TRIBUNNEWS.COM - Myanmar diguncang gempa dahsyat berkekuatan 7,7 skala Richter pada Jumat (28/3/2025).
Gempa yang mengguncang Myanmar tercatat telah menewaskan sedikitnya 3.564 orang, melukai lebih dari 5.000 orang dan menyebabkan 210 orang lainnya hilang.
Di tengah upaya penyelamatan, bantuan kemanusiaan terhambat oleh situasi keamanan yang semakin memburuk.
Serangan bersenjata dan pemberlakuan jam malam oleh militer menghambat upaya penanganan krisis kemanusiaan.
Salah satu lembaga yang turut memberikan bantuan adalah Jersey Overseas Aid dari Jersey, yang menyumbangkan £300.000.
Dana itu dibagi rata ke tiga organisasi: Palang Merah Inggris, Age International, dan People in Need, untuk menyalurkan bantuan darurat dan perawatan kesehatan, terutama bagi lansia yang terdampak gempa.
Namun, distribusi bantuan mengalami kendala besar di lapangan.
Dilansir BBC Burmese, militer Myanmar memberlakukan jam malam ketat, pos pemeriksaan di berbagai wilayah, dan bahkan melakukan interogasi terhadap tim bantuan.
Direktur Eksekutif Jersey Overseas Aid, Edward Lewis, mengatakan kehancuran akibat gempa terjadi di tengah krisis kemanusiaan besar, di mana hampir 20 juta warga Myanmar sudah membutuhkan bantuan sebelum bencana ini terjadi.
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) menyerukan penghentian operasi militer agar fokus diberikan pada penyelamatan korban.
Pada kenyataannya, sejak pengumuman gencatan senjata sementara, militer Myanmar tetap melancarkan sedikitnya 14 serangan hingga 4 April, menurut laporan BBC.
Salah satu insiden paling mencolok terjadi pada Selasa (1/4/2025), ketika konvoi sembilan kendaraan Palang Merah China ditembaki saat menuju Mandalay.
Militer berdalih tidak mengetahui keberadaan konvoi dan mengklaim hanya melepaskan tembakan peringatan.
John Quinley dari Fortify Rights menuding junta menggunakan dalih keamanan untuk membatasi bantuan dan menginterogasi relawan.
Ia menyebut ini sebagai pola yang sudah terjadi sejak bencana-bencana sebelumnya, seperti Siklon Mocha dan Topan Yagi, di mana militer menolak melepas bantuan dari bea cukai dan mempersulit izin masuk tim penyelamat.
Menurut media pemerintah, militer Myanmar kini hanya benar-benar menguasai 21 persen wilayah negara itu.
Akibatnya, daerah-daerah yang dikuasai kelompok perlawanan tidak mendapat bantuan apa pun, sementara daerah pro-junta jadi prioritas distribusi.
Banyak organisasi kemanusiaan kini menggunakan jalur diam-diam dan bantuan tunai lewat Thailand untuk mengakali pembatasan.
Meski cara ini membantu, prosesnya lambat dan berisiko tinggi.
Tom Fletcher, kepala kemanusiaan PBB, mengatakan bahwa warga sangat membutuhkan makanan, air bersih, listrik, dan tempat tinggal.
Banyak daerah terisolasi dan tak bisa dijangkau karena militer membatasi akses.
Bahkan, beberapa warga diminta menyerahkan daftar nama relawan dan barang bantuan hanya untuk mendapatkan izin distribusi.
Truk bantuan banyak yang terjebak di pos militer, berdasarkan laporan dari lembaga lokal di Sagaing.
Di sisi lain, pemimpin junta Min Aung Hlaing justru sempat menyerukan bantuan internasional.
"Saya meminta negara mana pun, organisasi mana pun, atau siapa pun di Myanmar untuk datang dan membantu," katanya.
Namun, pernyataan tersebut dianggap tidak tulus.
Pasalnya, sehari setelah menolak proposal gencatan senjata dari kelompok perlawanan, junta malah mengumumkan gencatan senjata sepihak selama 20 hari, tetapi tetap menyatakan akan merespons jika ada serangan.
James Rodehaver dari Kantor HAM PBB menyebut tindakan junta sebagai bentuk penghukuman terhadap warga yang tidak mendukung mereka secara politik.
Sebanyak 265 organisasi masyarakat sipil telah mendesak agar komunitas internasional menyalurkan bantuan langsung ke wilayah terdampak, tanpa melalui pemerintah militer yang terbukti menghalangi distribusi dan menyasar para relawan.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)