami akan terus menyuarakan kekhawatiran agar jangan sampai revisi ini merugikan rakyat,” tegasnya.

( Chrysnha)

© Copyright @2025 LIDEA. All Rights Reserved.